Sektor pertanian adalah sektor
yang cukup dominan di Indonesia. Setidaknya ada 38 juta jiwa penduduk yang
berusia produktif adalah berprofesi sebagai petani, demikian data yang dilansir
oleh Kementrian Pertanian. Tidak kurang dari 57 persen penduduk Indonesia yang
menggantungkan kahidupannya pada sektor ini.
Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa kesejahteraan
petani masih jauh dari yang diharapkan dan dibayangkan. Naiknya harga beras di
pasaran tidak serta merta membuat petani meningkat kesejahteraannya. Hasil
studi singkat Pattiro Surakarta pada pertengahan 2011 lalu di kawasan
Polanharjo, salah satu sentra penghasil padi di Kabupaten Klaten, menunjukkan
bahwa pendapatan petani di kawasan tersebut rata-rata berkisar Rp. 500.000 per
bulan ketika hasil panen bagus. Sungguh ironis memang, jika ditinjau bahwa sektor
pertanian adalah sektor penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar kedua
setelah sektor industri olahan, yakni sebesar 15,61%, sebagaimana data yang
dilansir BPS pada triwulan pertama 2011 ini.
Sektor pertanian sebenarnya
merupakan sektor paling prospektif dalam menopang perekonomian nasional. Sektor
ini tidak mendapatkan efek domino secara signifikan dari gejolak ekonomi
(krisis) global. Bahwa sektor pertanian memang sektor yang cukup bergantung
pada iklim dan cuaca adalah benar adanya. Akan tetapi sebenarnya bukan sekedar
itu saja. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satu faktor yang tak
kalah penting adalah berkenaan dengan kebijakan atau regulasi. Ketidaktepatan
kebijakan yang dibuat akan membuat sektor ini menjadi sektor yang tidak
prospektif.
Bukti bahwa sektor pertanian
adalah sektor yang prospektif adalah bahwa
sebenarnya kebutuhan akan pangan di dalam negeri semakin meningkat dari
tahun ke tahun seiring peningkatan jumlah penduduk. Sejatinya, sebagian besar
kebutuhan pangan tersebut dapat ditopang oleh produk pertanian kita. Namun,
yang terjadi adalah hasil pertanian kita kalah bersaing dengan produk-produk
negara lain baik secara kualitas,
produktivitas, kuantitas maupun harga.
Langkah kebijakan yang diambil
pemerintah kemudian lebih memilih melakukan impor produk pertanian untuk dapat
memenuhi seluruh kebutuhan pangan bagi masyarakat di dalam negeri adalah salah
satu contoh konkret ketidakberpihakan kebijakan pemerintah pada sektor
pertanian kita. Akibatnya, banyak petani yang mengalihfungsikan lahan yang
dimilikinya dengan menjual pada para pemodal untuk diubah menjadi perumahan
ataupun pabrik. Sehingga, para petani tersebut akhirnya hanya menjadi buruh
tani di lahan orang lain atau beralih profesi menjadi pedagang, kuli bangunan
bahkan pindah ke kota untuk mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan keahlian
yang mereka miliki.
Itulah sekilas potret kebijakan
pertanian kita yang ambigu atau berstandar ganda dimana tidak menjadikan petani
dan sektor pertanian kita sebagai landasan pijak dalam pengambilan kebijakan.
Disamping itu, implementasi kebijakan yang digulirkan juga cenderung masih jauh
dari harapan regulasi yang ada.
Kebijakan Pupuk Bersubsidi
Dari berbagai kebijakan
pertanian yang digulirkan pemerintah, salah satunya adalah kebijakan pemberian
subsidi pada pupuk. Kebijakan ini digulirkan sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian. Secara filosofis,
subsidi pupuk dilakukan untuk meringankan beban petani dalam pembiayaan usaha
taninya. Meskipun kebijakan subsidi pupuk mengalami reorientasi pada tahun
2003, namun konsep dasar pemberian subsidi terhadap pupuk yang digunakan oleh
petani sebenarnya telah digagas sejak dekade 1970an.
Kebijakan pupuk bersubsidi sebagaimana
termaktub dalam Peraturan Menteri Pertanian No.06/Permentan/SR.130/2/2011,
adalah diperuntukkan bagi sektor yang berkaitan dengan budidaya tanaman pangan,
holtikultura, perkebunan, hijauan pakan ternak, dan budidaya ikan dan/atau
udang. Dengan sasaran bagi petani, pekebun, peternak yang mengusahakan lahan
paling luas 2 (dua) hektar setiap musim tanam per keluarga petani kecuali
pembudidaya ikan dan/atau udang paling luas 1 (satu) hektar.
Jenis pupuk yang disubsidi
adalah meliputi : Pupuk Urea, SP-36/Superphospat, ZA, NPK, dan Pupuk Organik.
Pemberian subsidi dilaksanakan melalui produsen pupuk. Produsen pupuk adalah
perusahaan yang memproduksi pupuk anorganik dan pupuk organik di dalam negeri
sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Untuk wilayah Jawa Tengah adalah
PT Pupuk Sriwijaya (Pusri).
Jika dilihat, kebijakan ini
cukup menarik guna menstimulasi produksi pertanian. Akan tetapi jika diselami
ternyata kebijakan pemberian subsidi pupuk hingga saat ini ternyata masih
menghadapi kendala dan masalah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) pada sepuluh wilayah di
Indonesia yakni Kab. Aceh Besar, Kota Serang (Banten), Kab. Bandung Barat
(Jabar), Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surakarta (Jateng), Kab. Gresik
(Jatim), Kab. Lombok Barat (NTB), Kab. Jeneponto (Sulsel) dan Kota Jayapura
(Papua).
Pertama, ternyata masih saja terjadi kelangkaan pupuk di banyak
daerah. Ini mengherankan sebab kuota pupuk bersubsidi disusun berdasarkan
pengajuan secara bottom up mulai dari level Kelompok Tani dan kemudian
ditetapkan oleh Kementerian Pertanian. Kedua, harga pupuk yang dijual di atas
HET yang ditetapkan. Banyak petani menyebutkan bahwa mereka membeli pupuk Urea
seharga Rp. 85.000 dari harga seharusnya Rp. 60.000. ini menunjukkan bahwa ada
oknum dalam sistem distribusi yang mengambil keuntungan dari kebijakan
tersebut. Ketiga, penggantian kemasan
dan penjualan pupuk bersubsidi kepada yang tidak berhak seperti industri
perkebunan besar.
Akibatnya, petani juga yang
dirugikan. Sehingga, tujuan program subsidi pupuk untuk meringankan beban
petani justru sebaliknya, petani semakin sementara segelintir orang justru
diuntungkan. Hal tersebut baru sedikit masalah yang hanya terjadi pada tingkat
implementasi lapangan. Kita belum berbicara pada proses pengambilan kebijakan
maupun proses produksi pupuk. Ada berapa banyak oknum yang bermain dalam proses
tersebut demi keuntungan mereka. Artinya, sebenarnya bungkusnya adalah
kebijakan untuk petani akan tetapi justru yang menikmati hasilnya secara lebih
besar bukanlah petani.