Mengembalikan Arah yang Tepat dalam Revisi UU Desa
Disusun oleh: Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Revisi UU Desa
Konteks
Pada 3 Juli 2023, Rapat Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi DPR RI
menyepakati masuknya 19 poin perubahan dalam revisi UU Desa. Setidaknya,
terdapat dua agenda besar dalam revisi UU Desa, yaitu 1) menaikkan alokasi dana
desa dan 2) kedudukan pemerintah desa, khususnya kepala desa, seperti kenaikan
gaji, tunjangan purnatugas, hingga masa jabatan. Dalam dokumen penjelasan RUU
Perubahan Kedua UU Desa pada 19 Juni 2023, tertulis bahwa beberapa perubahan
terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan sebagai penyempurnaan terhadap
UU Desa sebelumnya, yaitu antara lain mengatur mengenai: i) kedudukan desa; ii)
penyelenggaraan pemerintahan desa; iii) asas dan tujuan di dalam pengaturan
desa; iv) tugas, hak, kewajiban, persyaratan, dan masa jabatan kepada desa; v)
keuangan desa; vi) pembangunan desa; serta vii) ketentuan peralihan mengenai
masa jabatan kepada desa yang saat ini menjabat.
Revisi UU Desa tidak boleh diletakkan pada agenda elitis dalam rangka
Pemilu 2024. Agenda perubahan UU Desa juga tidak boleh hanya bersifat “jawa
sentris” tanpa melihat keberagaman desa di Indonesia. Revisi UU Desa ini juga
harus melalui kajian ilmiah dan evaluasi terhadap implementasi UU Desa yang
komprehensif, empiris, rasional, dan objektif. Keinginan besar untuk mengubah
UU Desa tanpa adanya evaluasi yuridis, empiris, dan sosiologis secara
komprehensif hanya akan mendelegitimasi dan melemahkan desa, serta menjauhkan
kembali rasa memiliki warga desa yang saat ini sudah mulai hidup dan terbangun.
Arah Perubahan UU Desa
Revisi UU Desa tidak boleh hanya sekadar berfokus pada perubahan
pemerintahan desa. Revisi UU Desa harus mengarah pada realisasi untuk
memperkuat pengakuan atas hak asal-usul yang melihat desa sebagai persekutuan
sosial dan budaya; desa sebagai persekutuan hukum, politik, dan pemerintahan;
serta desa sebagai persekutuan ekonomi (sebagai ekspresi dari penguasaan desa
atas sumber-sumber kehidupan yang menjadi ulayatnya) (Zakaria, 2022). Secara
umum, revisi UU Desa setidaknya difokuskan pada memperbaiki sistem tata kelola
pemerintahan yang baik, pengembangan masyarakat berbasis komunitas, serta
pengaturan dan tata kelola sumber daya alam dan lingkungan.
Oleh karena itu, setidaknya terdapat delapan perubahan mendasar seiring
dengan berlakunya UU Desa, yaitu:
1. Merekonstruksi total aturan
pelaksanaan UU Desa guna menghilangkan dikotomi rezim pemerintahan,
pembangunan, pemberdayaan, dan keuangan desa. Dalam
praktiknya, terjadi dualisme kementerian dalam pelaksanaan UU Desa. Kebijakan
Presiden Jokowi memang mengamanatkan desa diurus terutama oleh dua kementerian.
Pertama, Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) melalui Perpres No. 11 Tahun 2015 yang bertanggung jawab mengenai
aspek pemerintahan desa. Perpres 11/2015 juga memosisikan desa sebagai
“sub-sistem” pemerintahan daerah (desa lama). Kedua, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi (KemenDesPDTT) melalui Perpres No. 12 Tahun 2015 yang bertanggung
jawab mengenai aspek pemberdayaan dan pembangunan desa. Perpres 12/2015
mendudukkan desa sebagai “pelaksana proyek” KemenDesPDTT melalui dana desa. Hal
tersebut diperkuat dalam PP Nomor 47 Tahun 2015 untuk mempertegas pembagian kekuasaan.
Dalam hal ini, PP 47/2015 membangun dikotomi yang jelas: rezim urusan
pemerintahan desa berada di Kemendagri, sedangkan urusan pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat berada di KemenDesPDTT. Selain itu, kerumitan
implementasi UU Desa semakin diperparah dengan keberadaan Kementerian Keuangan
(Kemenkeu) yang bertanggung jawab mengenai dana desa yang memang bersumber dari
APBN melalui PP No. 60 Tahun 2014. PP 60/2014 pun membangun dikotomi rezim tata
kelola keuangan berada di Kemendagri, prioritas pembangunan dana desa berada di
KemenDesPDTT, serta penentuan/pembagian dana desa berada di Kemenkeu.
