Showing posts with label Solo. Show all posts
Showing posts with label Solo. Show all posts

Wednesday, November 11, 2020

Masjid Paromosono, Solo

Masjid Paromosono dibangun dibangun pada masa perpindahan Kraton Surakarta dari Kartasura ke Desa Sala pada tahun 1745. Masjid dibangun pada masa pemerintahan Sri Susuhhunan Pakubuwono (PB) II. Pembangunan masjid ini dilakukan agar para abdi dalem dan kerabat kraton yang tinggal di dalam tembok kraton dapat menjalankan ibadah.

Nama Paromosono diberikan oleh para abdi dalem Suronoto, yakni abdi dalem yang mengurus masjid khusus untuk keluarga kraton. Abdi dalem Suronoto bertanggung jawab kepada penghulu. Seorang penghulu di Kraton Surakarta bergelar Kyai Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom.

Para abdi dalem Suronoto ini tinggal di dalam benteng kraton. Di dekat masjid. Oleh karena itu, kampung dimana para abdi dalem Suronoto ini tinggal disebut dengan Kampung Suranatan. Abdi dalem Suronoto merupakan abdi dalem istana atau abdi dalem lebet, yang bertuhgas mengurus masjid keluarga keraton.






Masjid ini memiliki bangunan atau ruangan utama berada di tengah yang diapit oleh dua ruang lainnya. Ruangan di sebelah selatan ruangan utama digunakan untuk tempat mengaji (kini disebut TPA) sedangkan ruangan di sebelah utara digunakan untuk menyimpan barang-barang milik masjid. Serambi masjid berada di sebelah timur ruang utama, dimana ada sebuah bedug dan di sebelah timur bedug ada tempat wudlu bagi warga yang akan menunaikan shalat.






Luas bangunan masjid  adalah 600 m² yang berdiri atas tanah 1000 


Foto adalah koleksi pribadi, diambil pada 8 Oktober 2020 dengan iPhone-6

Tuesday, September 1, 2020

Masjid Laweyan: Masjid Tertua di Solo dan Sumur yang Tak Pernah Kering

Masjid Laweyan yang terletak di Kampung Belukan, Pajang, Laweyan adalah Masjid Tertua di Kota Solo. Dibangun pada masa Kesultanan Pajang, tepatnya pada tahun 1546 Masehi.

Menurut catatan sejarah, pada zaman itu ada seorang pemeluk Hindu bernama Ki Beluk, beliau tinggal dan membangun pesanggrahan serta pura di tepi Sungai Kabanaran. Sungai ini adalah jalur lalu lintas perdagangan batik. Ki Beluk memiliki hubungan yang baik dengan Ki Ageng Henis, seorang kepercayaan Sultan Hadiwijaya. Ki Ageng Henis adalah orang yang mengenalkan dan mengajarkan teknik membatik kepada warga Laweyan. Di waktu senggang, Ki Beluk sering berdiskusi mengenai agama Islam dengan Ki Ageng Henis, hingga pada satu waktu, beliau memantapkan diri memeluk Islam. Kemudian, pura dan sanggarnya tersebut diserahkan kepada warga untuk digunakan sebagai masjid. Ki Ageng Henis dimakamkan di sebelah selatan masjid, masih dalam kompleks masjid.


Maka tak heran jika bentuk bangunan masjid ini seperti pura atau kelenteng Jawa. Atapnya bersusun yang terdiri dua bagian. Sebelum dibangun seperti saat ini, bangunan masjid menggunakan batu bata dan kayu. Tata ruang masjid terdiri dari 3 (tiga) bagian, sebagaiamana tata ruang masjid di Jawa. Yakni ruang induk (utama), serambi kanan untuk perempuan dan serambi kiri. 

Di kompleks Masjid Laweyan ini ada sumur yang tidak pernah kering. Konon dalam ceritanya masyarakat setempat, sumur ini adalah bekas injakan kaki Sunan Kalijaga.



