Setiap warga negara selalu memerlukan
beragam pelayanan (barang dan jasa) baik yang disediakan oleh pemerintah maupun
swasta. Produk layanan yang disediakan pemerintah (public goods)
diantaranya adalah pelayanan atas keamanan, pelayanan identitas diri seperti
KTP, SIM maupun akta tanah, pelayanan listrik, pelayanan pendidikan maupun
kesehatan. Meskipun untuk yang dua hal terakhir (pelayanan pendidikan dan
kesehatan), pihak swasta juga menyediakannya. Masyarakat berhak memilihnya,
sebab penyediaan layanan pendidikan maupun kesehatan tergolong pada substitute
public goods (penyediaan pelayanan atas barang dan/atau jasa yang dilakukan
lembaga pemerintah dan juga lembaga swasta).
Dengan merujuk uraian di atas, maka
pelayanan publik dapat didefinisikan sebagai sebuah bentuk pelayanan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan dasar warga negara yang pada prinsipnya menjadi
tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik pada tingkat
pusat maupun daerah serta oleh BUMN maupun BUMD. Disamping itu, pelayanan
publik bersifat ekonomis, artinya biaya yang dibebankan harus terjangkau oleh
segenap lapisan masyarakat.
Akan tetapi, hingga saat ini banyak
kalangan menilai dan menyatakan bahwa pelayanan publik kita masih saja angker
terhadap masyarakat, sebab seringkali membuat frustasi dan kecewa dikarenakan
selalu saja dibayang-bayangi dengan realita penyediaan layanan yang cenderung
tidak transparan, mahal (banyaknya pungli) maupun kualitas/mutu rendah serta
petugas pelayanan yang dianggap kurang ramah dalam melayani, dan masih banyak
lagi hal-hal yang merujuk pada kurang akuntabelnya pelayanan publik kita.
Sistem dan perilaku birokrasi pelayanan
publik lebih pada mencerminkan model organisasi yang tidak efisien dan tidak
efektif, minim akuntabilitas, tidak transparan serta tidak berorientasi kepada
masyarakat sebagai konsumen yang dilayaninya adalah hal-hal yang acapkali
menjadikan pelayanan publik kita jauh dari berkualitas dan akuntabel.
Partisipasi
Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Tiga tahun sudah UU Pelayanan Publik
diundangkan, namun masih belum dapat menjadikan pelayanan publik kita sesuai
dengan harapan. Masih banyak warga masyarakat yang mengeluhkan praktik-praktik
penyelenggaraan pelayanan publik yang belum berkualitas. Padahal dengan
disahkannya Undang-undang Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik ini merupakan harapan
baru guna mendobrak sistem dan perilaku birokrasi pelayanan publik kita menjadi
lebih berkualitas dan akuntabel. Sebab, selain membuka keterlibatan masyarakat
dalam pengawasan maupun penyusunan standar pelayanan, Undang-undang ini juga
mengatur mengenai kewajiban penyelenggara layanan dan bahkan mengenai sanksi
bagi penyelenggara layanan juga diatur.
Pengakuan atas hak-hak masyarakat untuk
dapat berperan aktif dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah menjadi entry point perbaikan pelayanan publik kita. Pasal 18 dan 39 UU 25/2009
tentang Pelayanan Publik secara tegas menyatakan mengenai hak dan kewajiban
serta hal tersebut.
Akan tetapi, masih minimnya sosialisasi
menjadikan masyarakat belum banyak yang memahami bahwa hak mereka telah dijamin
oleh undang-undang. Sehingga masyarakat masih belum banyak yang mau melibatkan
diri dalam pengawasan dan mengadvokasi dirinya dengan bersama-sama penyedia
layanan membuat sebuah standar pelayanan yang partisipatif. Hal ini setidaknya
tercermin dari penelitian yang dilakukan oleh PATTIRO Surakarta pada
pertengahan tahun 2012 ini, dimana 85% responden masyarakat Surakarta
menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui keberadaan UU 25/2009 tentang
Pelayanan Publik maupun mengenai hak-haknya dalam penyelenggaraan pelayanan publik
yang diatur dalam undang-undang tersebut.
Dengan ketidaktahuannya tersebut maka
masyarakat tidak dapat berperan aktif dalam mengawasi penyelengaraan pelayanan
publik. Di sisi lain, masyarakat juga masih enggan untuk memberikan kritik
saran maupun pengaduan ketika mendapatkan pelayanan yang tidak semestinya.
Keengganan masyarakat dalam memberikan
kritik saran atau bahkan pengaduan dapat dipahami, sebab sampai saat ini masih
sangat banyak unit penyedia layanan yang belum memiliki sistem pengelolaan
pengaduan. Pengaduan hanya akan berhenti di dalam kotak saran atau tulisan
dalam website tanpa pernah disampaikan sampai sejauhmana pengelolaannya. Dalam
membongkar inilah, peran aktif masyarakat dalam penyusunan standar pelayanan
menjadi penting, sehingga apa yang menjadi kebutuhan masyarakat selaku pengguna
layanan dapat terwadahi serta telah menjadi kesepahaman bersama masyarakat
dengan unit penyedia layanan.
Selain itu, dalam UU Pelayanan Publik
juga termaktub mengenai sanksi bagi penyelenggara pelayanan publik ketika tidak
menyediakan layanan sesuai dengan standar pelayanan yang ada. Dalam pasal 54
sampai dengan pasal 58 menyebutkan hal tersebut secara gamblang, yakni mulai
dari ganti rugi, sanksi administratif hingga sanksi pidana.
Artinya, ketika masyarakat merasa tidak
puas dan kecewa dengan pelayanan yang diberikan maka dapat melakukan pengaduan.
Pengaduan dapat dilakukan kepada atasan petugas pemberi layanan dalam unit
pelayanan tersebut maupun atasan dari unit layanan. Juga dapat mengadukan ke
Ombudsman selaku lembaga Negara yang mempunyai kewenangan mengawasi
penyelenggaraan pelayanan publik.
Jika melihat pada perangkat peraturan
perundangan yang ada, maka sudah seharusnya perbaikan pelayanan publik bukan
lagi sekedar mimpi.
Apalagi di Kota Surakarta saat ini
sedang dibahas Raperda Pelayanan Publik yang tentunya akan menjadi pelengkap
perangkat hukum yang menangungi penyelenggaraan pelayanan publik di Kota
Surakarta.
Dalam draft Raperda yang
dikonsultasi-publikan oleh DPRD pada pertengahan November 2012 ini ada beberapa
catatan yang perlu diperhatikan, terutama mengenai ruang partisipasi dalam
pengaduan perlu dipertegas pada mekanisme dan unit khusus yang menangani serta
mengelola pengaduan pada setiap unit layanan. Hal ini menjadi penting mengingat
bahwa keengganan masyarakat memberikan kritik dan pengaduan karena
ketidakpastian mengenai pengaduan mereka.
Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Joglosemar, 29 November 2012
*) Hak Cipta gambar ada di pattiro surakarta
Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Joglosemar, 29 November 2012
*) Hak Cipta gambar ada di pattiro surakarta