Tuesday, December 31, 2019

Stasiun Jebres, Solo

Stasiun Jebres, Solo (ꦱꦼꦠꦱꦶꦪꦸꦤ꧀‌ꦯꦭꦗꦺꦧꦿꦺꦱ꧀Sêtasiyun Sala Jèbrès) adalah salah satu stasiun kereta api di kota Solo. Berada di Jalan Urip Sumoharjo, Kelurahan Purwodiningratan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta. Barada di ketinggian +97 M. Dibangun pada tahun 1883 dan resmi digunakan pada 1884, bersamaan dengan selesai dibangunnya jalur kereta api Solo-Madiun. 

Nama Jebres diambil dari nama seorang Belanda yang bermukim di daerah ini yakni Van der Jeep Reic, lidah orang Jawa menyebutnya menjadi Jebres. Maka daerah kediaman tersebut disebut dengan daerah Jebres.




Pada masa kolonial, stasiun ini digunakan untuk penumpang dan angkutan barang. Juga sering digunakan para keluarga Keraton Surakarta untuk bepergian ke Batavia dan Surabaya. Pada awal abad ke-20, rute tram dalam kota dari Bangak Boyolali ke Stasiun Purwosari diterukan ke Benteng Vastenburg hingga Stasiun Jebres. 




Pada saat ini, stasiun Jebres difungsikan untuk perjalanan kereta api tujuan Jakarta dan Jawa Timur, yakni Bangunkarta (Jakarta-Surabaya via Madiun-Jombang); Brantas (Jakarta-Blitar via Madian); Majapahit (Jakarta-Malang via Madiun-Blitar) dan Matarmaja (Jakarta-Malang via Madiun-Blitar).



Catatan: Foto adalah koleksi pribadi, diambil pada 30 Desember 2019

Wednesday, December 25, 2019

Pasar Pusat Medan

Pasar Pusat, Kota Medan adalah salah satu pasar tradisional yang berada di kota Medan. Tepatnya di Kelurahan Pusat Pusat Pasar, Kecamatan Medan Kota, Kota Medan.

Dikenal juga dengan nama Pajak Sentral atau Tua Pa Sat, pembangunannya dimulai sejak 1931, tepatnya pada 2 April 1931. Usulan untuk mendirikan pasar besar telah dilakukan sejak 1929. Pembangunan pasar ini selesai pada 21 Desember 1932. Dan dibuka pertama kalinya pada 1 Maret 1933. 

Gedung Pasar Pusat Pasar yang saat ini terhubung dengan gedung Medan Mall ini pada awal mulanya tidak banyak ditempati pedangang karena keadaan ekonomi yang kurang baik serta alasan memindahkan kios dari tempat asal dianggap merepotkan. Guna mengatasi hal ini, pada tahun 1942 ongkos sewa kios diturunkan dan pembayarannya disesuaikan dengan kesanggupan penyewa. Pasar ini pernah mengalami kebakaran pada 1971 yang menghabiskan dua dari empat bangunan pasar. Kemudian pada 1978, dua bangunan yang tersisa juga terbakar. Pada pertengahan 1990 bangunan dibangun Medan Mall dan keduanya dihubungkan. Posisi pasar tradisional berada di belakang mall.

Penghubung dari Medan Mall ke Pasar Pusat Pasar



Pasar yang dikenal sebagai pusat grosir beraneka kebutuhan ini buka dari jam 07.00 hingga 17.00 tiap harinya. Di sini, juga terkenal dengan los-los ikan asin, macam-macam ikan asin dijual di sini, ada teri, sotong maupun ikan pari dan sebagainya. Juga ada penjual Ulos serta berbagai macam kuliner yang dapat dijumpai di tengah-tengah pasar, diantaranya sate padang, opor ayam, lontong dan nasi sayur.








Di depannya banyak berjajar bentor (becak bermotor) dan juga ada ruko-ruko bangunan tua. Ada beberapa bangunan kosong yang digunakan untuk rumah walet.

Deretan Ruko Tua depan Pasar Pusat Medan

Deretan bentor mangkal di depan pasar

Telepon Umum yang masih ada di tengah-tangah Pasar Pusat Medan

Catatan: Foto adalah koleksi pribadi, diambil pada 21 Desember 2019



Saturday, November 30, 2019

Jernihnya Air di Waikelo Sawah, Sumba Barat Daya

Jika Anda berkunjung ke Pulau Sumba, perlu menyempatkan diri untuk mampir di Waikelo Sawah. Sebuah bendungan yang airnya sangat jernih. Waikelo Sawah berada di dalam wilayah administrasi Kabupaten Sumba Barat Daya. Kabupaten Sumba Barat Daya adalah kabupaten pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat, pada tahun 2007. 

