Awalnya
saya heran dan takjub ketika pertama kali menginjakkan kaki di Magelang 7 tahun
silam. Saya melihat pohon yang buahnya tidak menempel di dahan layaknya
pohon-pohon lainnya, namun buahnya menempel pada batangnya. Subhanallah. Buah
apakah gerangan ini, gumam saya. Lalu saya bertanya ke sana ke mari serta
melakukan pencarian di internet.
Orang
Jawa menamainya dengan Kepel (karena besar buahnya sebesar kepalan
tangan) dalam bahasa Indonesia disebut dengan Burahol, diambil dari Stelechocarpus
burahol (nama ilmiahnya).
Divisi
|
:
|
Spermatophyta
|
Filum (Sub Divisi)
|
:
|
Magnoliophyta (nama baru dari Angiospermae) – Tumbuhan
berbiji terbuka
|
Kelas
|
:
|
Magnoliopsida (nama baru dari Dicotyledonae) – Tumbuhan
berbiji belah/bercabang
|
Ordo (Bangsa)
|
:
|
Fabales – Tumbuhan berbunga
|
Famili (Suku)
|
:
|
Annonaceae
|
Genus (Marga)
|
:
|
Stelechocarpus
|
Spesies
|
:
|
Stelechocarpus burahol (Blume) Hook. &
Thomson
|
Daging
buah kepel atau burahol ini mengandung saponin, flavonoida dan polifenol
yang berfungsi dapat meluruhkan air seni serta menjadikan keringat tidak
berbau. Sehingga selain sebagai parfum alami serta menjadikan air seni tidak
berbau juga dapat mengobati radang pada ginjal. Maka tidak mengherankan apabila
konon buah ini adalah kesukaan kerabat keraton Jogja dan Solo. Para puteri
keraton selalu mengonsumsi buah ini agar keringatnya tidak berbau. Selain itu,
buah kepel juga digunakan untuk proses KB alamiah sebab dapat mengurangi
kesuburan sementara pada perempuan.
Daunnya
adalah penangkap radikal bebas (anti-kanker) karena mengandung zat sitotoksik
antara lain acetogenin, styryl lactons dan isoflavon.
Dimana acetogenin berperan dalam mengganggu permeabilitas mitokondria
sel kanker dan pengaturan apoptosis sel kanker. Styryl lactons berperan
dalam peningkatan tumor supressor gene (anti tumor genesis), dan isoflavon
berperan dalam pengendalian sifat estrogenik sel kanker.
Namun
tanaman ini sudah cukup langka. Hanya sedikit yang tersisa di kawasan keraton
Jogja dan Solo. Sebenarnya tanaman Kepel dapat tumbuh subur pada tanah lembab
dataran rendah hingga sedang (100-610 m dpl). Dan ini banyak dijumpai di Pulau
Jawa dan Semenanjung Malaya. Perkembangbikannya hanya dengan biji. Proses
cangkok dan stek (vegetatif) tidak berhasil, maka saat ini sedang dicoba
dikembangbiakan dengan metode kultur in vitro atau kultur jaringan. Tanaman
kepel relatif kebal penyakit (sampai saat ini belum ada laporan tentang jenis
penyakitnya) sementara hama tanaman ini adalah kelelawar dan binatang pengerat
(misal: tikus).
Ciri-ciri
pohon Kepel adalah pohonnya tegak dengan tinggi mencapai 25 M. Daunnya
berwana hijau gelap berbentuk lanset (bulat telor), tidak berbulu dan merotal
tipis dengan pangkal daun panjangnya mencapai 1,5 cm. Tajuk atau kanopinya
berbentuk kubah meruncing (layaknya pohon cemara). Cabang-cabangnya mendatar,
sementara batangnya berwarna coklat cenderung hitam dengan diameter berkisar 40
cm.
Bunganya
muncul pada tonjolan-tonjolan batang adalah bunga yang berkelamin tunggal,
mula-mula berwarna hijau kemudian berubah menjadi keputih-putihan. Bunga
jantannya terletak di batang sebelah atas dan di cabang-cabang yang lebih tua,
berkumpul sebanyak 8-16 kuntum berdiameter 1 cm. Sementara bunga betinanya
hanya berada di pangkal batang, diameternya mencapai 3 cm.
Buahnya
bergerombol antara 1-13 buah. Panjang tangkai buahnya mencapai 8 cm; buah yang
matang hampir bulat bentuknya, berwarna kecoklat-coklatan, diameternya 5-6 cm,
dan berisi sari buah yang dapat dimakan. Bijinya berbentuk menjorong,
berjumlah 4-6 butir, panjangnya sekitar 3 cm. Berat segar buah antara 62-105 g,
dengan bagian yang dapat dimakan sebanyak 49% dan bijinya 27% dari berat buah
segar. Buah kepel dianggap matang jika digores kulit buahnya terlihat berwarna
kuning atau coklat muda.
Sumber referensi:
Potensi In Vitro Zat Sitotoksik Anti Kanker Daun
Kepel terhadap Carcinoma Colrectal (Makalah, Fak. Kedokteran UNS, 2008)
Anatomi Tumbuhan dan Botani Umum (Buku Pegangan
Kuliah, Fak. Pertanian UNS, 1999)