Showing posts with label Inspirasi. Show all posts
Showing posts with label Inspirasi. Show all posts

Tuesday, February 6, 2024

Mengembalikan Arah yang Tepat dalam Revisi UU Desa

Mengembalikan Arah yang Tepat dalam Revisi UU Desa

Disusun oleh: Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Revisi UU Desa


Konteks

Pada 3 Juli 2023, Rapat Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi DPR RI menyepakati masuknya 19 poin perubahan dalam revisi UU Desa. Setidaknya, terdapat dua agenda besar dalam revisi UU Desa, yaitu 1) menaikkan alokasi dana desa dan 2) kedudukan pemerintah desa, khususnya kepala desa, seperti kenaikan gaji, tunjangan purnatugas, hingga masa jabatan. Dalam dokumen penjelasan RUU Perubahan Kedua UU Desa pada 19 Juni 2023, tertulis bahwa beberapa perubahan terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan sebagai penyempurnaan terhadap UU Desa sebelumnya, yaitu antara lain mengatur mengenai: i) kedudukan desa; ii) penyelenggaraan pemerintahan desa; iii) asas dan tujuan di dalam pengaturan desa; iv) tugas, hak, kewajiban, persyaratan, dan masa jabatan kepada desa; v) keuangan desa; vi) pembangunan desa; serta vii) ketentuan peralihan mengenai masa jabatan kepada desa yang saat ini menjabat.

 

Revisi UU Desa tidak boleh diletakkan pada agenda elitis dalam rangka Pemilu 2024. Agenda perubahan UU Desa juga tidak boleh hanya bersifat “jawa sentris” tanpa melihat keberagaman desa di Indonesia. Revisi UU Desa ini juga harus melalui kajian ilmiah dan evaluasi terhadap implementasi UU Desa yang komprehensif, empiris, rasional, dan objektif. Keinginan besar untuk mengubah UU Desa tanpa adanya evaluasi yuridis, empiris, dan sosiologis secara komprehensif hanya akan mendelegitimasi dan melemahkan desa, serta menjauhkan kembali rasa memiliki warga desa yang saat ini sudah mulai hidup dan terbangun.

 

Arah Perubahan UU Desa

Revisi UU Desa tidak boleh hanya sekadar berfokus pada perubahan pemerintahan desa. Revisi UU Desa harus mengarah pada realisasi untuk memperkuat pengakuan atas hak asal-usul yang melihat desa sebagai persekutuan sosial dan budaya; desa sebagai persekutuan hukum, politik, dan pemerintahan; serta desa sebagai persekutuan ekonomi (sebagai ekspresi dari penguasaan desa atas sumber-sumber kehidupan yang menjadi ulayatnya) (Zakaria, 2022). Secara umum, revisi UU Desa setidaknya difokuskan pada memperbaiki sistem tata kelola pemerintahan yang baik, pengembangan masyarakat berbasis komunitas, serta pengaturan dan tata kelola sumber daya alam dan lingkungan.

 

Oleh karena itu, setidaknya terdapat delapan perubahan mendasar seiring dengan berlakunya UU Desa, yaitu:

1.     Merekonstruksi total aturan pelaksanaan UU Desa guna menghilangkan dikotomi rezim pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan, dan keuangan desa. Dalam praktiknya, terjadi dualisme kementerian dalam pelaksanaan UU Desa. Kebijakan Presiden Jokowi memang mengamanatkan desa diurus terutama oleh dua kementerian. Pertama, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Perpres No. 11 Tahun 2015 yang bertanggung jawab mengenai aspek pemerintahan desa. Perpres 11/2015 juga memosisikan desa sebagai “sub-sistem” pemerintahan daerah (desa lama). Kedua, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KemenDesPDTT) melalui Perpres No. 12 Tahun 2015 yang bertanggung jawab mengenai aspek pemberdayaan dan pembangunan desa. Perpres 12/2015 mendudukkan desa sebagai “pelaksana proyek” KemenDesPDTT melalui dana desa. Hal tersebut diperkuat dalam PP Nomor 47 Tahun 2015 untuk mempertegas pembagian kekuasaan. Dalam hal ini, PP 47/2015 membangun dikotomi yang jelas: rezim urusan pemerintahan desa berada di Kemendagri, sedangkan urusan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat berada di KemenDesPDTT. Selain itu, kerumitan implementasi UU Desa semakin diperparah dengan keberadaan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang bertanggung jawab mengenai dana desa yang memang bersumber dari APBN melalui PP No. 60 Tahun 2014. PP 60/2014 pun membangun dikotomi rezim tata kelola keuangan berada di Kemendagri, prioritas pembangunan dana desa berada di KemenDesPDTT, serta penentuan/pembagian dana desa berada di Kemenkeu.

