Tuesday, February 6, 2024

Mengembalikan Arah yang Tepat dalam Revisi UU Desa

Mengembalikan Arah yang Tepat dalam Revisi UU Desa

Disusun oleh: Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Revisi UU Desa


Konteks

Pada 3 Juli 2023, Rapat Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi DPR RI menyepakati masuknya 19 poin perubahan dalam revisi UU Desa. Setidaknya, terdapat dua agenda besar dalam revisi UU Desa, yaitu 1) menaikkan alokasi dana desa dan 2) kedudukan pemerintah desa, khususnya kepala desa, seperti kenaikan gaji, tunjangan purnatugas, hingga masa jabatan. Dalam dokumen penjelasan RUU Perubahan Kedua UU Desa pada 19 Juni 2023, tertulis bahwa beberapa perubahan terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan sebagai penyempurnaan terhadap UU Desa sebelumnya, yaitu antara lain mengatur mengenai: i) kedudukan desa; ii) penyelenggaraan pemerintahan desa; iii) asas dan tujuan di dalam pengaturan desa; iv) tugas, hak, kewajiban, persyaratan, dan masa jabatan kepada desa; v) keuangan desa; vi) pembangunan desa; serta vii) ketentuan peralihan mengenai masa jabatan kepada desa yang saat ini menjabat.

 

Revisi UU Desa tidak boleh diletakkan pada agenda elitis dalam rangka Pemilu 2024. Agenda perubahan UU Desa juga tidak boleh hanya bersifat “jawa sentris” tanpa melihat keberagaman desa di Indonesia. Revisi UU Desa ini juga harus melalui kajian ilmiah dan evaluasi terhadap implementasi UU Desa yang komprehensif, empiris, rasional, dan objektif. Keinginan besar untuk mengubah UU Desa tanpa adanya evaluasi yuridis, empiris, dan sosiologis secara komprehensif hanya akan mendelegitimasi dan melemahkan desa, serta menjauhkan kembali rasa memiliki warga desa yang saat ini sudah mulai hidup dan terbangun.

 

Arah Perubahan UU Desa

Revisi UU Desa tidak boleh hanya sekadar berfokus pada perubahan pemerintahan desa. Revisi UU Desa harus mengarah pada realisasi untuk memperkuat pengakuan atas hak asal-usul yang melihat desa sebagai persekutuan sosial dan budaya; desa sebagai persekutuan hukum, politik, dan pemerintahan; serta desa sebagai persekutuan ekonomi (sebagai ekspresi dari penguasaan desa atas sumber-sumber kehidupan yang menjadi ulayatnya) (Zakaria, 2022). Secara umum, revisi UU Desa setidaknya difokuskan pada memperbaiki sistem tata kelola pemerintahan yang baik, pengembangan masyarakat berbasis komunitas, serta pengaturan dan tata kelola sumber daya alam dan lingkungan.

 

Oleh karena itu, setidaknya terdapat delapan perubahan mendasar seiring dengan berlakunya UU Desa, yaitu:

1.     Merekonstruksi total aturan pelaksanaan UU Desa guna menghilangkan dikotomi rezim pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan, dan keuangan desa. Dalam praktiknya, terjadi dualisme kementerian dalam pelaksanaan UU Desa. Kebijakan Presiden Jokowi memang mengamanatkan desa diurus terutama oleh dua kementerian. Pertama, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Perpres No. 11 Tahun 2015 yang bertanggung jawab mengenai aspek pemerintahan desa. Perpres 11/2015 juga memosisikan desa sebagai “sub-sistem” pemerintahan daerah (desa lama). Kedua, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KemenDesPDTT) melalui Perpres No. 12 Tahun 2015 yang bertanggung jawab mengenai aspek pemberdayaan dan pembangunan desa. Perpres 12/2015 mendudukkan desa sebagai “pelaksana proyek” KemenDesPDTT melalui dana desa. Hal tersebut diperkuat dalam PP Nomor 47 Tahun 2015 untuk mempertegas pembagian kekuasaan. Dalam hal ini, PP 47/2015 membangun dikotomi yang jelas: rezim urusan pemerintahan desa berada di Kemendagri, sedangkan urusan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat berada di KemenDesPDTT. Selain itu, kerumitan implementasi UU Desa semakin diperparah dengan keberadaan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang bertanggung jawab mengenai dana desa yang memang bersumber dari APBN melalui PP No. 60 Tahun 2014. PP 60/2014 pun membangun dikotomi rezim tata kelola keuangan berada di Kemendagri, prioritas pembangunan dana desa berada di KemenDesPDTT, serta penentuan/pembagian dana desa berada di Kemenkeu.