Lokasi Waikelo Sawah berlokasi di Desa Tema Tana, Kecamatan Wewewa Timur, Sumba Barat Daya. Lokasinya tidak jauh dari Kota Waikabubak, Ibukota Sumba Barat. Dapat diakses dengan menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua. Ditempuh setidaknya 20 menit berkendara dari Waikabubak, Sumba Barat, jika Anda berangkat dari Tambolaka, Sumba Barat Daya perlu waktu sekitar 40 menit berkendara.

Bendungan Waikelo Sawah dibangun pada tahun 1976, dirancang untuk tujuan irigasi dan pembangkit listrik. Berada di kaki bukit dan banyak dikelilingi oleh pepohonan rimbun dan sawah-sawah milik masyarakat, membuat suasananya sejuk. Banyak warga memanfaatkan kolam bendungan ini untuk mandi dan mencuci. Tak jarang mereka mengambil air bersih dari tempat ini untuk kebutuhan sehari-hari.





Kolam airnya tenang, namun sebenarnya arusnya besar di dalam kolam tersebut. Menurut penuturan warga setempat, kolam ini pernah memakan korban jiwa. Debit air yang mengalir dari bendungan ini diperkirakan 1000 Liter/detik. Berlimpahnya air ini digunakan untuk mengairi sawah ke Desa Tema Tana, Kalembu, Ndara Mane, Mereda Kalada, Pada Eweta, Ww Rame serta Tanggaba. Selain itu aliran ini juga untuk pembangkit listrik. 

Pulau Sumba terkenal kering dan tandus, sebab di Sumba musim kemarau bisa mencapai 9 bulan dan musim hujan hanya 3 bulan. Namun ternyata ada sumber mata air yang jernih dan berlimpah. Waikelo Sawah adalah salah satunya.














Catatan: Foto dan Video adalah koleksi pribadi, diambil pada 19 November 2019

Tuesday, November 19, 2019

Kampung Adat Pasunga, Sumba Tengah

Kampung adat Pasunga adalah salah satu dari sekian banyak kampung adat di Pulau Sumba ini. Kampung adat Pasunga terletak di Anakalang,, Waibakul, Kabupaten Sumba Tengah. Lokasinya berada di tepi jalan raya, jalur utama yang menghubungkan Waikabubak, Sumba Barat dengan Wangingapu, Sumba Timur.

Hal menarik di Kampung Adat Pasunga adalah keberadaan makam megalitik yang terbuat dari batu gunung yang dipahat. Lokasi pemakaman berada di bagian depan kampung ini. Ketika kita memasuki gerbang kampung, pandangan kita akan melihat deretan makam batu berjajar. Tidak hanya di bagian depan, di bagian tengah kampung juga berjajar makam, dan ada lapangan yang dikelilingi makam yang biasa digunakan untuk upacara adat masyarakat. Makam megalitik yang diyakini berusia ratusan tahun yang dipahat adalah makam Umbu Puda dan Umbu Paledi.




Bentuk rumah seragam, jumlahnya 30 rumah. Namun di sini tidak seperti di kampung adat lain, misalnya di Kampung Adat Prai Ijing, Sumba Barat, rumah di kampung ini atapnya telah diganti dengan seng, bukan lagi atap dari ilalang. 





Catatan: Foto adalah koleksi pribadi yang diambil pada 18 November 2019


Saturday, November 16, 2019

Masjid Al Azhar, Masjid Tertua di Sumba

Masjid Al Azhar berada di Kabupaten Sumba Barat, tepatnya di Waikabubak. Masjid ini dibangun pada tahun 1911. Bahan yang digunakan dari bambu yang dibelah dan dipipihkan sebagai dindingnya. Atapnya dengan alang-alang yang dikeringkan. Bentuk awal bangunan masjid ini seperti Uma Bakolu, rumah khas Sumba.

Dalam berbagai literatur dan sumber yang dicari, tidak dapat ditemukan siapa yang memprakarsai pembangunan masjid ini dulunya. Dalam sumber Kementerian Agama dan Takmir Masjid juga tidak dapat diketahui siapa pemrakarsanya. Foto atau lukisan lama juga tidak temukan, hanya ada foto tahun 1937 yang dapat dirujuk sebagai sumber sejarah.