 

Tidak hanya itu, munculnya berbagai rezim pengaturan penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan, pemberdayaan desa, serta dana desa akibat disharmoni atau tumpang tindih antara UU Desa dengan PP No. 43 Tahun 2014 (beserta perubahannya) dan PP No. 60 Tahun 2015 (beserta perubahannya), serta puluhan aturan dari berbagai K/L. Permasalahan lainnya adalah: 1) bertumpuknya beban kerja administratif atas beragam proyek aplikasi yang masuk desa sehingga menjadikan desa sebagai penginput banyak data tanpa memiliki kedaulatan atas datanya sendiri; dan 2) tidak adanya peta jalan yang terintegrasi dalam implementasi UU Desa. Hal ini menyebabkan desa terbelenggu dan terbebani dengan berbagai macam aturan pelaksanaan dan hanya menjalankan program atau kegiatan yang sangat administratif sehingga menghilangkan kewenangan/kedaulatan desa.

 

2.     Memperkuat pengakuan terhadap keberagaman desa, termasuk mempertegas rekognisi penetapan desa adat. UU Desa membawa perubahan yang paling mendasar mengenai keberagaman jenis desa, yaitu desa (atau yang juga dikenal dengan desa dinas) dan desa adat. Keberagaman jenis desa ini berdampak pada memungkinkannya penyelenggaraan pemerintahan desa yang beragam. Adanya nomenklatur desa adat dalam UU Desa merupakan salah satu upaya untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat (hukum) adat. Akan tetapi, dalam praktiknya, hanya 14 kampung adat di Jayapura yang ditetapkan dan diregistrasi oleh Kementerian Dalam Negeri selama 10 tahun di tengah adanya kemungkinan 35.000 perubahan status desa menjadi desa adat (Zakaria, 2023). Setidaknya, terdapat beberapa tantangan dalam merekognisi penetapan desa adat (PATTIRO, 2017; Zakaria, 2022), yaitu 1) adanya kekeliruan penafsiran mandat pasal 7 ayat 1 UU Desa yang berkaitan dengan kata “dapat melakukan” dalam Permendagri No. 1 Tahun 2017 tentang Penataan Desa menjadi “memiliki inisiatif”; 2) belum adanya aturan lebih lengkap/detail mengenai kriteria-kriteria dasar yang dapat dijadikan ukuran penetapan dan pembentukan desa adat; 3) tidak adanya political will dalam hal pengawasan dari pemerintah daerah hingga pusat; 4) penyederhanaan proses penetapan desa adat ke dalam proses-proses administratif yang belum dapat merepresentasikan kompleksitas dinamika sosial masyarakat; hingga 5) rendahnya kapasitas pemerintah daerah dalam menginventarisasi desa yang ada di wilayahnya yang dapat ditetapkan menjadi desa adat.

 

3.     Memperkuat kedudukan dan kewenangan desa berdasarkan prinsip rekognisi dan subsidiaritas. Penguatan ini akan berimplikasi pada relasi yang lebih mendukung antara desa dengan pemerintah daerah, termasuk dalam aspek kewenangan, keuangan, perencanaan, dan penganggaran, serta pengawasan dan pembinaan. Komitmen melaksanakan kewenangan desa ini juga mencerminkan penguatan kemandirian dan kedaulatan desa untuk mewujudkan desa kuat, maju, mandiri, dan demokratis. UU Desa mengamanatkan bahwa kewenangan desa ditentukan oleh warga desa melalui proses pengusulan kepada bupati dan menetapkannya melalui peraturan bupati tentang kewenangan desa. Akan tetapi, pengaturan pelaksanaan kewenangan desa dalam Pasal 33 – 39 PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa inkonsisten dan rancu dengan yang dimaksud pada Pasal 18 - 19 UU Desa. Dalam praktiknya, belum semua kabupaten/kota yang mempunyai desa memiliki Peraturan Bupati/Walikota terkait pedoman pelaksanaan kewenangan desa. Dengan kata lain, pengaturan pelaksanaan kewenangan desa yang ditugaskan dari kabupaten/kota belum seutuhnya dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Kalaupun terdapat beberapa daerah di Indonesia yang menerbitkan Peraturan Bupati/Walikota tentang kewenangan desa, hal tersebut dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat desa secara bermakna.

 

Selain itu, di banyak daerah juga terjadi “pengabaian” kewenangan desa sebagai dasar perencanaan pembangunan desa. Proses perencanaan pembangunan desa yang diterjemahkan dalam dokumen RPJMN Desa dan RKP Desa tidak konsisten dan patuh terhadap mandat Pasal 79 ayat (1) UU Desa. Dalam hal ini, kabupaten/kota belum memiliki Peraturan Bupati/Walikota mengenai kewenangan desa dan desa belum memiliki Peraturan Desa mengenai kewenangan desa, tetapi sudah menyusun dokumen perencanaan pembangunan desa. Hal ini jelas merugikan masyarakat desa karena kewenangan-kewenangan yang dapat dikategorikan dengan kewenangan asal usul dan lokal berskala desa di berbagai desa tidak dapat dikenali dan direkognisi dalam Peraturan Bupati/Walikota tersebut.