Tidak
hanya itu, munculnya berbagai rezim pengaturan penyelenggaraan pemerintahan
desa, pembangunan, pemberdayaan desa, serta dana desa akibat disharmoni atau
tumpang tindih antara UU Desa dengan PP No. 43 Tahun 2014 (beserta
perubahannya) dan PP No. 60 Tahun 2015 (beserta perubahannya), serta puluhan
aturan dari berbagai K/L. Permasalahan lainnya adalah: 1) bertumpuknya beban
kerja administratif atas beragam proyek aplikasi yang masuk desa sehingga
menjadikan desa sebagai penginput banyak data tanpa memiliki kedaulatan atas
datanya sendiri; dan 2) tidak adanya peta jalan yang terintegrasi dalam
implementasi UU Desa. Hal ini menyebabkan desa terbelenggu dan terbebani dengan
berbagai macam aturan pelaksanaan dan hanya menjalankan program atau kegiatan
yang sangat administratif sehingga menghilangkan kewenangan/kedaulatan desa.
2. Memperkuat pengakuan terhadap
keberagaman desa, termasuk mempertegas rekognisi penetapan desa adat. UU Desa membawa perubahan yang paling mendasar mengenai
keberagaman jenis desa, yaitu desa (atau yang juga dikenal dengan desa dinas)
dan desa adat. Keberagaman jenis desa ini berdampak pada memungkinkannya
penyelenggaraan pemerintahan desa yang beragam. Adanya nomenklatur desa adat
dalam UU Desa merupakan salah satu upaya untuk mengakui dan melindungi hak-hak
masyarakat (hukum) adat. Akan tetapi, dalam praktiknya, hanya 14 kampung adat
di Jayapura yang ditetapkan dan diregistrasi oleh Kementerian Dalam Negeri
selama 10 tahun di tengah adanya kemungkinan 35.000 perubahan status desa
menjadi desa adat (Zakaria, 2023). Setidaknya, terdapat beberapa tantangan
dalam merekognisi penetapan desa adat (PATTIRO, 2017; Zakaria, 2022), yaitu 1)
adanya kekeliruan penafsiran mandat pasal 7 ayat 1 UU Desa yang berkaitan
dengan kata “dapat melakukan” dalam Permendagri No. 1 Tahun 2017 tentang
Penataan Desa menjadi “memiliki inisiatif”; 2) belum adanya aturan lebih
lengkap/detail mengenai kriteria-kriteria dasar yang dapat dijadikan ukuran
penetapan dan pembentukan desa adat; 3) tidak adanya political will dalam hal pengawasan dari pemerintah daerah hingga
pusat; 4) penyederhanaan proses penetapan desa adat ke dalam proses-proses
administratif yang belum dapat merepresentasikan kompleksitas dinamika sosial
masyarakat; hingga 5) rendahnya kapasitas pemerintah daerah dalam
menginventarisasi desa yang ada di wilayahnya yang dapat ditetapkan menjadi
desa adat.
3. Memperkuat kedudukan dan kewenangan
desa berdasarkan prinsip rekognisi dan subsidiaritas.
Penguatan ini akan berimplikasi pada relasi yang lebih mendukung antara desa
dengan pemerintah daerah, termasuk dalam aspek kewenangan, keuangan,
perencanaan, dan penganggaran, serta pengawasan dan pembinaan. Komitmen
melaksanakan kewenangan desa ini juga mencerminkan penguatan kemandirian dan
kedaulatan desa untuk mewujudkan desa kuat, maju, mandiri, dan demokratis. UU
Desa mengamanatkan bahwa kewenangan desa ditentukan oleh warga desa melalui
proses pengusulan kepada bupati dan menetapkannya melalui peraturan bupati
tentang kewenangan desa. Akan tetapi, pengaturan pelaksanaan kewenangan desa
dalam Pasal 33 – 39 PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa
inkonsisten dan rancu dengan yang dimaksud pada Pasal 18 - 19 UU Desa. Dalam
praktiknya, belum semua kabupaten/kota yang mempunyai desa memiliki Peraturan
Bupati/Walikota terkait pedoman pelaksanaan kewenangan desa. Dengan kata lain,
pengaturan pelaksanaan kewenangan desa yang ditugaskan dari kabupaten/kota
belum seutuhnya dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Kalaupun terdapat beberapa
daerah di Indonesia yang menerbitkan Peraturan Bupati/Walikota tentang
kewenangan desa, hal tersebut dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan
masyarakat desa secara bermakna.