 

Tidak hanya itu, munculnya berbagai rezim pengaturan penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan, pemberdayaan desa, serta dana desa akibat disharmoni atau tumpang tindih antara UU Desa dengan PP No. 43 Tahun 2014 (beserta perubahannya) dan PP No. 60 Tahun 2015 (beserta perubahannya), serta puluhan aturan dari berbagai K/L. Permasalahan lainnya adalah: 1) bertumpuknya beban kerja administratif atas beragam proyek aplikasi yang masuk desa sehingga menjadikan desa sebagai penginput banyak data tanpa memiliki kedaulatan atas datanya sendiri; dan 2) tidak adanya peta jalan yang terintegrasi dalam implementasi UU Desa. Hal ini menyebabkan desa terbelenggu dan terbebani dengan berbagai macam aturan pelaksanaan dan hanya menjalankan program atau kegiatan yang sangat administratif sehingga menghilangkan kewenangan/kedaulatan desa.

 

2.     Memperkuat pengakuan terhadap keberagaman desa, termasuk mempertegas rekognisi penetapan desa adat. UU Desa membawa perubahan yang paling mendasar mengenai keberagaman jenis desa, yaitu desa (atau yang juga dikenal dengan desa dinas) dan desa adat. Keberagaman jenis desa ini berdampak pada memungkinkannya penyelenggaraan pemerintahan desa yang beragam. Adanya nomenklatur desa adat dalam UU Desa merupakan salah satu upaya untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat (hukum) adat. Akan tetapi, dalam praktiknya, hanya 14 kampung adat di Jayapura yang ditetapkan dan diregistrasi oleh Kementerian Dalam Negeri selama 10 tahun di tengah adanya kemungkinan 35.000 perubahan status desa menjadi desa adat (Zakaria, 2023). Setidaknya, terdapat beberapa tantangan dalam merekognisi penetapan desa adat (PATTIRO, 2017; Zakaria, 2022), yaitu 1) adanya kekeliruan penafsiran mandat pasal 7 ayat 1 UU Desa yang berkaitan dengan kata “dapat melakukan” dalam Permendagri No. 1 Tahun 2017 tentang Penataan Desa menjadi “memiliki inisiatif”; 2) belum adanya aturan lebih lengkap/detail mengenai kriteria-kriteria dasar yang dapat dijadikan ukuran penetapan dan pembentukan desa adat; 3) tidak adanya political will dalam hal pengawasan dari pemerintah daerah hingga pusat; 4) penyederhanaan proses penetapan desa adat ke dalam proses-proses administratif yang belum dapat merepresentasikan kompleksitas dinamika sosial masyarakat; hingga 5) rendahnya kapasitas pemerintah daerah dalam menginventarisasi desa yang ada di wilayahnya yang dapat ditetapkan menjadi desa adat.

 

3.     Memperkuat kedudukan dan kewenangan desa berdasarkan prinsip rekognisi dan subsidiaritas. Penguatan ini akan berimplikasi pada relasi yang lebih mendukung antara desa dengan pemerintah daerah, termasuk dalam aspek kewenangan, keuangan, perencanaan, dan penganggaran, serta pengawasan dan pembinaan. Komitmen melaksanakan kewenangan desa ini juga mencerminkan penguatan kemandirian dan kedaulatan desa untuk mewujudkan desa kuat, maju, mandiri, dan demokratis. UU Desa mengamanatkan bahwa kewenangan desa ditentukan oleh warga desa melalui proses pengusulan kepada bupati dan menetapkannya melalui peraturan bupati tentang kewenangan desa. Akan tetapi, pengaturan pelaksanaan kewenangan desa dalam Pasal 33 – 39 PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa inkonsisten dan rancu dengan yang dimaksud pada Pasal 18 - 19 UU Desa. Dalam praktiknya, belum semua kabupaten/kota yang mempunyai desa memiliki Peraturan Bupati/Walikota terkait pedoman pelaksanaan kewenangan desa. Dengan kata lain, pengaturan pelaksanaan kewenangan desa yang ditugaskan dari kabupaten/kota belum seutuhnya dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Kalaupun terdapat beberapa daerah di Indonesia yang menerbitkan Peraturan Bupati/Walikota tentang kewenangan desa, hal tersebut dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat desa secara bermakna.