 

Tidak hanya itu, pada prinsipnya, kewenangan pengelolaan dana desa diusulkan 70 persen oleh pemerintah desa dan 30 persen oleh pemerintah pusat. Akan tetapi, dalam implementasinya, kewenangan yang diberikan kepada pemerintah desa hanya 30 persen dan sisanya 70 persen menjadi kewenangan pusat. Dalam hal ini, penguatan kewenangan ini sangat penting untuk membuka ruang inovasi desa dan penegasan kewenangan desa untuk mengatur dirinya sendiri.

 

4.     Membangun efektivitas konsolidasi keuangan dan aset desa berdasarkan kewenangan hak asal usul dan lokal berskala desa. Dalam implementasi UU Desa hingga saat ini, terdapat setidaknya tiga belenggu dalam pengaturan keuangan desa. Pertama, penerapan Pasal 66 dan Pasal 72 ayat (1) huruf d UU Desa menimbulkan kesenjangan pengaturan mengenai penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa karena hanya bersumber dari alokasi dana desa (seperti halnya yang tertuang dalam Pasal 81 ayat (1) PP No. 43 Tahun 2014), di mana setiap kabupaten/kota memiliki kemampuan fiskal yang berbeda. Selain itu, dalam praktiknya, pengaturan mengenai penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa mereplikasi formula belanja gaji pegawai dalam dana alokasi khusus (DAU). Dengan kata lain, penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa diformulasikan dalam penghitungan alokasi minum dana desa. Kedua, perubahan mekanisme dan formula pembagian dana desa melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) seringkali menimbulkan gejolak di tingkat desa karena mengurangi pendapatan dana desa di suatu desa. Hal ini karena beberapa indikator penghitungan yang digunakan dianggap subjektif, seperti alokasi afirmasi, alokasi kinerja, dan penghargaan atas peningkatan status desa menjadi mandiri, hingga perubahan sepihak lainnya. Hal ini jelas merugikan desa dan tidak sesuai dengan mandat Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Oleh karena itu, dana desa harus diperlakukan sebagaimana dana transfer ke daerah yang lain, seperti halnya dana alokasi umum (DAU).

 

Ketiga, belum terpenuhinya hak pendapatan desa sesuai mandat Pasal 72 UU Desa, terutama yang bersumber dari APBD Kabupaten/Kota. Di sisi yang lain, pengaturan belanja desa memposisikan desa sebagai “objek” yang diatur secara detail sesuai kebijakan supra desa, seperti dalam Pasal 100 PP 43/2014 dan perubahannya mengenai belanja gaji, operasional, dan tunjangan tidak melebihi 30%. Pengaturan ini mengakibatkan ribuan desa di Pulau Jawa yang memiliki tambahan penghasilan dari tanah kas desa (TKD) sebagai aset bersifat hak asal usul atau desa di luar Pulau Jawa yang alokasi dana desanya relatif besar karena pendapatan asli daerahnya pada fiskal yang tinggi harus melakukan pengurangan penghasilan tetap dan tambahan penghasilan. Hal ini semakin diperparah dengan ketentuan Pasal 19 ayat (2), 21, 22, dan 23 PP No. 60 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 72 ayat (1) dan Pasal 100 UU Desa dan mereduksi kewenangan asal usul dan lokal berskala desa.

 

Selain itu, temuan FITRA selam proses pendampingan desa kurun waktu 8 tahun terakhir menunjukkan bahwa sebagian besar pemerintah desa belum optimal dalam tata kelola keuangan desa, terutama alokasi belanja desa untuk pemenuhan kepentingan masyarakat setempat. Tidak hanya itu, Permendagri No. 1 Tahun 2016 tidak menjelaskan bagaimana mekanisme tata kelola aset berdasarkan hak asal usul dan aset yang bersifat lokal skala desa. Dengan kata lain, dalam praktiknya, pengaturan tentang aset tanah kas desa tidak ada bedanya dengan pengaturan aset lainnya, di mana tanah kas desa sebagai bentuk kewenangan asal usul, namun pelaksanaannya diatur dan diurus oleh kabupaten/kota.

 

5.     Perencanaan yang terintegrasi dan memastikan perspektif inklusi sosial dalam pembangunan dan pemberdayaan desa. Sebagaimana UU tentang sistem perencanaan pembangunan, perencanaan desa dilakukan melalui 4 cara yaitu: (1) perencanaan partisipatif melalui musyawarah desa dan musyawarah perencanaan pembangunan; (2) perencanaan teknokratis melalui perencanaan yang dibuat oleh perangkat desa berdasarkan kewenangan; (3) perencanaan top down - bottom up dengan selalu menjadikan perencanaan kabupaten, provinsi bahka perencanaan jangka menengah di atasnya, untuk mempertimbangkan pembuatan perencanaan jangka menengah desa; dan (4) perencanaan politis, dimana ada visi-misi kepala desa terpilih. Perubahan UU Desa harus mempertegas sistem pemanfaatan data yang aktual dan presisi dalam perencanaan dan pembangunan desa, termasuk perencanaan penganggaran, yang memastikan perspektif keadilan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI). Selain itu, mendorong tata kelola desa yang inklusif harus meletakkan pada penguatan tata kelola pemerintahan yang inklusif, partisipatif, dan berkeadilan sosial, dan tidak hanya sekadar membahas kelembagaan desa atau struktur kelembagaan desa.