Selain itu, di banyak daerah juga terjadi “pengabaian” kewenangan
desa sebagai dasar perencanaan pembangunan desa. Proses perencanaan pembangunan
desa yang diterjemahkan dalam dokumen RPJMN Desa dan RKP Desa tidak konsisten
dan patuh terhadap mandat Pasal 79 ayat (1) UU Desa. Dalam hal ini,
kabupaten/kota belum memiliki Peraturan Bupati/Walikota mengenai kewenangan
desa dan desa belum memiliki Peraturan Desa mengenai kewenangan desa, tetapi
sudah menyusun dokumen perencanaan pembangunan desa. Hal ini jelas merugikan masyarakat
desa karena kewenangan-kewenangan yang dapat dikategorikan dengan kewenangan
asal usul dan lokal berskala desa di berbagai desa tidak dapat dikenali dan
direkognisi dalam Peraturan Bupati/Walikota tersebut.
Tidak hanya itu, pada prinsipnya, kewenangan
pengelolaan dana desa diusulkan 70 persen oleh pemerintah desa dan 30 persen
oleh pemerintah pusat. Akan tetapi, dalam implementasinya, kewenangan yang diberikan kepada pemerintah desa
hanya 30 persen dan sisanya 70 persen menjadi kewenangan pusat. Dalam hal ini,
penguatan kewenangan ini sangat penting untuk membuka ruang inovasi desa dan
penegasan kewenangan desa untuk mengatur dirinya sendiri.
4. Membangun efektivitas konsolidasi
keuangan dan aset desa berdasarkan kewenangan hak asal usul dan lokal berskala
desa. Dalam implementasi UU Desa hingga
saat ini, terdapat setidaknya tiga belenggu dalam pengaturan keuangan desa. Pertama, penerapan Pasal 66 dan Pasal 72
ayat (1) huruf d UU Desa menimbulkan kesenjangan pengaturan mengenai
penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa karena hanya bersumber dari
alokasi dana desa (seperti halnya yang tertuang dalam Pasal 81 ayat (1) PP No.
43 Tahun 2014), di mana setiap kabupaten/kota memiliki kemampuan fiskal yang
berbeda. Selain itu, dalam praktiknya, pengaturan mengenai penghasilan tetap
kepala desa dan perangkat desa mereplikasi formula belanja gaji pegawai dalam
dana alokasi khusus (DAU). Dengan kata lain, penghasilan tetap kepala desa dan
perangkat desa diformulasikan dalam penghitungan alokasi minum dana desa. Kedua, perubahan mekanisme dan formula
pembagian dana desa melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) seringkali
menimbulkan gejolak di tingkat desa karena mengurangi pendapatan dana desa di
suatu desa. Hal ini karena beberapa indikator penghitungan yang digunakan dianggap
subjektif, seperti alokasi afirmasi, alokasi kinerja, dan penghargaan atas
peningkatan status desa menjadi mandiri, hingga perubahan sepihak lainnya. Hal
ini jelas merugikan desa dan tidak sesuai dengan mandat Pasal 72 ayat (2) UU
Desa. Oleh karena itu, dana desa harus diperlakukan sebagaimana dana transfer
ke daerah yang lain, seperti halnya dana alokasi umum (DAU).
Ketiga, belum terpenuhinya hak pendapatan
desa sesuai mandat Pasal 72 UU Desa, terutama yang bersumber dari APBD
Kabupaten/Kota. Di sisi yang lain, pengaturan belanja desa memposisikan desa sebagai “objek” yang diatur secara detail sesuai
kebijakan supra desa, seperti dalam Pasal 100 PP 43/2014 dan perubahannya
mengenai belanja gaji, operasional, dan tunjangan tidak melebihi 30%.
Pengaturan ini mengakibatkan ribuan desa di Pulau Jawa yang memiliki tambahan
penghasilan dari tanah kas desa (TKD) sebagai aset bersifat hak asal usul atau
desa di luar Pulau Jawa yang alokasi dana desanya relatif besar karena
pendapatan asli daerahnya pada fiskal yang tinggi harus melakukan pengurangan
penghasilan tetap dan tambahan penghasilan. Hal ini semakin diperparah dengan
ketentuan Pasal 19 ayat (2), 21, 22, dan 23 PP No. 60 Tahun 2014 bertentangan
dengan Pasal 72 ayat (1) dan Pasal 100 UU Desa dan mereduksi kewenangan asal
usul dan lokal berskala desa.