 

Selain itu, di banyak daerah juga terjadi “pengabaian” kewenangan desa sebagai dasar perencanaan pembangunan desa. Proses perencanaan pembangunan desa yang diterjemahkan dalam dokumen RPJMN Desa dan RKP Desa tidak konsisten dan patuh terhadap mandat Pasal 79 ayat (1) UU Desa. Dalam hal ini, kabupaten/kota belum memiliki Peraturan Bupati/Walikota mengenai kewenangan desa dan desa belum memiliki Peraturan Desa mengenai kewenangan desa, tetapi sudah menyusun dokumen perencanaan pembangunan desa. Hal ini jelas merugikan masyarakat desa karena kewenangan-kewenangan yang dapat dikategorikan dengan kewenangan asal usul dan lokal berskala desa di berbagai desa tidak dapat dikenali dan direkognisi dalam Peraturan Bupati/Walikota tersebut.

 

Tidak hanya itu, pada prinsipnya, kewenangan pengelolaan dana desa diusulkan 70 persen oleh pemerintah desa dan 30 persen oleh pemerintah pusat. Akan tetapi, dalam implementasinya, kewenangan yang diberikan kepada pemerintah desa hanya 30 persen dan sisanya 70 persen menjadi kewenangan pusat. Dalam hal ini, penguatan kewenangan ini sangat penting untuk membuka ruang inovasi desa dan penegasan kewenangan desa untuk mengatur dirinya sendiri.

 

4.     Membangun efektivitas konsolidasi keuangan dan aset desa berdasarkan kewenangan hak asal usul dan lokal berskala desa. Dalam implementasi UU Desa hingga saat ini, terdapat setidaknya tiga belenggu dalam pengaturan keuangan desa. Pertama, penerapan Pasal 66 dan Pasal 72 ayat (1) huruf d UU Desa menimbulkan kesenjangan pengaturan mengenai penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa karena hanya bersumber dari alokasi dana desa (seperti halnya yang tertuang dalam Pasal 81 ayat (1) PP No. 43 Tahun 2014), di mana setiap kabupaten/kota memiliki kemampuan fiskal yang berbeda. Selain itu, dalam praktiknya, pengaturan mengenai penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa mereplikasi formula belanja gaji pegawai dalam dana alokasi khusus (DAU). Dengan kata lain, penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa diformulasikan dalam penghitungan alokasi minum dana desa. Kedua, perubahan mekanisme dan formula pembagian dana desa melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) seringkali menimbulkan gejolak di tingkat desa karena mengurangi pendapatan dana desa di suatu desa. Hal ini karena beberapa indikator penghitungan yang digunakan dianggap subjektif, seperti alokasi afirmasi, alokasi kinerja, dan penghargaan atas peningkatan status desa menjadi mandiri, hingga perubahan sepihak lainnya. Hal ini jelas merugikan desa dan tidak sesuai dengan mandat Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Oleh karena itu, dana desa harus diperlakukan sebagaimana dana transfer ke daerah yang lain, seperti halnya dana alokasi umum (DAU).