 

6.     Mempertegas perbedaan status dan kedudukan pemerintah desa dan pemerintahan desa serta kedudukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Secara filosofis, pembentukan BPD berfungsi untuk memberikan keseimbangan peran dan kontrol penyelenggaraan pemerintahan desa oleh Pemerintah Desa. Namun dalam UU Desa, kedudukan BPD bukan lagi menjadi unsur penyelenggara pemerintahan desa, di mana legitimasi kekuasaan BPD “mandul”. Secara hakikat, BPD harus diletakkan sebagai representasi kedaulatan politik rakyat desa melalui kedudukan dan fungsi. Sementara itu, pemerintah desa merupakan representasi kedaulatan teknokratis. Dengan demikian, berjalannya demokrasi di desa sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPD. Saat ini, BPD tidak memiliki kedudukan apapun dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan hanya sebatas lembaga desa yang menjalankan fungsi sesuai ketentuan yang ada. Oleh karena itu, BPD harus dikembalikan kedudukannya sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan desa. Dengan demikian, pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh BPD dan Pemerintah Desa.

 

7.     Memperkuat demokratisasi di desa dengan fokus pada pemberdayaan dan pendampingan. Dalam hal ini, terdapat pemangku kekuasaan politik lokal di desa yang belum berpihak dan memberdayakan warga miskin, disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya sehingga warga desa berada dalam posisi yang belum sepenuhnya berdaya dalam proses pengambilan keputusan di tingkat desa dan pendayagunaan sumber daya pembangunan di desa. Selain itu, lemahnya kapasitas aktor-aktor desa (kepala desa, perangkat desa, anggota BPD, dan masyarakat desa) dalam melakukan pengambilan keputusan secara musyawarah untuk mufakat. Terkait usulan memperpanjang jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hal ini merupakan pengingkaran terhadap demokratisasi desa. Hal tersebut juga sangat berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan atau penyimpangan kekuasaan. Masa jabatan kepada desa selama 6 tahun dan dapat menjabat paling banyak 3 kali dalam UU Desa merupakan hasil kompromi dari permasalahan panjangnya masa jabatan kepada desa di era Orde Baru sehingga menimbulkan stagnansi pembangunan desa. Proses demokrasi pemilihan kepala desa sudah menjadi pembelajaran yang sangat panjang sehingga tidak perlu ada kekhawatiran secara berlebihan terhadap residu yang ditimbulkan. Hal yang juga perlu diingat adalah konsekuensi logis dari memperkuat demokratisasi di tingkat desa akan berdampak pada banyak hal, seperti adanya rekognisi yang kuat terhadap keberagaman jenis desa, menguatnya kewenangan desa berdasarkan prinsip rekognisi dan subdiaritas, hingga terjadinya konsolidasi keuangan dan aset desa yang efektif karena adanya perencanaan yang terintegrasi dengan melibatkan masyarakat desa secara bermakna.

 

8.     Memperkuat solidaritas ekonomi, kolektivitas, dan tata kelola pemerintahan desa yang baik. Permasalahan yang tidak dapat dipungkiri adalah pembangunan desa tidak menyentuh masyarakat rentan dan terdapat kecenderungan penguasaan kapital yang terpusat pada golongan kaya atau elite di pedesaan. Hal ini berpotensi menyebabkan korupsi di desa. Data KPK (2023) menunjukkan bahwa jumlah kepala desa yang terjerat kasus korupsi sebanyak 601 perkara dan aparat desa sebanyak 686 perkara dengan perkiraan kerugian negara sebesar Rp. 433,8 miliar. Data tersebut diperkuat dengan temuan ICW (2021) yang memperlihatkan kasus korupsi di desa berbasis sektoral, antara lain sektor keuangan dana desa berkontribusi paling banyak kasus korupsi sebanyak 154 kasus dengan potensi kerugian Rp 233 miliar, sektor pertanahan 21 kasus dengan potensi kerugian sebesar Rp 25 triliun, dan sektor pemerintahan sebanyak 52 kasus. Setidaknya, terdapat empat penyebab terjadinya banyak korupsi di desa (Zakiyah, 2023), yaitu 1) minimnya pelibatan dan pemahaman warga terhadap proses pembangunan desa, 2) minimnya fungsi pengawasan di desa, di mana BPD belum optimal dalam menjalankan pengawasan anggaran di desa, 3) terbatasnya akses warga terhadap informasi seperti anggaran desa dan pelayanan publik di desa, serta 4) lemahnya kapasitas dan ketidaksiapan kepala desa dan perangkat desa dalam mengelola dana desa dalam jumlah yang besar.