Foto dan Video adalah Koleksi Pribadi

Tuesday, December 31, 2019

Stasiun Jebres, Solo

Stasiun Jebres, Solo (ꦱꦼꦠꦱꦶꦪꦸꦤ꧀‌ꦯꦭꦗꦺꦧꦿꦺꦱ꧀Sêtasiyun Sala Jèbrès) adalah salah satu stasiun kereta api di kota Solo. Berada di Jalan Urip Sumoharjo, Kelurahan Purwodiningratan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta. Barada di ketinggian +97 M. Dibangun pada tahun 1883 dan resmi digunakan pada 1884, bersamaan dengan selesai dibangunnya jalur kereta api Solo-Madiun. 

Nama Jebres diambil dari nama seorang Belanda yang bermukim di daerah ini yakni Van der Jeep Reic, lidah orang Jawa menyebutnya menjadi Jebres. Maka daerah kediaman tersebut disebut dengan daerah Jebres.




Pada masa kolonial, stasiun ini digunakan untuk penumpang dan angkutan barang. Juga sering digunakan para keluarga Keraton Surakarta untuk bepergian ke Batavia dan Surabaya. Pada awal abad ke-20, rute tram dalam kota dari Bangak Boyolali ke Stasiun Purwosari diterukan ke Benteng Vastenburg hingga Stasiun Jebres. 




Pada saat ini, stasiun Jebres difungsikan untuk perjalanan kereta api tujuan Jakarta dan Jawa Timur, yakni Bangunkarta (Jakarta-Surabaya via Madiun-Jombang); Brantas (Jakarta-Blitar via Madian); Majapahit (Jakarta-Malang via Madiun-Blitar) dan Matarmaja (Jakarta-Malang via Madiun-Blitar).



Catatan: Foto adalah koleksi pribadi, diambil pada 30 Desember 2019

Sunday, June 3, 2018

Masjid Tegalsari, Surakarta

Masjid Tegalsari, Surakarta didirikan oleh KH Ahmad Shofawi pada tahun 1928 dan diresmikan pada 1929 Masehi. Masjid dengan luas bangunan 357 Meter persegi ini berdiri di atas tanah seluas 2.000 meter persegi. 

Arsitekturnya menyerupai Masjid Demak dan Masjid Agung Kasunanan Surakarta. Desainnya dirancang oleh KH Raden Muhammad Adnan. Seorang kelahiran Kauman, Solo 16 Mei 1889, dan merupakan anak dari Kanjeng Penghulu Tafsir Anom V, seorang ulama bangsawan dan abdi dalem krateo Kasunanan Surakarta. Muhammad Adnan ini tidak lain adalah menantu KH Ahmad Shofawi, karena beliau menikah dengan Siti Maimunah, putri kedua KH Ahmad Shofawi. KH Ahmad Shofawi adalah seorang saudagar batik di Laweyan, Surakarta yang dermawan.

Dalam pembangunannya, sebagaimana dikisahkan oleh KH Abdul Rozaq Shofawi, Pengasuh Pondok Pesantren Al Muayyad, Surakarta, menceritakan bahwa pembangunan Masjid Tegalsari ini oleh 40 Punggawa Putih. Artinya, karena tukang bangunnya disyaratkan puasa mutih 40 hari. Selain itu, ada syarat lain untuk membangun masjid ini, yakni (1) dilarang mencari dana keluar (prinsip mandiri), dan bila ada dermawan yang memberi bantuan supaya diterima; (2) harus menggunakan material yang suci dan halal.




Masjid Tegalsari ini mempunyai bangunan utama, serambi kanan dan serambi kiri. Di ruang utama masjid, terdapat 4 pilar atau saka guru yang terbuat dari kayu jati. Serambi kanan berada di sebelah utara, disebut sebagai pawestren, ini merupakan permintaan khusus dari Nyai Hj. Shofawi untuk dibuatkan ruang khusus jamaah perempuan untuk melakukan i'tikaf dan shalat jama'ah.




