Namun
meski lokasinya berdekatan bahkan berdampingan, masyarakat kedua kerajaan ini
dapat hidup dengan damai dan penuh toleransi selama berabad-abad. Sampai pada
suatu saat, ketika Rakai Pikatan (Wangsa Sanjaya) mempersunting
Pramodhawardhani (Wangsa Syailendra) dan berusaha menyatukan kedua wangsa
tersebut terjadi pergolakan politik kekuasaan.
Pernikahan
Rakai Pikatan dengan Pramodhawardhani ditengarai sebagi sebuah strategi dan
upaya melanggengkan kekuasaan Wangsa Sanjaya di bhumi Mataram. Banyak pihak
pada waktu itu yang tidak suka dengan hal tersebut. Kalangan elit Wangsa
Syailendra, diantaranya adalah Bala Putera Dewa (adik Pramodhawardhani) yang
merasa tersingkir dan berusaha merebut kembali kekuasaan tersebut, namun tidak
berhasil, yang pada akhirnya melarikan diri ke Sumatra dan menikah dengan
puteri Sriwijaya kemudian menjadi raja di sana.
Meski
penuh kontroversi, namun harus diakui bahwa dimasa pemerintahan Rakai Pikatan
dan Pramodhawardhani, Kerajaan Mataram mencapai masa keemasanya. Dicirikan
dengan banyaknya peninggalan berupa bangunan suci (candi) yang tersebar di
daerah Yogyakarta, Klaten maupun Magelang. Dan situasi tersebut tidaklah
mengusik ketentraman masyarakat Mataram yang plural pada saat itu.
Rakyat
Mataram tidak terlalu terpengaruh dengan konflik elitis tersebut, mereka masih
tetap hidup damai dalam sebuah kebudayaan dan peradaban serta keberagamaan yang
plural. Inilah sebenarnya jatidiri bangsa Indonesia yang telah dimulai sejak
berabad-abad lalu.
Namun
hal tersebut pada saat ini seperti dilupakan oleh bangsa ini. Masyarakat bangsa
ini telah terseret dalam konflik kepentingan elit, sehingga menjadikan situasi
menjadi tidak kondusif. Alangkah indahnya jika situasi Mataram kala itu
terwujud pada masa sekarang ini.