 

Ketiga, belum terpenuhinya hak pendapatan desa sesuai mandat Pasal 72 UU Desa, terutama yang bersumber dari APBD Kabupaten/Kota. Di sisi yang lain, pengaturan belanja desa memposisikan desa sebagai “objek” yang diatur secara detail sesuai kebijakan supra desa, seperti dalam Pasal 100 PP 43/2014 dan perubahannya mengenai belanja gaji, operasional, dan tunjangan tidak melebihi 30%. Pengaturan ini mengakibatkan ribuan desa di Pulau Jawa yang memiliki tambahan penghasilan dari tanah kas desa (TKD) sebagai aset bersifat hak asal usul atau desa di luar Pulau Jawa yang alokasi dana desanya relatif besar karena pendapatan asli daerahnya pada fiskal yang tinggi harus melakukan pengurangan penghasilan tetap dan tambahan penghasilan. Hal ini semakin diperparah dengan ketentuan Pasal 19 ayat (2), 21, 22, dan 23 PP No. 60 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 72 ayat (1) dan Pasal 100 UU Desa dan mereduksi kewenangan asal usul dan lokal berskala desa.

 

Selain itu, temuan FITRA selam proses pendampingan desa kurun waktu 8 tahun terakhir menunjukkan bahwa sebagian besar pemerintah desa belum optimal dalam tata kelola keuangan desa, terutama alokasi belanja desa untuk pemenuhan kepentingan masyarakat setempat. Tidak hanya itu, Permendagri No. 1 Tahun 2016 tidak menjelaskan bagaimana mekanisme tata kelola aset berdasarkan hak asal usul dan aset yang bersifat lokal skala desa. Dengan kata lain, dalam praktiknya, pengaturan tentang aset tanah kas desa tidak ada bedanya dengan pengaturan aset lainnya, di mana tanah kas desa sebagai bentuk kewenangan asal usul, namun pelaksanaannya diatur dan diurus oleh kabupaten/kota.

 

5.     Perencanaan yang terintegrasi dan memastikan perspektif inklusi sosial dalam pembangunan dan pemberdayaan desa. Sebagaimana UU tentang sistem perencanaan pembangunan, perencanaan desa dilakukan melalui 4 cara yaitu: (1) perencanaan partisipatif melalui musyawarah desa dan musyawarah perencanaan pembangunan; (2) perencanaan teknokratis melalui perencanaan yang dibuat oleh perangkat desa berdasarkan kewenangan; (3) perencanaan top down - bottom up dengan selalu menjadikan perencanaan kabupaten, provinsi bahka perencanaan jangka menengah di atasnya, untuk mempertimbangkan pembuatan perencanaan jangka menengah desa; dan (4) perencanaan politis, dimana ada visi-misi kepala desa terpilih. Perubahan UU Desa harus mempertegas sistem pemanfaatan data yang aktual dan presisi dalam perencanaan dan pembangunan desa, termasuk perencanaan penganggaran, yang memastikan perspektif keadilan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI). Selain itu, mendorong tata kelola desa yang inklusif harus meletakkan pada penguatan tata kelola pemerintahan yang inklusif, partisipatif, dan berkeadilan sosial, dan tidak hanya sekadar membahas kelembagaan desa atau struktur kelembagaan desa.

 

6.     Mempertegas perbedaan status dan kedudukan pemerintah desa dan pemerintahan desa serta kedudukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Secara filosofis, pembentukan BPD berfungsi untuk memberikan keseimbangan peran dan kontrol penyelenggaraan pemerintahan desa oleh Pemerintah Desa. Namun dalam UU Desa, kedudukan BPD bukan lagi menjadi unsur penyelenggara pemerintahan desa, di mana legitimasi kekuasaan BPD “mandul”. Secara hakikat, BPD harus diletakkan sebagai representasi kedaulatan politik rakyat desa melalui kedudukan dan fungsi. Sementara itu, pemerintah desa merupakan representasi kedaulatan teknokratis. Dengan demikian, berjalannya demokrasi di desa sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPD. Saat ini, BPD tidak memiliki kedudukan apapun dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan hanya sebatas lembaga desa yang menjalankan fungsi sesuai ketentuan yang ada. Oleh karena itu, BPD harus dikembalikan kedudukannya sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan desa. Dengan demikian, pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh BPD dan Pemerintah Desa.