Lantai pada ruang utama dan pawestren menggunakan batu marmer yang dijadikan pembatas dengan ruang lainnya. Serambi sebelah kiri digunakan sebagai ruang yang ada bencet-nya. Bencet tersebut merupakan jam matahari yang dibuat oleh KH Achmad Al-Asy'ari, seorang ulama Tegalsari yang mahir ilmu falak pada masanya.

Masjid Tegalsari memiliki bedug yang merupakan bedug yang terbuat dari kayu utuh tanpa sambung dan ini adalah terbesar kedua setelah bedug yang berada di Masjid Agung Darul Muttaqin, Purworejo. Panjangnya 17 cm; diameter utamanya 148 cm dan diameter kanan dan kiri 127 cm.

Sampai sekarang masjid ini masih berdiri kokoh dan belum pernah direnovasi sejak didirikan. Artinya sudah 87 tahun masjid yang berada di Jalan Dr. Wahidin No. 34, Kelurahan Bumi, Kecamatan Laweyan, Surakarta ini berdiri.

Terdapat prasasti yang di bagian barat Masjid Tegalsari yang ditulis dalam tulisan Jawa berbahasa Jawa dan Bahasa Indonesia. 





Catatan: Foto merupakan koleksi pribadi. diambil pada 29 Januari 2017 dan 03 Juni 2018

Wednesday, March 7, 2018

Rel Kereta Api Membelah Kota Solo

Ini merupakan satu-satunya di Indonesia. Kendaraan (mobil dan motor bahkan sepeda) dapat berjalan berdampingan dengan kereta api tanpa jarak dan batas. Bener-benar dekat jaraknya. Adalah rel kereta api yang membelah kota Solo, menghubungkan Stasiun Purwosari (Solo) dengan Stasiun Wonogiri.


Jalur kereta api ini dibangun pada 1922 oleh pemerintahan kolonial Belanda, menghubungkan Solo sampai Baturetno. Namun semenjak, Waduk Gajah Mungkur beroperasi, rel kereta hanya sampai di Wonogiri saja.



Saat ini rel kerata api ini difungsikan untuk feeder kereta Senja Bengawan dari Wonogiri dan Kereta Batara Kresna jurusan Solo-Wonogiri. Dulu pada tahun 2000 pernah dioperasikan kereta wisata Punakawan dan pada tahun 2008 pernah dioperasikan Kereta Uap Jaladara dengan sistem sewa untuk rombongan.




Thursday, July 27, 2017

Omah Lowo Solo

Salah satu peninggalan sejarah di Kota Surakarta (Solo) adalah keberadaan sebuah bangunan tua di pojokan Purwosari, antara Jalan Slamet Riyadi dengan Jalan Perintis Kemerdekaan, adalah Omah Lowo. Sebutan Omah Lowo, disematkan oleh masyarakat karena bangunan ini banyak dihuni oleh  ribuan Lowo atau Kelelawar.

Ini merupakan bangunan peninggalan Belanda dan telah menjadi Cagar Budaya. Namun tidak banyak sumber yang menyebut mengenai bangunan ini termasuk siapa yang pertama kali menghuni bangunan ini. 





Hanya ada catatan yang menyebutkan bahwa di tahun 1945, rumah ini pernah dimiliki keluarga Sie Djian Ho. Sie Djian Ho seorang pengusaha (saudagar) penerbitan, perkebunan dan pemilik pabrik es.


Saat ini, konon bangunan ini sudah berpindah kepemilikan. Namun tidak jelas siapa pemiliknya. Tidak banyak yang mengetahuinya. Bahkan Pemkot Solo pun ragu menjawab siapa pemilik bangunan Omah Lowo tersebut.