Selain
itu, temuan FITRA selam
proses pendampingan desa kurun waktu 8 tahun terakhir menunjukkan bahwa
sebagian besar pemerintah desa belum optimal dalam tata kelola keuangan desa,
terutama alokasi belanja desa untuk pemenuhan kepentingan masyarakat setempat. Tidak
hanya itu, Permendagri No. 1 Tahun 2016 tidak menjelaskan bagaimana mekanisme
tata kelola aset berdasarkan hak asal usul dan aset yang bersifat lokal skala
desa. Dengan kata lain, dalam
praktiknya, pengaturan tentang aset tanah kas desa tidak ada bedanya dengan
pengaturan aset lainnya, di mana tanah kas desa sebagai bentuk kewenangan asal
usul, namun pelaksanaannya diatur dan diurus oleh kabupaten/kota.
5.
Perencanaan
yang terintegrasi dan memastikan perspektif inklusi sosial dalam pembangunan
dan pemberdayaan
6. Mempertegas perbedaan status dan
kedudukan pemerintah desa dan pemerintahan desa serta kedudukan Badan Permusyawaratan Desa
(BPD) dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Secara
filosofis, pembentukan BPD berfungsi untuk memberikan keseimbangan peran dan
kontrol penyelenggaraan pemerintahan desa oleh Pemerintah Desa. Namun dalam UU
Desa, kedudukan BPD bukan lagi menjadi unsur penyelenggara pemerintahan desa,
di mana legitimasi kekuasaan BPD “mandul”. Secara hakikat, BPD harus diletakkan
sebagai representasi kedaulatan politik rakyat desa melalui kedudukan dan
fungsi. Sementara itu, pemerintah desa merupakan representasi kedaulatan
teknokratis. Dengan demikian, berjalannya demokrasi di desa sepenuhnya menjadi
tanggung jawab BPD. Saat ini, BPD tidak memiliki kedudukan apapun dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa dan hanya sebatas lembaga desa yang menjalankan
fungsi sesuai ketentuan yang ada. Oleh karena itu, BPD harus dikembalikan
kedudukannya sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan desa. Dengan
demikian, pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh BPD
dan Pemerintah Desa.
7. Memperkuat demokratisasi di desa
dengan fokus pada pemberdayaan dan pendampingan. Dalam
hal ini, terdapat pemangku kekuasaan politik lokal di desa yang belum berpihak
dan memberdayakan warga miskin, disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok
rentan lainnya sehingga warga desa berada dalam posisi yang belum sepenuhnya
berdaya dalam proses pengambilan keputusan di tingkat desa dan pendayagunaan
sumber daya pembangunan di desa. Selain itu, lemahnya kapasitas aktor-aktor
desa (kepala desa, perangkat desa, anggota BPD, dan masyarakat desa) dalam
melakukan pengambilan keputusan secara musyawarah untuk mufakat. Terkait usulan
memperpanjang jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dan dapat dipilih kembali
dalam jabatan yang sama, hal ini merupakan pengingkaran terhadap demokratisasi
desa. Hal tersebut juga sangat berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan atau
penyimpangan kekuasaan. Masa jabatan kepada desa selama 6 tahun dan dapat
menjabat paling banyak 3 kali dalam UU Desa merupakan hasil kompromi dari
permasalahan panjangnya masa jabatan kepada desa di era Orde Baru sehingga
menimbulkan stagnansi pembangunan desa. Proses demokrasi pemilihan kepala desa
sudah menjadi pembelajaran yang sangat panjang sehingga tidak perlu ada
kekhawatiran secara berlebihan terhadap residu yang ditimbulkan. Hal yang juga
perlu diingat adalah konsekuensi logis dari memperkuat demokratisasi di tingkat
desa akan berdampak pada banyak hal, seperti adanya rekognisi yang kuat
terhadap keberagaman jenis desa, menguatnya kewenangan desa berdasarkan prinsip
rekognisi dan subdiaritas, hingga terjadinya konsolidasi keuangan dan aset desa
yang efektif karena adanya perencanaan yang terintegrasi dengan melibatkan
masyarakat desa secara bermakna.