 

7.     Memperkuat demokratisasi di desa dengan fokus pada pemberdayaan dan pendampingan. Dalam hal ini, terdapat pemangku kekuasaan politik lokal di desa yang belum berpihak dan memberdayakan warga miskin, disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya sehingga warga desa berada dalam posisi yang belum sepenuhnya berdaya dalam proses pengambilan keputusan di tingkat desa dan pendayagunaan sumber daya pembangunan di desa. Selain itu, lemahnya kapasitas aktor-aktor desa (kepala desa, perangkat desa, anggota BPD, dan masyarakat desa) dalam melakukan pengambilan keputusan secara musyawarah untuk mufakat. Terkait usulan memperpanjang jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hal ini merupakan pengingkaran terhadap demokratisasi desa. Hal tersebut juga sangat berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan atau penyimpangan kekuasaan. Masa jabatan kepada desa selama 6 tahun dan dapat menjabat paling banyak 3 kali dalam UU Desa merupakan hasil kompromi dari permasalahan panjangnya masa jabatan kepada desa di era Orde Baru sehingga menimbulkan stagnansi pembangunan desa. Proses demokrasi pemilihan kepala desa sudah menjadi pembelajaran yang sangat panjang sehingga tidak perlu ada kekhawatiran secara berlebihan terhadap residu yang ditimbulkan. Hal yang juga perlu diingat adalah konsekuensi logis dari memperkuat demokratisasi di tingkat desa akan berdampak pada banyak hal, seperti adanya rekognisi yang kuat terhadap keberagaman jenis desa, menguatnya kewenangan desa berdasarkan prinsip rekognisi dan subdiaritas, hingga terjadinya konsolidasi keuangan dan aset desa yang efektif karena adanya perencanaan yang terintegrasi dengan melibatkan masyarakat desa secara bermakna.

 

8.     Memperkuat solidaritas ekonomi, kolektivitas, dan tata kelola pemerintahan desa yang baik. Permasalahan yang tidak dapat dipungkiri adalah pembangunan desa tidak menyentuh masyarakat rentan dan terdapat kecenderungan penguasaan kapital yang terpusat pada golongan kaya atau elite di pedesaan. Hal ini berpotensi menyebabkan korupsi di desa. Data KPK (2023) menunjukkan bahwa jumlah kepala desa yang terjerat kasus korupsi sebanyak 601 perkara dan aparat desa sebanyak 686 perkara dengan perkiraan kerugian negara sebesar Rp. 433,8 miliar. Data tersebut diperkuat dengan temuan ICW (2021) yang memperlihatkan kasus korupsi di desa berbasis sektoral, antara lain sektor keuangan dana desa berkontribusi paling banyak kasus korupsi sebanyak 154 kasus dengan potensi kerugian Rp 233 miliar, sektor pertanahan 21 kasus dengan potensi kerugian sebesar Rp 25 triliun, dan sektor pemerintahan sebanyak 52 kasus. Setidaknya, terdapat empat penyebab terjadinya banyak korupsi di desa (Zakiyah, 2023), yaitu 1) minimnya pelibatan dan pemahaman warga terhadap proses pembangunan desa, 2) minimnya fungsi pengawasan di desa, di mana BPD belum optimal dalam menjalankan pengawasan anggaran di desa, 3) terbatasnya akses warga terhadap informasi seperti anggaran desa dan pelayanan publik di desa, serta 4) lemahnya kapasitas dan ketidaksiapan kepala desa dan perangkat desa dalam mengelola dana desa dalam jumlah yang besar.

 

Rekomendasi

Atas berbagai catatan di atas, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Revisi UU Desa mendesak:

  1. Pemerintah dan DPR RI harus melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dalam perumusan Revisi UU Desa sesuai dengan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang kemudian dinormakan dalam UU No. 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
  2. Pemerintah dan DPR RI tidak boleh menjadikan Revisi UU Desa sebagai alat transaksi untuk dukungan menuju pemungutan suara dalam Pemilu 2024.
  3. Pemerintah dan DPR RI agar tidak terburu-buru mengesahkan Revisi UU Desa di Badan Legislatif DPR RI dengan kembali melakukan:

a.     Kajian dan evaluasi kembali terhadap implementasi UU Desa dan tata kelola pemerintahan desa di Indonesia secara komprehensif, empiris, rasional, dan objektif, serta tidak diletakkan pada agenda elitis dalam rangka Pemilu 2024

b.     Mempublikasikan setiap informasi mengenai pembahasan Revisi UU Desa kepada publik secara luas melalui kanal resmi seperti website DPR RI dan KemendesPDTT sebagai bagian dari membangun transparansi pembentukan undang-undang

c.      Menampung dan menindaklanjuti berbagai masukan dari kelompok masyarakat yang terdampak langsung dan memiliki perhatian terhadap Revisi UU Desa

