Kemiskinan merupakan masalah
sosial laten yang senantiasa hadir di tengahtengah masyarakat, khususnya di
negara-negara berkembang. Berbagai teori, konsep dan pendekatan pun terus
menerus dikembangkan untuk mengatasi masalah kemiskinan ini. Karena kini gejala
kemiskinan semakin meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih
dihadapi oleh bangsa Indonesia. Krisis telah membawa Indonesia pada peningkatan
angka kemiskinan. Dalam rangka pengurangan kemiskinan, terutama sebagai efek
dari gejolak krisis moneter maka pemerintah menggulirkan berbagai kebijakan. Diantaranya
adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kredit Usaha Rakyat, Jamkesmas, Program
Keluarga Harapan, Dana BOS serta Raskin (Beras untuk Masyarakat Miskin).
Khusus untuk Raskin, kita
sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. Program pemerintah ini mulai digulirkan
sejak tahun 1998 dengan nama Operasi Pasar Khusus (OPK) dan berganti nama menjadi
Raskin sejak tahun 2002, sebagai bagian
dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Program ini digulirkan bertujuan
untuk memperkuat ketahanan rumah tangga miskin. Dan dimaksudkan guna menanggulangi
kemiskinan. Sebab secara filosofis, ketika kebutuhan akan pangan sudah
terpenuhi maka masyarakat dapat mengalihkan pengeluarannya pada kebutuhan
selain bahan pangan.
Akan tetapi setelah 13 tahun
program ini berjalan ternyata masih saja selalu menyisakan persoalan-persoalan
yang selalu sama dari sejak awal bergulir hingga saat ini. Bagaikan kisah klasik
yang selalu berulang dan seolah tanpa ujung penyelesaian. Kendala dan
permasalahan masih saja berulang di tahun-tahun berikutnya. Dan apakah program
raskin berkontribusi pada penanggulangan kemiskinan?
Beberapa kendala dalam
pelaksanaan program raskin yang selama ini terjadi berpangkal pada permasalahan
data. Data yang disediakan BPS hampir selalu berbeda dengan data “versi”
masyarakat. Perbedaan data inilah yang pada akhirnya akan berdampak pada
ketidaktepatan sasaran, tidak tepat jumlah serta tidak tepat harga di
masyarakat penerima manfaat.
Data yang keluarkan BPS belum
mencakup warga miskin di daerah tersebut.
Masih banyak warga yang seharusnya layak menerima raskin tidak terdata. Hal
ini berdampak pada jumlah yang seharusnya diterima oleh masyarakat menjadi
berkurang karena harus berbagi dengan mereka yang tidak terdata. Maka muncullah
fenomena “warga miskin ikhlas berbagi”. Jika kita melihatnya secara hukum
positif maka jelas hal ini melanggar aturan sebab tidak sesuai dengan peraturan
perundangan yang telah ditetapkan. Akan tetapi jika dilihat dari kacamata
sosiologis maka hal tersebut ‘terpaksa’ harus dilakukan demi untuk meredam
gejolak sosial.
Fenomena ini ternyata berdampak
juga pada ketidaktepatan harga. Harga tebus raskin cenderung mengalami peningkatan
antara 10-25 persen dari pagu yang ditetapkan (Rp. 1.600/kg) sebab masyarakat
penerima masih harus dibebani dengan ongkos pengepakan ulang setelah beras
dibagi.
Disamping itu naiknya harga
tebus raskin juga disebabkan oleh ongkos angkutan yang harus ditanggung oleh
penerima raskin. Dalam Pedoman Umum Raskin yang dikeluarkan oleh Kementrian
Koordinator Kesejahteraan Sosial (Menko Kesra) disebutkan bahwa Perum Bulog hanya menanggung biaya operasional
dari gudang Bulog sampai ke Titik Distribusi (Kelurahan/desa). Selanjutnya dari
Titik Distribusi sampai ke penerima raskin menjadi beban Pemerintah
Kabupaten/Kota. Namun hampir semua Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia tidak
menyediakan biaya operasional ini, sehingga biaya ini ditanggung penerima Raskin.
Permasalahan lain yang selalu
menjadi kisah klasik adalah tentang kualitas raskin. Selalu menjadi cerita dan
berita dimana-mana bahwa kualitas raskin tidak layak dikonsumsi. Hal ini
kemudian menjadikan mereka para penerima raskin harus mencampurnya dengan beras
yang berkualitas bagus. Atau menukar raskin tersebut dengan beras yang layak
dikonsumsi. Hal tersebut jika dilihat dari tujuan awal program raskin adalah
mengurangi pengeluaran tidak tercapai sebab justru pengeluaran masyarakat
menjadi meningkat kerena harus membeli beras lagi untuk campuran atau untuk
tambahan konsumsi.
Pertanyaan selanjutnya muncul,
kemanakah beras raskin yang dijual tersebut? Beras-beras tersebut ada yang
dijual kepada para pengusaha karak maupun pada peternak untuk campuran ransum
ternak. Serta ditengarai di beberapa daerah bahwa beras-beras tersebut dibeli
lagi oleh Bulog yang kemudian dilaporkan sebagai pembelian dari petani. Dan
kemudian didistribusikan sebagai raskin pada saat berikutnya. Sungguh ironis.
Gambar sini