 

Rekomendasi

Atas berbagai catatan di atas, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Revisi UU Desa mendesak:

  1. Pemerintah dan DPR RI harus melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dalam perumusan Revisi UU Desa sesuai dengan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang kemudian dinormakan dalam UU No. 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
  2. Pemerintah dan DPR RI tidak boleh menjadikan Revisi UU Desa sebagai alat transaksi untuk dukungan menuju pemungutan suara dalam Pemilu 2024.
  3. Pemerintah dan DPR RI agar tidak terburu-buru mengesahkan Revisi UU Desa di Badan Legislatif DPR RI dengan kembali melakukan:

a.     Kajian dan evaluasi kembali terhadap implementasi UU Desa dan tata kelola pemerintahan desa di Indonesia secara komprehensif, empiris, rasional, dan objektif, serta tidak diletakkan pada agenda elitis dalam rangka Pemilu 2024

b.     Mempublikasikan setiap informasi mengenai pembahasan Revisi UU Desa kepada publik secara luas melalui kanal resmi seperti website DPR RI dan KemendesPDTT sebagai bagian dari membangun transparansi pembentukan undang-undang

c.      Menampung dan menindaklanjuti berbagai masukan dari kelompok masyarakat yang terdampak langsung dan memiliki perhatian terhadap Revisi UU Desa

 

 

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Revisi UU Desa

1.     Forum Masyarakat Sipil (FORMASI) Kebumen

2.     JARKOM DESA

3.     Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)

4.     Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA)

5.     Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA)

6.     Indonesian Parliamentary Center (IPC)

7.     Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)

8.     Komite Pemantau Legislatif (KOPEL)

9.     Lakpesdam PBNU

 

 

 

Sumber Referensi

Murtiono, Yusuf, “Belenggu Desa oleh Rezim Implementasi UU Desa”, dipresentasikan dalam Diskusi Advokasi Revisi UU Desa pada 29 September 2023

PATTIRO. 2017. Policy Brief Serial Mengawal Implementasi UU Desa: Mempertegas Pengaturan Penetapan Desa Adat. PATTIRO: Jakarta

Shohibuddin, Mohamad, Eko Cahyono, dan Adi Dzikrulloh Bahri, “Undang-Undang Desa dan Isu Sumber Daya Alam: Peluang Akses atau Ancaman Eksklusi?”, Wacana Jurnal Transformasi Sosial, Nomor 36/Tahun XiX/2017, hlm. 29 – 81

Surya Putra, Anom, “Desa di Masa Pandemi Covid-19 (1): Praksis Dana Desa Tidak Sedang Baik-Baik Saja?”, diakses dari https://www.mediavanua.com/desa-di-masa-pandemi-covid-19-1-praksis-dana-desa-tidak-sedang-baik-baik-saja/

Zakaria, R. Yando. 2022. Kronik Undang-Undang Desa: Dari UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa ke UU No. 6/2014 tentang Desa. Perkumpulan Karsa: Yogyakarta

Zakaria, R. Yando, “Revisi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa: Revisi yang Salah Arah!”, dipresentasikan dalam Diskusi Urgensi Revisi UU Desa pada 18 Juli 2023

Zakiyah, Wasingatu, “Perjalanan 10 Tahun: Memandu Desa Responsif GEDSI dan Anti-Korupsi”, dipresentasikan dalam Diskusi Advokasi Revisi UU Desa pada 29 September 2023

 

 

 

Thursday, November 10, 2016

Ucapan Terima Kasih dalam Berbagai Bahasa Daerah di Indonesia

Berikut ini ucapan terima kasih dalam bahasa daerah di Indonesia. Indonesia sangat kaya bahasa daerah dan ragam bahasanya sangat luar biasa. Ini adalah kekayaan bangsa ini. Mari melestarikan bahasa daerah dan mempromosikannya kepada dunia.

1. Bahasa Jawa : Matur Nuwun
2. Bahasa Sunda : hatur nuhun, hatur nuhun pisan
3. Bahasa Jambi : Terimo kasih (beda “a” sama “o” aja)
4. Bahasa Bali : Suksema
5. Bahasa Migani (Papua) : Amanai
6. Bahasa Batak : mauliate
7. Bahasa Sasak : tampiaseh
8. Bahasa Minang : Tarimo kasi
9. Bahasa Toraja : kurrusumanga’
10. Bahasa Nias : sauweghele
11. Bahasa Banjar : Tarima Kasih
12. Bahasa Madura : sakalangkong
13. Bahasa Kutai : makaseh
14. Bahasa Manado : makase 
15. Bahasa Aceh : Teurimong Gaseh beh 
16. bahasa Timor dan Timor Leste : Obrigado Barak 
17. Bahasa Maumere : Epanggawang 
18. Bahasa makassar : tarima kasih 
19. Bahasa karo : bujur; mejuah-juah
20. Bahasa Riau : teghimakaseh

*disarikan dari berbagai sumber
**jika ada yang mau menambahkan silakan dituliskan dalam komentar, saya akan tambahkan.

Friday, December 18, 2015

Inspirasi dari Seorang Sahabat

Fitri NN
Sewaktu saya bersekolah di SMA 5 Surakarta (sering disebut dengan Smaliska) tahun 1996-1999, beberapa teman saya adalah difabel. Setidaknya ada 10an orang, namun yang saya tahu dan kenal hanya beberapa orang yakni Toni (tuna daksa), Adlia (tuna netra) dan Fitri (tuna netra). Memang SMA 5 Surakarta pada saat saya sekolah di sana dulu menerima siswa difabel, juga disediakan guru khusus untuk mereka, sarana prasarananya juga cukup memadai pada waktu itu, semoga masih berlanjut sampai saat ini.