Catatan: Foto adalah koleksi pribadi, diambil dengan iPhone 6 pada 5 Maret 2017

Saturday, May 14, 2011

Spirit Kota Dengan Dua Nama

Nama Solo sudah sangat akrab di telinga kita. Solo merupakan salah satu kota besar di Jawa Tengah juga Indonesia, terletak di jalur strategis transportasi darat yang menghubungkan Propinsi Jawa Timur dengan DIY. Dikenal sebagai Kota Bengawan, karena berada di tepian sungai. Bengawan dalam bahasa Jawa bermakna sungai. Juga dikenal sebagai Kota Budaya karena sangat banyak terdapat peninggalan budaya nusantara, diantaranya keraton yang sampai sekarang masih berfungsi juga banyak peninggalan sastra budaya serta aneka seni budaya ada di sana.

Dikenal pula sebagai Kota Batik, sebab seni batik begitu mengakar dan membudaya di kota ini. Mulai dari proses hulu hingga hilir, mulai dari kain hingga kayu juga dibatik. Solo dikenal pula sebagai Kota Plesiran, sebab suasana malam kota ini syarat dengan plesiran terutama bagi mereka yang menyukai wisata kuliner. Dan Solo juga dikenal sebagai Kota Pergerakan, karena selain banyak diantara tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia berasal dari Solo, dan juga kota ini merupakan pusat mereka bertemu dan merancang gerakan Indonesia Merdeka.

Selain 'gelar-gelar' diatas, keunikan Kota Solo adalah kota ini adalah memiliki dua nama. Dimana keduanya sama-sama digunakan yakni Solo dan Surakarta. Mengapa demikian?

Sebagaimana catatan sejarah, bahwa karena pergolakan di dalam negeri, yakni Pemberontakan Sunan Kuning alias Geger Pecinan, Kraton Kartasura yang merupakan penerus Mataram Islam, atas perintah Raja waktu itu (Paku Boewono II) akhirnya dipindahkan ke sebuah desa yang terletak di sebelah timur sejauh 20 Km dari ibukota Kartasura. Itulah Desa Sala (dibaca sebagaimana pada kata Solok) pada tahun 1745 M. Dan sebagai sebuah upaya menghilangkan sawan (nasib buruk) yang mengikuti maka nama Kraton juga diubah menjadi Surakarta (pembalikan dari KartaSura).

Sala menjadi Solo
Karena orang pada mulanya sudah familiar dengan Desa Sala, maka banyak orang yang menyebutnya dengan Kraton Sala. Maka jadilah penyebutan itu hingga sekarang. Nama Sala (dibaca sebagaimana kata Solok) masih dipergunakan, dan nama Surakarta juga tetap dipakai. Akan tetapi entah dimulai oleh siapa dan kapan, serta karena apa pula, kata Sala berubah penulisan dan pembacaannya menjadi Solo, (dibaca sebagaimana kata bakso).

Menurut analisa awam saya, ini sebenarnya adalah sebuah kesalahan kolektif pada sebuah upaya peng-Indonesia-an kata dan pengucapan dari Basa Jawa ke Bahasa Indonesia. Karena penulisannya memakai huruf "A", tetapi pengucapannya hampir menyerupai huruf "O". Maka jadilah kata Sala menjadi ditulis Solo, untuk menyerupakan antara tulisan dengan pembacaannya. Sekali lagi ini hanyalah analisa awam kaumbiasa lho, bukan analisa pakar.

Namun terlepas dari masalah pengucapan dan penulisan nama Solo, kota ini telah tumbuh menuju sebuah kota metropolitan baru di jagad nusantara. Dengan tetap masih berupaya mempertahankan ciri khasnya sebagai kota peninggalan budaya nusantara bahkan dunia. Di kota dengan dua nama inilah, selain keberadaan Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat maupun Pura Mangkunegaran, PON (Pekan Olahraga Nasional) I dilaksanakan; Monumen Pers Nasional sebagai sebuah pengingat sejarah perjuangan pers nasional juga berdiri megah di sini; Museum tertua di Indonesia juga ada di Solo, yakni Museum Radya Pustaka.