 

 

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Revisi UU Desa

1.     Forum Masyarakat Sipil (FORMASI) Kebumen

2.     JARKOM DESA

3.     Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)

4.     Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA)

5.     Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA)

6.     Indonesian Parliamentary Center (IPC)

7.     Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)

8.     Komite Pemantau Legislatif (KOPEL)

9.     Lakpesdam PBNU

 

 

 

Sumber Referensi

Murtiono, Yusuf, “Belenggu Desa oleh Rezim Implementasi UU Desa”, dipresentasikan dalam Diskusi Advokasi Revisi UU Desa pada 29 September 2023

PATTIRO. 2017. Policy Brief Serial Mengawal Implementasi UU Desa: Mempertegas Pengaturan Penetapan Desa Adat. PATTIRO: Jakarta

Shohibuddin, Mohamad, Eko Cahyono, dan Adi Dzikrulloh Bahri, “Undang-Undang Desa dan Isu Sumber Daya Alam: Peluang Akses atau Ancaman Eksklusi?”, Wacana Jurnal Transformasi Sosial, Nomor 36/Tahun XiX/2017, hlm. 29 – 81

Surya Putra, Anom, “Desa di Masa Pandemi Covid-19 (1): Praksis Dana Desa Tidak Sedang Baik-Baik Saja?”, diakses dari https://www.mediavanua.com/desa-di-masa-pandemi-covid-19-1-praksis-dana-desa-tidak-sedang-baik-baik-saja/

Zakaria, R. Yando. 2022. Kronik Undang-Undang Desa: Dari UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa ke UU No. 6/2014 tentang Desa. Perkumpulan Karsa: Yogyakarta

Zakaria, R. Yando, “Revisi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa: Revisi yang Salah Arah!”, dipresentasikan dalam Diskusi Urgensi Revisi UU Desa pada 18 Juli 2023

Zakiyah, Wasingatu, “Perjalanan 10 Tahun: Memandu Desa Responsif GEDSI dan Anti-Korupsi”, dipresentasikan dalam Diskusi Advokasi Revisi UU Desa pada 29 September 2023

 

 

 

Tuesday, September 28, 2021

Pantai Walakiri, Sumba Timur

Pantai Walakiri berada di Kabupaten Sumba Timur. Adalah salah satu pantai dari 18 (delapan belas) pantai yang ada di Sumba Timur. Perjalanan dari Waingapu, Ibukota kabupaten Sumba Timur, ditempuh sekitar 18 menit berkendara.

Pantai ini terkenal dengan sunset-nya. Jika kita datang diwaktu dan saat yang tepat, maka akan dapat menikmati sunset yang sangat indah.


Berikut ini beberapa foto, yang berhasil diambil pada 26 September 2021. Pada saat itu cuaca sedang sedikit berawan.








Silakan juga simak video di link Youtube ini: Walakiri, Sumba Timur - YouTube 



Wednesday, November 11, 2020

Masjid Paromosono, Solo

Masjid Paromosono dibangun dibangun pada masa perpindahan Kraton Surakarta dari Kartasura ke Desa Sala pada tahun 1745. Masjid dibangun pada masa pemerintahan Sri Susuhhunan Pakubuwono (PB) II. Pembangunan masjid ini dilakukan agar para abdi dalem dan kerabat kraton yang tinggal di dalam tembok kraton dapat menjalankan ibadah.

Nama Paromosono diberikan oleh para abdi dalem Suronoto, yakni abdi dalem yang mengurus masjid khusus untuk keluarga kraton. Abdi dalem Suronoto bertanggung jawab kepada penghulu. Seorang penghulu di Kraton Surakarta bergelar Kyai Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom.