Dari ketiga orang tersebut yang saya tahu dan kenal betul hanya Fitri Nugraha Ningrum, biasa disapa Fitri, seorang tuna netra yang punya semangat tinggi dan cerdas. Meskipun dia memiliki keterbatasan pengelihatan namun semangatnya berbagi dengan sesama sungguh luar biasa.

Pada waktu itu sering dia berkeliling dari kelas ke kelas untuk ider tampah guna mengumpulkan dana yang diperuntukkan guna operasional kelompok belajar yang dia dirikan. Kelompok belajar punya anggota hampir 100 anak yang terdiri atas anak-anak usia 5 hingga 17 tahun di sekitar rumahnya yang berada di kawasan Kandang Sapi, Jebres, Solo.

Kegiatan Pengajian Anak-anak di Al Fithrah tahun 2002
Anak-anak yang tergabung dalam kelompok belajar tersebut selain belajar mata pelajaran sekolah juga ilmu agama (ngaji). Saya mulai terlibat aktif di sana, baru ketika kuliah, sekitar tahun 2000/2001 ketika Fitri mendirikan sebuah yayasan yang dinamai Yayassan Al-Fithrah Surakarta.

Mulailah sejak itu hingga sekitar tahun 2006 saya terlibat aktif, bersama empat kawan kuliah saya. Ya ngajari ngaji iqra', ya ngajari nggarap PR, ya ikut sumbang saran perkembangan yayasan.

Ketika benar-benar terlibat itulah saya paham betul karakter dan semangat kawan saya ini. Sungguh luar biasa, bahkan kami-kami yang non-difabel saja tidak sampai kepikiran hal-hal semacam ini. Dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya, Fitri ternyata memiliki jangkauan yang diluar batas orang biasa seperti saya. Bahkan, dia telah berhasil menyelesaikan S-2nya Pengembangan Masyarakat di UNS Surakarta.

Setelah tahun 2006 saya berpindah dari Kota Solo ke Magelang baru dapat berjumpa kembali dengan Fitri pada tahun 2009, ketika saya singgah ke sana bersamaan dengan acara pernikahan Fitri. Saya sungguh kaget Yayasan Al Fithrah telah berhasil membangun gedung 3 lantai di kawasan Kandang Sapi juga. Proses belajar anak-anak dan pengajian ibu-ibu masih tetap berlangsung hingga saat ini. Ini sungguh diluar bayangan dan mimpi kami semua yang ikut terlibat pada waktu itu.

Pertengahan tahun 2015 lalu, sekitar bulan Mei, saya ada pekerjaan di Mataram, NTB. Saya menghubungi Fitri dan saya singgah di rumahnya di Kawasan Kediri, Lombok Barat, NTB. Di rumah sederhana 2 lantai itu, dia juga mulai merintis kelompok bagi remaja yang dinamai Satelit Masa Depan Negara (SAMARA). Ada sekitar 20-an remaja putra dan putri (usia 13-18 tahun) yang berkegiatan di sini. Kegiatannya antara lain belajar bersama, diskusi tematik dengan narasumber tertentu, termasuk waktu saya datang diminta untuk berbagi pengalaman. Selain itu dari beberapa donatur yang yang dihimpun, SAMARA memberikan sedikit bantuan perlengkapan sekolah dan sedikit beasiswa untuk yang tidak mampu.

Bulan September 2015, saat saya berkunjung lagi ke Lombok, dan kembali menyempatkan mampir ke rumahnya, dia cerita bahwa baru saja dilantik sebagai Ketua DPD Persatuan Tuna Rungu Indonesia (PERTUNI) NTB 2015-2020, dan pada peringatan Hari Difabel Internasional di Lombok, Fitri sebagai ketua panitia kegiatan.

Sungguh merupakan pelajaran berharga bagi saya khusunya dan kita semua umumnya, bahwa keterbatasan fisik bukanlah halangan untuk berbuat bagi sesama. Inilah pengejawantahan dari tansah migunani marang wong liyo.

Pranala luar:
http://interact.id/pertuni/musdalub-ntb-2015/
https://www.facebook.com/pertuni.ntb

*) Tulisan ini repost dari tulisan lama dengan pembaruan informasi 

Tuesday, July 17, 2012

Sang Mediator Raskin

Kebijakan Raskin dari Pemerintah yang diperuntukkan bagi warga miskin, di banyak daerah hampir pasti terjadi persoalan. Terutama masalah pembagian karena ada warga miskin yang dapat dan ada juga yang tidak dapat.

Hal tersebut seringkali menjadikan gejolah sosial. Pihak RT (Rukun Tetangga) yang menjadi ujung tombak pemerintahan terendah pada tingkat masyarakat akrab kali menjadi sasaran kemarahan warga yang tidak dapat padahal merasa berhak. Itulah yang terjadi realitas di lapangan karena masih kurang tepatnya proses dan sistem pendataan.