Selain itu juga masih ada rel Kereta Api di tengah kota peninggalan jaman Belanda yang masih difungsikan sampai sekarang. Untuk urusan seni budaya, selain keberadaan Taman Budaya Surakarta, terdapat pula panggung terbuka Argo Budaya yang berada di dalam kompleks Kampus UNS yang pembangunannya kolaborasi antara UNS dengan Pura Mangkunegara.

Dan masih banyak lagi tentang Kota dengan Dua Nama ini menjadi kota yang unik dan menarik. Maka pantas dan jika kemudian Kota ini disebut sebagai spirit of Java, bahkan bagi saya pribadi dapat dikatakan sebagai the spirit of Indonesia sebab banyak hal yang ada di Indonesia ini bercikal bakal dari kota ini.

Monday, May 9, 2011

Sejarah Bis Tingkat Di Solo

Bis tingkat mulai digunakan pertama kali pada tahun 1983 atas inisiatif ibu Tien Soeharto. Pada tahun 1987 jumlah bis tingkat yang beroperasi di Kota Solo sebanyak 30 buah. Sewaktu saya masih mengenyam pendidikan di bangku SMP dulu (sekitar pertengahan dekade 90-an), jika bepergian ke arah kota Solo saya sering menggunakan moda transportasi berupa bis tingkat. Waktu itu tarifnya jauh-dekat 150 rupiah dan setahun kemudian naik menjadi 300 rupiah dan hingga menjelang kepunahannya tarifnya 1000 rupiah.
Bis tingkat ini dikelola oleh Damri. Selain Solo, beberapa kota besar lain yakni Jakarta, Surabaya dan Makassar pernah pula mengoperasikan armada angkutan darat ini. Moda transportasi ini memiliki keuntungan, yakni menghemat space jalan. Dengan jumlah penumpang yang dimuat oleh satu armada bis tingkat adalah lebih banyak dua kali lipat daripada armada bis biasa, atau kapasistas penumpang sekitar 105 orang penumpang duduk. 

Sebuah transportasi massal yang murah serta lebih ramah lingkungan, sebab dengan beberapa puluh armada bis dapat melayani penumpang dari ujung barat kota Solo hingga ujung timur (rute Kartasura – Palur pp), sehingga untuk rute tersebut tidak harus banyak memerlukan jenis angkutan umum yang lain. Selain itu, naik bis tingkat juga sebagai sarana refresing, sebab dapat menikmati suasana Kota Solo sepanjang perjalanan.

Namun sejak tahun 1997/1998, keberadaan bis tingkat mulai berkurang, salah satu penyebabnya adalah imbas krisis moneter yang melanda. Meski tahun 2000 masih ada. Istri saya yang berasal dari tlatah Bojonegoro pernah bilang bahwa merasa heran dengan keberadaan bis tingkat, sewaktu dia pertama kali menginjakkan kaki di Solo untuk melanjutkan belajarnya. Dia pernah naik dua kali katanya. Dan memang akhir tahun tersebut bis tingkat benar-benar punah dari Kota Solo.

Gambar dari sini

Thursday, April 21, 2011

Monumen Pers Nasional

Bagi insan pers sungguh tidak asing lagi dengan nama ini. Buat warga Solo Raya juga sudah akrab dengannya. Monumen Pers Nasional atau orang sering menyebut dengan Monumen Pers saja atau Monumen Pers Solo, adalah sebuah bangunan bersejarah yang berdiri megah di tengah kota Solo tepatnya di Jalan Gadjah Mada 59 Solo. Monumen ini didirikan guna mengenang jasa-jasa para tokoh pers nasional. Mengapa dipilih kota Solo, menurut beberapa penulusuran pustaka para tokoh-tokoh pers nasional tersebut memulai gerakan menentang Belanda melalui media massa [pers] diawali dari kota ini. Di Kota inilah tempat berkumpulnya tokoh-tokoh tersebut guna membahas agenda strategis dalam melawan pemberitaan Belanda pada waktu itu. Di kota Solo-lah sebagian besar tokoh pers nasional juga dibesarkan.

