Saturday, July 25, 2020

Masjid Jogokariyan: Saldo Infaq Harus Nol

Masjid Jogokariyan (bahasa Jawaꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀​ꦗꦒꦏꦫꦶꦪꦤ꧀translit. Masjid Jagakariyan), berada di Jalan Jogokariyan, Nomor 36, Mantrijeron, Kota Yogyakarta. Lokasinya berdekatan dengan Pondok Pesanteren Krapyak. Masjid ini dibangun pada tahun 1965, dan resmi digunakan pada 1967. Proses pembangunan masjid tidak lepas dari kontribusi para pengrajin batik dan tenun yang banyak di kampung Jogokariyan. 

Pada awal Juli 1966, telah dibeli tanah untuk wakaf masjid seluas 600 m2. Inilah yang menjadi cikal bakal keberadaan masjid Jogokariyan. Para pengusaha batik dan tenun di lokasi ini adalah simpatisan Masyumi dan pendukung Muhammadiyah. Yang berjasa dalam menggagas masjid ini adalah H. Jazuri. Beliau yang mencetuskan gagasan dan menyampaikan kepada para tokoh masyarakat di sana, seperti Kanjeng Ratu Tumenggung Widyodiningrat, H. Ahmad Said, Ibu Margono maupun Bapak Abdulmanan dan Hadi Sutarno.

Tanah yang dibeli tidak berada di lokasi strategis. Tanah yang strategis adalah milik Bapak Sukadis, seorang pensiunan DPU. Kemudian panitia berdiskusi dan disepakati bahwa tanah milik bapak Sukadis bertukar dengan tanah masjid. Rumahnya dibangun masjid, dan panitia membangunkan rumah permanen untuk Bapak Sukadis di lokasi yang ditukar tadi.  Pada 20 September 1965 dilakukan peletakan batu pertama di tanah tersebut dengan luas bangunan masjid 9x9 m2, ditambah serambi 9x6 m2. Sehingga totalnya 15x9 m2. Peresmian masjid dilakukan pada bulan Agustus 1967.




Nama Jogokariyan dipilih karena para pendiri berpegang pada sunah Nabi Muhammad SAW, ketika memberi nama masjid sesuai dengan nama lokasi keberadaan masjid. Seperti Masjid Quba yang berada di kampung Quba di Madinah. Selain itu penamaan ini akan memudahkan orang mengingat karena begitu disebut nama masjid ini, orang akan langsung mengingat dan merujuk pada suatu wilayah di Jogja, sehingga orang akan mudah mencari dan menemukan lokasi masjid ini.


Satu hal yang membuat masjid ini berbeda dengan masjid di tempat lain adalah Saldo Infaq Harus Nol. Ini selalu dilakukan dan diupayakan oleh Takmir Masjid, kecuali ada perencanaan pembangunan atau reb=novasi tertentu. Infaq memang tidak etis jika disimpan dalam rekening, melainkan harus dimanfaatkan segera untuk kemaslahatan umat agar dapat memiliki nilai guna dan manfaat bertambah. Pemanfaatan uang infaq ini bermacam-macam, selain untuk operasional masjid, dimanfaatkan untuk kebutuhan warga jamaah, seperti apabila ada jamaah yang memerlukan membayar sekolah anaknya atau harus berobat ke rumah sakit, maka masjid akan menanggung. Menurut takmir masjid, jika hal itu terjadi dan uang infaq masih menumpuk di masjid, itu merupakan hal yang tidak etis.




Foto dan Video adalah Koleksi Pribadi


Sunday, July 5, 2020

Masjid Agung Magelang

Masjid Agung Kota Magelang berada di sebelah barat Alun-alun Kota Magelang. Di wilayah Kauman, tepatnya. Berada di jantung Kota Magelang. Usianya telah ratusan tahun. Awalnya hanya berupa mushola (langgar) kecil, didirikan pada tahun 1650 oleh seorang Ulama dari Jawa Timur bernama Kyai Mudzakir. Makam beliau ada di sebelah barat masjid ini.

Pertama kali berdiri hanya ada fasilitas yang sangat sederhana. Bahkan tempat wudlu pun belum ada. Baru tahun 1779 dibangun sumur untuk berwudlu. Tahun 1797 dipugar dengan penambahan mimbar untuk khotbah dan tiang dari kayu jati yang didatangkan dari Bojonegoro. Pemugaran ini tertulis dalam prasasti yang ada di dalam masjid.


Seorang Doktor dari UGM, menyebut bahwa Raden Danoeningrat I, Bupati Magelang pertamalah yang merenovasi langgar ini menjadi masjid pada tahun 1810. Bangunan dengan arsitektur Belanda. Pada tahun 1871 masjid ditambahkan menara kecil dan serambi oleh RAA Danoeningrat III (Bupati III Magelang). Kemudian pada 1934 atas prakarsa Bupati V Magelang, RAA Danoesoegondo, dilakukan pemugaran besar-besaran. 

Bangunan yang kita lihat saat ini adalah hasil pemugaran tahun 1934, namun tanpa menara. Menara masjid setinggi 24 meter tersebut, baru dibangun pada tahun 1991 atas prakarsa Walikota Magelang, Bagus Panuntun.

Menurut penuturan Ketua Takmir Masjid, H. Djauhari, pada masa perang kemerdekaan, masjid ini digunakan sebagai markas tentara yang berperang melawan Belanda. Banyak tentara yang singgah di masjid ini saat mereka menuju Parakan untuk meminta senjata dan doa ke Kyai Subchi.

H. Djauhari juga menyatakan bahwa Kiblat masjid ini telah lurus dengan Makkah, sejak didirikan oleh Kyai Mudzakir. Ini adalah salah satu dari 3 (tiga) Masjid Agung di Jawa Tengah yang kiblatnya telah lurus, dua yang lain adalah Masjid di Grobogan dan Masjid Agung Jawa Tengah.





Foto dan Video adalah koleksi pribadi, diambil pada 4 Juli 2020