8. Memperkuat solidaritas ekonomi,
kolektivitas, dan tata kelola pemerintahan desa yang baik. Permasalahan yang tidak dapat dipungkiri adalah pembangunan desa
tidak menyentuh masyarakat rentan dan terdapat kecenderungan penguasaan kapital
yang terpusat pada golongan kaya atau elite di pedesaan. Hal ini berpotensi
menyebabkan korupsi di desa. Data KPK (2023) menunjukkan bahwa jumlah kepala desa yang terjerat kasus korupsi sebanyak 601
perkara dan aparat desa sebanyak 686 perkara dengan perkiraan kerugian negara
sebesar Rp. 433,8 miliar. Data tersebut diperkuat dengan temuan ICW (2021) yang
memperlihatkan kasus korupsi di desa berbasis sektoral, antara lain sektor
keuangan dana desa berkontribusi paling banyak kasus korupsi sebanyak 154 kasus
dengan potensi kerugian Rp 233 miliar, sektor pertanahan 21 kasus dengan
potensi kerugian sebesar Rp 25 triliun, dan sektor pemerintahan sebanyak 52
kasus. Setidaknya, terdapat empat penyebab terjadinya banyak korupsi di desa
(Zakiyah, 2023), yaitu 1) minimnya pelibatan dan pemahaman warga terhadap
proses pembangunan desa, 2) minimnya fungsi pengawasan di desa, di mana BPD
belum optimal dalam menjalankan pengawasan anggaran di desa, 3) terbatasnya
akses warga terhadap informasi seperti anggaran desa dan pelayanan publik di
desa, serta 4) lemahnya kapasitas dan ketidaksiapan kepala desa dan perangkat
desa dalam mengelola dana desa dalam jumlah yang besar.
Rekomendasi
Atas berbagai catatan di atas, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Revisi UU
Desa mendesak:
- Pemerintah dan DPR RI harus melibatkan
partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dalam perumusan Revisi UU Desa
sesuai dengan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang kemudian dinormakan
dalam UU No. 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12/2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
- Pemerintah dan DPR RI tidak boleh
menjadikan Revisi UU Desa sebagai alat transaksi untuk dukungan menuju
pemungutan suara dalam Pemilu 2024.
- Pemerintah dan DPR RI agar tidak
terburu-buru mengesahkan Revisi UU Desa di Badan Legislatif DPR RI dengan
kembali melakukan:
a. Kajian
dan evaluasi kembali terhadap implementasi UU Desa dan tata kelola pemerintahan
desa di Indonesia secara komprehensif, empiris, rasional, dan objektif, serta
tidak diletakkan pada agenda elitis dalam rangka Pemilu 2024
b. Mempublikasikan
setiap informasi mengenai pembahasan Revisi UU Desa kepada publik secara luas
melalui kanal resmi seperti website DPR RI dan KemendesPDTT sebagai bagian dari
membangun transparansi pembentukan undang-undang
c. Menampung
dan menindaklanjuti berbagai masukan dari kelompok masyarakat yang terdampak
langsung dan memiliki perhatian terhadap Revisi UU Desa
Koalisi Masyarakat Sipil
Kawal Revisi UU Desa
1. Forum
Masyarakat Sipil (FORMASI) Kebumen
2. JARKOM
DESA
3. Komite
Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)
4. Sekretariat
Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA)
5. Yayasan
Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA)
6. Indonesian
Parliamentary Center (IPC)
7. Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
8. Komite Pemantau Legislatif (KOPEL)
9. Lakpesdam PBNU
Sumber Referensi
Murtiono,
Yusuf, “Belenggu Desa oleh Rezim Implementasi UU Desa”, dipresentasikan dalam
Diskusi Advokasi Revisi UU Desa pada 29 September 2023
PATTIRO.
2017. Policy Brief Serial Mengawal Implementasi UU Desa: Mempertegas Pengaturan
Penetapan Desa Adat. PATTIRO: Jakarta
Shohibuddin,
Mohamad, Eko Cahyono, dan Adi Dzikrulloh Bahri, “Undang-Undang Desa dan Isu
Sumber Daya Alam: Peluang Akses atau Ancaman Eksklusi?”, Wacana Jurnal Transformasi Sosial, Nomor 36/Tahun XiX/2017, hlm. 29
– 81
Surya
Putra, Anom, “Desa di Masa Pandemi Covid-19 (1): Praksis Dana Desa Tidak Sedang
Baik-Baik Saja?”, diakses dari https://www.mediavanua.com/desa-di-masa-pandemi-covid-19-1-praksis-dana-desa-tidak-sedang-baik-baik-saja/
Zakaria,
R. Yando. 2022. Kronik Undang-Undang
Desa: Dari UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa ke UU No. 6/2014 tentang
Desa. Perkumpulan Karsa: Yogyakarta
Zakaria,
R. Yando, “Revisi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa: Revisi yang Salah Arah!”,
dipresentasikan dalam Diskusi Urgensi Revisi UU Desa pada 18 Juli 2023
Zakiyah,
Wasingatu, “Perjalanan 10 Tahun: Memandu Desa Responsif GEDSI dan
Anti-Korupsi”, dipresentasikan dalam Diskusi Advokasi Revisi UU Desa pada 29
September 2023