Monumen Pers Nasional memiliki sebuah bangunan induk [bagian tengah] yang berfungsi sebagai hall atau aula atau convention hall bahasa kerennya. Selain itu, disini juga dilengkapi dengan ruang perpustakaan, ruang pameran, museum dan ruang konservasi dan koleksi arsip kuno. Dan yang menarik Monumen Pers Nasional telah dilengkapi dengan hellipad.

Koleksi perpustakaannya lumayan lengkap. Saya bilang lumayan karena disini relatif komplit jika dibandingkan dengan perpustakaan daerah namun kalah lengkap dengan perpustakaan kampus. Buku-buku koleksinya seputar media massa, komunikasi, penerbitan, jurnalisme, serta beberapa koleksi skripsi dan majalah.

Di ruang koleksi arsip kuno, kita dapat menjumpai berbagai koleksi koran kuno. Di museumnya kita akan menemukan berbagai benda-benda yang berkaitan dengan jurnalistik seperti mesin ketik kuno milik Bakrie Soeraatmadja, beliau adalah pemimpin redaksi surat kabar “Sipatahoenan” sebuah koran berbahasa Soenda. Selain itu ada diorama perjuangan bangsa dan patung para tokoh pers nasional serta peninggalan-peninggalan yang lain. Monumen Pers Nasional dulu dinaungi oleh Departemen Penerangan. Pasca departemen ini dilikuidasi oleh Presiden Abdurrahman Wahid, kemudian diubah sebagai UPT pada Lembaga Informasi Nasional. Kemudian, pada saat ini berada dibawah naungan Departemen Komunikasi dan Informasi dibawah Dirjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi. Berkunjung kesini pokoknya menyenangkan dan mengasyikkan dech… Banyak referensi dan catatan sejarah Indonesia ada disini.


Friday, October 17, 2008

Sanksi yang Bikin Jera

Kemarin, saat menunggu mobil diservis di sebuah bengkel di Kota Solo, iseng-iseng baca-baca koran yang tergeletak di meja ruang tunggu bengkel. Koran Solo Pos edisi 8 Oktober 2008 itu di bagian halaman Solo Raya kolom Kota Solo, ada yang menarik perhatianku. Judul tulisannya adalah Kencing sembarangan di Tirtonadi diganjar nulis 40 lembar. (Silakan buka korannya bagi yang berlangganan).

Menurut berita tersebut, ada 2 (dua) orang yang sedang menempuh perjalanan dari Klaten ke Jawa Timur, mereka kebelet kencing. Nah, saking kebelet-nya, mereka kencing di dekat ban bus yang diparkir. Aksi mereka tertangkap basah oleh petugas terminal Tirtonadi. Lalu dibawa ke kantor UPTD Terminal Tirtonadi dan diberikan hukuman. Hukumannya adalah menulis kalimat "saya tidak akan mengulangi kencing di sembarang tempat" sebanyak 40 lembar buku ukuran folio.

Dari berita tersebut juga diketahui bahwa dalam 8 (delapan) bulan terakhir ini sudah ada 46 orang yang dikenai sanksi seperti ini. Bahkan ada yang diminta membuat surat pernyataan ber-materai agar mereka jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya yang membuat bau pesing di terminal ini.

Dalam pandangan saya, meski ini terkesan sepele dan bahkan ada yang bilang seperti anak-anak zaman SD jika tidak membuat PR selalu dihukum demikian oleh ibu guru, namun sebenarnya sanksi ini lebih mendidik dan membuat efek jera bagi pelanggar, dari pada didenda dengan sejumlah uang yang bisa-bisa berujung suap atau korupsi. Sanksi sosial ini lebih membuat orang jera.