Namun sayangnya kini, bentuk asli masjid ini sudah tidak nampak lagi. Setelah mengalami rehab beberapa kali, bangunan masjid ini diubah dengan batu bata. Rehab pertama di tahun 1937 yang mengganti atap ilalang dengan seng. Tahun 1970 diganti dindingnya dengan batu bata permanen. Kemudian di tahun 1980 direhab kembali, dan ditetapkan sebagai masjid agung Sumba Barat. Penetapan ini diprakarsai oleh Haji MBH Algadri, salah satu tokoh di sana. Dan masjid ini dinamai dengan Al Azhar.

Masjid Al Azhar Sumba Barat, Tahun 1937


Luasan masjid seluas 460M2 dan luas lahan 1.570 M2. Menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti penyaluran zakat, infaq, shodaqoh, penyelenggaraan pengajian, madrasah. Pada saat ini, ketika sholat Jum'at, jalan di depan masjid Al Azhar ditutup untuk parkir kendaraan jamaah.









Foto adalah koleksi pribadi, diambil pada 15 dan 16 November 2019


Friday, November 15, 2019

Uma Leme, Rumah Adat Suku Mbojo, Bima


Uma Leme, atau Rumah Runcing adalah rumah adat Suku Mbojo, Bima. Disebut Uma Leme karena atapnya berbentuk runcing mirip dengan puncak gunung yang berbentuk limas. Biasanya dulu di sisi rumah tersimpan alat-alat persembahan dan kesenian. 

Keunikan Uma Leme adalah atap dan dinding rumah menjadi satu kesatuan. Atapnya sekaligus berfungsi sebagai dinding rumah. Dibuat dari alang-alang yang dirajut tebal, sehingga tidak akan berasa dingin dan panas ketika berada di dalamnya. Bagian rumah sebagai tempat tidur, ukurannya 2x2 meter. Rumah juga juga sebagai tempat memasak, menyimpan padi dan segala jenis bahan makanan seperti palawija dan padi. Bagian bawah digunakan sebagai tempat musyarawah dan upacara adat serta upacara ketika ada keluaga yang meninggal.

Keunikan lain adalah pintu rumah di bagian yang tersembunyi, yakni di pojok atau sudut ruang atas. Tangga untuk naik ke rumah tidak selalu terpasang. Dalam kebiasaan masyarakat Donggo ada tanda yang hanya diketahui oleh keluarga saja dimana tangga ini disimpan. Ini demi keamanan dan juga tanda bahwa pemilik rumah sedang pergi atau berada di rumah. Jenazah keluarga yang meninggal akan diturunkan melalui atap rumah dan ada batu sebagai tempat tinggal roh leluhur yang akan dilakukan upacara pemujaan pada waktu tertentu yang disebut Toho Dore.



Saat ini sudah tidak banyak rumah ini. Salah satu daerah yang masih terdapat Uma Leme ini di Desa Mbaja, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima.







Di Desa Mbaja ini para warga desanya beragama Islam, Katolik dan Kristen. Mereka berdampingan hidup rukun dalam satu komunitas. Jika ada masalah keagamaan, maka di Uma Leme inilah dilakukan musyawarah untuk membahas hal tersebut.




Wednesday, November 13, 2019

Sanolo, Sentra Garam di Bima

Apabila kita menuju Bima, Nusa Tenggara Barat dengan menggunakan pesawat, pada saat akan mendarat, kita akan melihat hamparan tambak garam yang luas sepanjang mata memadang. Itulah tambak garam milik warga di kawasan Sanolo.

Sanolo adalah sebuah Desa di Kabupaten Bima. Lokasinya secara administratif berada di Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima. Desa Sanolo adalah sentra garam di Kabupaten Bima. Mayoritas warga desa ini adalah petani garam. Garam adalah andalan penghasilan bagi warga desa ini.

Pada saat musim kemarau seperti ini, hamparan tambak garam sungguh indah disaksikan, baik dari udara maupun saat kita mendatangi lokasi ini. Saya berkesempatan mendatangi lokasi ini pada tanggal 10 November 2019 lalu. 



Hamparan tambak sungguh memanjakan mata. Angin kencang di tambak tidak membuat terasa panas, walaupun matahari masih bersinar terik pada saat menjelang sore. Pukul setengah 5 sore. Berikut ini sedikit yang berhasil direkam kamera handphone saya.


Petani sedang melakukan Panen Garam












Foto dan Video adalah koleksi pribadi