Dengan adanya fenomena tersebut maka sangat diperlukan ketegasan dan keberpihakan serta kejelian dari seorang Ketua atau Pengurus RT dalam mendistribusikan beras raskin tersebut. Dalam film pendek dengan judul "Sang Mediator Raskin" yang dibuat oleh anak-anak muda pegiat sosial atas dampingan dari PATTIRO Surakarta berikut adalah salah satu bentuk model penyaluran raskin yang terjadi di RT 03 RW XIV Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta. Ada hikmah dan hal menarik dari proses penyaluran raskin tersebut.





Film tersebut memenangkan Lomba Video "Yuk AWASI" yang diselenggarakan oleh PATTIRO dan Wide Shot Metro TV

Saturday, December 3, 2011

Berfikir Sederhana, tapi Hasil Optimal

Kisah-kisah inspiratif bagaimana kita berfikir sederhana untuk mendapatkan hasil optimal seperti ini sebenarnya sudah beredar cukup lama di dunia internet, dari era milis, friendster, facebook hingga dunia blog (salah satu media yang eksis dari dulu hingga sekarang). Di belahan dunia yang lain, dikenal dengan istilah Keep It Simple Stupid (KISS) yang bila diartikan secara bebas adalah berfikir sederhana untuk memecahkan masalah yang sebenarnya juga bisa dilakukan oleh orang-orang bodoh.

Kisah I

Di salah satu perusahaan kosmetik, suatu saat mendapat keluhan dari seorang pelanggan yang mengatakan bahwa ia telah membeli sabun yang ternyata kosong. Dengan segera, para pimpinan perusahaan menceritakan masalah tersebut ke bagian pengepakan yang bertugas memindahkan semua kotak sabun yang telah di pak ke depatermen pengiriman.

Manajemen meminta para teknisi utk memecahkan masalah tersebut dan dengan segera para teknisi bekerja keras utk membuat mesin sinar X dgn monitor resolusi tinggi yg dioperasikan oleh 2 orang utk melihat semua kotak sabun yang melewati sinar tersebut. Kedua orang tersebut ditugaskan untuk memastikan bahwa kotak sabun yang lewat tidak kosong. Tak diragukan lagi, mereka bekerja keras dgn cepat, dan biaya yang dikeluarkan pun tidaklah sedikit.

Akan tetapi, pada saat yang sama ada seorang karyawan di sebuah perusahaan kecil dihadapkan pada permasalahan yang sama pula. Dia tidak berpikir ttg hal-hal yang rumit. Dia muncul dengan solusi yang berbeda. dengan membeli sebuah kipas angin listrik utk industri yang memiliki tenaga cukup besar dan mengarahkannya ke garis pengepakan. Kemudian kipas itu dinyalakan, sehingga meniup kotak sabun yang kosong keluar dari jalur pengepakan.

 

Kisah II

Pada suatu hari, seorang pemilik apartemen menerima komplai dari pelanggannya. Para pelanggan mulai merasa bahwa waktu tunggu mereka di pintu lift terasa lama seiring bertambahnya penghuni di apartemen itu. Sang pemilik apartemen mengundang sejumlah pakar utk memecahkan masalah tersebut.

Seorang pakar menyarankan agara menambah sejumlah lift, sedangkan pakar kedua meminta pemilik utk mengganti lift dengan yang lebih cepat dengan asumsi bahwa semakin cepat lift, orang yang terlayani akan banyak. Kedua saran tersebut tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Namun, pakar ketiga hanya menyarankan satu hal bahwa inti dari komplain pelanggan adalah mereka merasa menunggu terlalu lama. pakar tadi hanya menyarankan kepada sang pemilik apartemen utk menginvestasikan kaca cermin di depan lift, supaya perhatian para pelanggan teralihkan dari pekerjaan "menunggu" agar merasa "tidak menunggu lift". Dan ternyata...berhasil....

 

Kisah III

Pada saat NASA mulai mengirimkan astronot ke luar angkasa mereka menemukan bahwa pulpen mereka tidak bisa berfungsi di gravitasi nol karena tinta pulpen tersebut tidak akan mengalir ke mata pena. Untuk memecahkan masalah tersebut, mereka menghabiskan waktu satu dekade dan 12 juta dolar. 

Mereka mengembangkan sebuah pulpen yang dapat berfungsi pada keadaan-keadaan seperti gravitasi nol, terbalik dalam air, dalam berbagai permukaan termasuk kristal, dan dalam derajat temperatur, mulai dari di bawah titik beku sampai lebih dari 300 derajat celcius.

Dan apakah yang dilakukan para orang Rusia untuk mengatasi permasalahan tersebut? Mereka hanya menggunakan pensil!!

Disadur dari berbagai sumber

Friday, November 25, 2011

XLangkah Lebih Maju dengan Berbagi

Siapa pun saat ini hampir dipastikan tahu apa itu internet. Sebuah tekonologi yang dirilis pada dekade 60-an di Amerika Serikat oleh seorang ilmuan Leonard Kleinrock. Pada awalnya, teknologi ini hanya digunakan untuk keperluan militer oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat dengan nama ARPANET dengan tujuan untuk mengawasi objek vital mereka dan mengatasi serangan nuklir serta guna menghindari terpusatnya informasi yang apabila perang dengan mudah dapat dihancurkan.