Para abdi dalem Suronoto ini tinggal di dalam benteng kraton. Di dekat masjid. Oleh karena itu, kampung dimana para abdi dalem Suronoto ini tinggal disebut dengan Kampung Suranatan. Abdi dalem Suronoto merupakan abdi dalem istana atau abdi dalem lebet, yang bertuhgas mengurus masjid keluarga keraton.






Masjid ini memiliki bangunan atau ruangan utama berada di tengah yang diapit oleh dua ruang lainnya. Ruangan di sebelah selatan ruangan utama digunakan untuk tempat mengaji (kini disebut TPA) sedangkan ruangan di sebelah utara digunakan untuk menyimpan barang-barang milik masjid. Serambi masjid berada di sebelah timur ruang utama, dimana ada sebuah bedug dan di sebelah timur bedug ada tempat wudlu bagi warga yang akan menunaikan shalat.






Luas bangunan masjid  adalah 600 m² yang berdiri atas tanah 1000 


Foto adalah koleksi pribadi, diambil pada 8 Oktober 2020 dengan iPhone-6

Sunday, September 6, 2020

Masjid Al-Mujahidin, Silae, Palu: Masih Utuh Walau Terdampak Gempa dan Tsunami

Masjid Al-Mujahidin berada di Jalan Diponegoro, tepatnya di Desa Silae, Palu Barat, Kota Palu. Masjid ini didirikan pada tahun 1996 di atas tanah wakaf seluas 1000 m2. 

Masjid ini berjarak 50 meter dari bibir pantai, dan pada bencana gempa dan tsunami tahun 2018 lalu masjid ini terdampak. Menara masjidnya miring, namun bangunan masjid tetap utuh tidak ada kerusaskan berarti. Padahal bangunan di sekitarnya rusak atau bahkan hancur diterjang tsunami dan gempa.

Sampai saat ini menara masjid yang miring masih dibiarkan, sebagai pengingat kejadian alam saat itu. Selain itu banyak orang Palu atau di luar Palu yang mengunjungi masjid ini untuk melihat keunikan menara miring ini.





Foto dan Video adalah Koleksi Pribadi

Tuesday, September 1, 2020

Masjid Laweyan: Masjid Tertua di Solo dan Sumur yang Tak Pernah Kering

Masjid Laweyan yang terletak di Kampung Belukan, Pajang, Laweyan adalah Masjid Tertua di Kota Solo. Dibangun pada masa Kesultanan Pajang, tepatnya pada tahun 1546 Masehi.

Menurut catatan sejarah, pada zaman itu ada seorang pemeluk Hindu bernama Ki Beluk, beliau tinggal dan membangun pesanggrahan serta pura di tepi Sungai Kabanaran. Sungai ini adalah jalur lalu lintas perdagangan batik. Ki Beluk memiliki hubungan yang baik dengan Ki Ageng Henis, seorang kepercayaan Sultan Hadiwijaya. Ki Ageng Henis adalah orang yang mengenalkan dan mengajarkan teknik membatik kepada warga Laweyan. Di waktu senggang, Ki Beluk sering berdiskusi mengenai agama Islam dengan Ki Ageng Henis, hingga pada satu waktu, beliau memantapkan diri memeluk Islam. Kemudian, pura dan sanggarnya tersebut diserahkan kepada warga untuk digunakan sebagai masjid. Ki Ageng Henis dimakamkan di sebelah selatan masjid, masih dalam kompleks masjid.


Maka tak heran jika bentuk bangunan masjid ini seperti pura atau kelenteng Jawa. Atapnya bersusun yang terdiri dua bagian. Sebelum dibangun seperti saat ini, bangunan masjid menggunakan batu bata dan kayu. Tata ruang masjid terdiri dari 3 (tiga) bagian, sebagaiamana tata ruang masjid di Jawa. Yakni ruang induk (utama), serambi kanan untuk perempuan dan serambi kiri. 

Di kompleks Masjid Laweyan ini ada sumur yang tidak pernah kering. Konon dalam ceritanya masyarakat setempat, sumur ini adalah bekas injakan kaki Sunan Kalijaga.



Foto dan Video adalah Koleksi Pribadi