Friday, September 30, 2011

Sekolah Transparan Kelola BOS?

Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah berjalan sejak tahun 2004 lalu dengan mekanisme penyaluran langsung dari pemerintah (pusat) ke masing-masing sekolah (SD dan SMP) seantero Indonesia. Pada tahun 2011 ini, penyaluran dana BOS dilakukan melalui kas daerah. Kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah pusat pada akhir 2010 tersebut ternyata memiliki konsekuensi logis terhadap mekanisme penyaluran dan pertanggungjawaban yang digunakan oleh pihak sekolah.
Perubahan kebijakan tersebut memang ada nilai positif dan negatifnya. Nilai positif perubahan kebijakan ini adalah pengawasan terhadap penggunaan dana BOS dilakukan secara berlapis. Jelas, Inspektorat akan turut serta mengawasi demikian juga BPK dan BPKP pasti akan melakukan pemeriksaan pula. Disamping itu, peran masyarakat mengawasi juga menjadi semakin mudah sebab besaran alokasi dana BOS masuk dalam dokumen APBD yang dapat diakses oleh publik.

Dalam 4 bulan ini, PATTIRO Surakarta melakukan riset dan juga investigasi lapangan mengenai penyaluran dana BOS tersebut di Kota Surakarta. Diantara temuan lapangan tersebut adalah bahwa Sekolah belum transparan dalam pengelolaan dana BOS.

Sekolah sebagaimana termaktub dalam UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi adalah termasuk dalam kategori badan publik yang memiliki kewajiban untuk mempublikasikan anggaran yang dikelolanya baik yang berasal dari APBD, APBN dan swadaya masyarakat. Sampai saat ini sekolah masih tertutup dalam hal tersebut.

Dalam Permendiknas No 37/2010 tentang Juknis Dana BOS 2011 secara jelas menyebutkan bahwa sekolah harus mempublikasikan dana BOS yang dikelolanya beserta peruntukannya (RKAS). Namun pada kenyataannya sebagaimana temuan lapangan PATTIRO Surakarta sampai saat ini belum ada sekolah yang mempublikasikan RKAS-nya di papan informasi sekolah. Jangankan yang keseluruhan APBS atau RKAS beserta dana yang dihimpun dari orang tua siswa, untuk dana BOS saja tidak dipublikasikan, padahal peraturan perundangan secara jelas telah mengatur dan mewajibkannya.

Ini artinya sekolah belum mau membuka diri, sekolah masih belum mau transparan. Disamping itu, jelas sekolah telah menyalahi peraturan perundangan. Sekolah seharusnya bukan hanya sekedar menuntut haknya, seperti ketepatan waktu pencairan dana BOS dan sumbangan dari orang tua siswa, namun kewajibannya juga harus dipenuhi.

Sekolah harus mawas diri dan harus mau membuka diri berkenaan dengan keuangan yang dikelolanya dan juga harus mawas diri untuk menyelesaikan kewajibannya. Pemerintah kota juga harus tegas dalam mengambil tindakan apabila ada sekolah yang menyalahi atau tidak melaksanakan amanat peraturan perundangan yang ada. Selain itu, masyarakat dalam hal ini orang tua siswa juga harus berani dan mampu mengungkapkan permasalahan yang terjadi di sekolah.

Friday, September 9, 2011

9 September

Bagi kebanyakan orang dinilai sebagai angka keramat, karena 9 adalah bilangan tertinggi dalam deret bilangan asli. Ada yang bilang ini angka hoki, ada yang berkata ini angka keren, ada pula yang memastikan bahwa ini angka mistik. Namun menurut saya ini angka sembilan.


Dari penerawangan saya ternyata ada yang menarik dan unik dari 9 September berkenaan dengan Agenda Pekan Olahraga Nasional (PON) I dilaksanakan di Kota Solo.
Bahwa upacara pembukaan oleh Presiden Soekarno dilakukan pada 9 September [kemudian ditetapkan sebagai Hari Olahraga Nasional]. Pekan Olahraga Nasional I ini diikuti oleh sekitar 600 atlet yang bertanding pada 9 cabang olahraga yakni : Atletik, Lempar Cakram, Bulutangkis, Sepakbola, Tennis, Renang, Pencak silat, Panahan dan Bola Basket. Dengan jumlah total medali (emas, perak, perunggu) yang diperebutkan sebanyak 108 (1+0+8=9).

Pesertanya bukan tingkat propinsi melainkan tingkat Kota dan Karesidenan. Ada 13 partisipan yakni Surakarta, Yogyakarta, Bandung, Madiun, Magelang, Malang, Semarang, Pati, Jakarta, Kedu, Banyuwangi, Surabaya. Juaranya adalah kota Solo dengan total medali sebanyak 36 medali (3+6=9). Kok ngepasi ya?

Lebih ngepasi lagi adalah 9 hari setelah pembukaan PON I tersebut adalah peristiwa berdarah pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948, (1+8=9). Dimana para korbannya adalah para kyai dan ulama yang banyak berasal dari Ormas bernama NU yang lambangnya ada bintangnya sejumlah 9.

Kabeh-kabeh kok 9 ya? (thinking)