Dengan semakin berkembangnya jaman dan kebutuhan akan pertukaran data dan informasi maka internet telah bebas digunakan secara umum. Teknologi ini telah menjelma menjadi sebuah kebutuhan skunder guna mendukung pekerjaan oleh banyak kalangan di dunia.

Harus diakui bahwa siapa yang menguasai internet maka dia telah XLangkah Lebih Maju daripada yang tidak menguasai dan menggunakan teknologi ini. Meskipun saya sendiri mengakui bahwa masih banyak orang yang lebih maju, namun saya akui bahwa tekonologi ini telah membuat saya #XLangkah Lebih Maju dibandingkan ketika saya belum menguasai dan memanfaatkan internet maupun dibandingkan dengan yang belum menggunakan teknologi internet secara optimal dalam mendukung kinerja dan pekerjaannya.

Berinternet telah saya kenal sejak tahun 2000, ketika itu internet masih menjadi barang yang cukup mewah dan langka karena hanya kalangan terbatas saja yang dapat menggunakannya serta hanya sedikit tempat yang dapat digunakan untuk akses internet, dengan biaya yang cukup tinggi tentunya. Pada waktu itu, untuk dapat melakukan akses internet saya harus mengeluarkan biaya 10ribu rupiah per jam. Bandingkan dengan saat ini yang dengan mudah menemukan akses internet dan dengan biaya yang hanya 2ribu rupiah per jam untuk akses di warnet. Dan bahkan lebih murah serta lebih mudah lagi ketika telah banyak provider (seperti halnya XL yang selama ini menemani saya mobile) yang menyediakan kemudahan akses internet bagi mereka yang mobile dengan biaya yang cukup terjangkau.

Keseharian saya adalah bekerja pada sebuah lembaga kajian dan penelitian yang memang banyak membutuhkan akses internet dalam mendukung kerja-kerja. Kebutuhan akan referensi dalam membuat analisis dan laporan dengan cepat dapat saya peroleh. Selain itu komunikasi dengan jaringan dan rekan kerja semakin mudah dan cepat dilakukan. Pengiriman data dan informasi menjadi tidak serumit dan serepot sebelumnya.

Disamping itu, istri saya di rumah juga menjalankan sebuah usaha peternakan unggas. Berbagai informasi yang diperlukannya, seperti bagaimana mengelola peternakan yang baik, informasi harga hasil ternak terkini maupun penjualan hasil ternak dapat diperoleh dalam waktu singkat. Bahkan transaksi penjualan serta penawaran kerjasama sangat sering didapatkan melalui komunikasi via internet.

Internet telah benar-benar membuat kita XLangkah Lebih Maju. Banyak hal dapat ditemukan dan didukung dengan internet. Ibaratnya kita datang di pasar yang serba lengkap. Dunia maya internet telah menyediakan beraneka kebutuhan kita sehari-hari. Tinggal klik maka apa yang kita cari kita temukan.

Dengan internet selain kita mencari apa yang kita butuhkan, kita juga dapat berbagi dengan sesama. Informasi apa yang kita ketahui dan dirasa itu bermanfaat dapat kita bagikan melalui internet, baik dengan social media, mailing list maupun melalui blog kita. 

Dan kemauan kita untuk berbagi bersama menurut saya adalah XLangkah Lebih Maju (lagi) sebagai pengguna dan pemanfaat internet..

Mengapa demikian? Sebab dengan berbagi pengetahuan maupun informasi yang kita punya maka kita setidaknya telah membantu mereka yang mungkin membutuhkan informasi tersebut. Kita perlu berpikir apakah informasi tersebut bermanfaat atau tidak, namun yang penting adalah kemauan dan semangat kita ikhlas dalam berbagi. Berbagi itu tidak pernah rugi. 

Pernah seorang teman berkata, dia enggan menyebarkan tulisan analisisnya karena takut akan di-copy orang lain. Bagi saya ketakutan seperti itu tidak logis. Jika memang niatnya berbagi informasi, maka ya terserah pada yang menerima informasi tersebut mau diapakan, digunakan atau tidak. Perkara di-copy atau dijiplak, bukan persoalan, sebab pada hakikatnya ilmu dan pengetahuan serta informasi itu siapapun boleh tahu dan menggunakannya.

Saya sering bilang, orang berbagi ilmu, pengetahuan atau informasi itu ibarat orang meludah. Jika sudah dikeluarkan maka jangan harap dijilat lagi, sudah ikhlaskan saja demikian kata para ustadz dan kiai. :D

Dan tentunya yang kita bagi dan sampaikan adalah informasi yang menurut kita bukan rahasia pribadi, layak konsumsi semua kalangan, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan kaidah norma-norma sosial. Satu lagi yang penting adalah ketika kita membagi informasi dan pengetahuan tersebut maka kita harus bertanggungjawab atas akurasinya.

Gambar dari sini dan sini