Showing posts with label Wisata. Show all posts
Showing posts with label Wisata. Show all posts

Tuesday, September 28, 2021

Pantai Walakiri, Sumba Timur

Pantai Walakiri berada di Kabupaten Sumba Timur. Adalah salah satu pantai dari 18 (delapan belas) pantai yang ada di Sumba Timur. Perjalanan dari Waingapu, Ibukota kabupaten Sumba Timur, ditempuh sekitar 18 menit berkendara.

Pantai ini terkenal dengan sunset-nya. Jika kita datang diwaktu dan saat yang tepat, maka akan dapat menikmati sunset yang sangat indah.


Berikut ini beberapa foto, yang berhasil diambil pada 26 September 2021. Pada saat itu cuaca sedang sedikit berawan.








Silakan juga simak video di link Youtube ini: Walakiri, Sumba Timur - YouTube 



Saturday, November 30, 2019

Jernihnya Air di Waikelo Sawah, Sumba Barat Daya

Jika Anda berkunjung ke Pulau Sumba, perlu menyempatkan diri untuk mampir di Waikelo Sawah. Sebuah bendungan yang airnya sangat jernih. Waikelo Sawah berada di dalam wilayah administrasi Kabupaten Sumba Barat Daya. Kabupaten Sumba Barat Daya adalah kabupaten pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat, pada tahun 2007. 

Lokasi Waikelo Sawah berlokasi di Desa Tema Tana, Kecamatan Wewewa Timur, Sumba Barat Daya. Lokasinya tidak jauh dari Kota Waikabubak, Ibukota Sumba Barat. Dapat diakses dengan menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua. Ditempuh setidaknya 20 menit berkendara dari Waikabubak, Sumba Barat, jika Anda berangkat dari Tambolaka, Sumba Barat Daya perlu waktu sekitar 40 menit berkendara.

Bendungan Waikelo Sawah dibangun pada tahun 1976, dirancang untuk tujuan irigasi dan pembangkit listrik. Berada di kaki bukit dan banyak dikelilingi oleh pepohonan rimbun dan sawah-sawah milik masyarakat, membuat suasananya sejuk. Banyak warga memanfaatkan kolam bendungan ini untuk mandi dan mencuci. Tak jarang mereka mengambil air bersih dari tempat ini untuk kebutuhan sehari-hari.





Kolam airnya tenang, namun sebenarnya arusnya besar di dalam kolam tersebut. Menurut penuturan warga setempat, kolam ini pernah memakan korban jiwa. Debit air yang mengalir dari bendungan ini diperkirakan 1000 Liter/detik. Berlimpahnya air ini digunakan untuk mengairi sawah ke Desa Tema Tana, Kalembu, Ndara Mane, Mereda Kalada, Pada Eweta, Ww Rame serta Tanggaba. Selain itu aliran ini juga untuk pembangkit listrik. 

Pulau Sumba terkenal kering dan tandus, sebab di Sumba musim kemarau bisa mencapai 9 bulan dan musim hujan hanya 3 bulan. Namun ternyata ada sumber mata air yang jernih dan berlimpah. Waikelo Sawah adalah salah satunya.














Catatan: Foto dan Video adalah koleksi pribadi, diambil pada 19 November 2019

Tuesday, November 19, 2019

Kampung Adat Pasunga, Sumba Tengah

Kampung adat Pasunga adalah salah satu dari sekian banyak kampung adat di Pulau Sumba ini. Kampung adat Pasunga terletak di Anakalang,, Waibakul, Kabupaten Sumba Tengah. Lokasinya berada di tepi jalan raya, jalur utama yang menghubungkan Waikabubak, Sumba Barat dengan Wangingapu, Sumba Timur.

Hal menarik di Kampung Adat Pasunga adalah keberadaan makam megalitik yang terbuat dari batu gunung yang dipahat. Lokasi pemakaman berada di bagian depan kampung ini. Ketika kita memasuki gerbang kampung, pandangan kita akan melihat deretan makam batu berjajar. Tidak hanya di bagian depan, di bagian tengah kampung juga berjajar makam, dan ada lapangan yang dikelilingi makam yang biasa digunakan untuk upacara adat masyarakat. Makam megalitik yang diyakini berusia ratusan tahun yang dipahat adalah makam Umbu Puda dan Umbu Paledi.




Bentuk rumah seragam, jumlahnya 30 rumah. Namun di sini tidak seperti di kampung adat lain, misalnya di Kampung Adat Prai Ijing, Sumba Barat, rumah di kampung ini atapnya telah diganti dengan seng, bukan lagi atap dari ilalang. 





Catatan: Foto adalah koleksi pribadi yang diambil pada 18 November 2019


Friday, November 15, 2019

Uma Leme, Rumah Adat Suku Mbojo, Bima


Uma Leme, atau Rumah Runcing adalah rumah adat Suku Mbojo, Bima. Disebut Uma Leme karena atapnya berbentuk runcing mirip dengan puncak gunung yang berbentuk limas. Biasanya dulu di sisi rumah tersimpan alat-alat persembahan dan kesenian. 

Keunikan Uma Leme adalah atap dan dinding rumah menjadi satu kesatuan. Atapnya sekaligus berfungsi sebagai dinding rumah. Dibuat dari alang-alang yang dirajut tebal, sehingga tidak akan berasa dingin dan panas ketika berada di dalamnya. Bagian rumah sebagai tempat tidur, ukurannya 2x2 meter. Rumah juga juga sebagai tempat memasak, menyimpan padi dan segala jenis bahan makanan seperti palawija dan padi. Bagian bawah digunakan sebagai tempat musyarawah dan upacara adat serta upacara ketika ada keluaga yang meninggal.

Keunikan lain adalah pintu rumah di bagian yang tersembunyi, yakni di pojok atau sudut ruang atas. Tangga untuk naik ke rumah tidak selalu terpasang. Dalam kebiasaan masyarakat Donggo ada tanda yang hanya diketahui oleh keluarga saja dimana tangga ini disimpan. Ini demi keamanan dan juga tanda bahwa pemilik rumah sedang pergi atau berada di rumah. Jenazah keluarga yang meninggal akan diturunkan melalui atap rumah dan ada batu sebagai tempat tinggal roh leluhur yang akan dilakukan upacara pemujaan pada waktu tertentu yang disebut Toho Dore.



Saat ini sudah tidak banyak rumah ini. Salah satu daerah yang masih terdapat Uma Leme ini di Desa Mbaja, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima.







Di Desa Mbaja ini para warga desanya beragama Islam, Katolik dan Kristen. Mereka berdampingan hidup rukun dalam satu komunitas. Jika ada masalah keagamaan, maka di Uma Leme inilah dilakukan musyawarah untuk membahas hal tersebut.




Wednesday, November 13, 2019

Sanolo, Sentra Garam di Bima

Apabila kita menuju Bima, Nusa Tenggara Barat dengan menggunakan pesawat, pada saat akan mendarat, kita akan melihat hamparan tambak garam yang luas sepanjang mata memadang. Itulah tambak garam milik warga di kawasan Sanolo.

Sanolo adalah sebuah Desa di Kabupaten Bima. Lokasinya secara administratif berada di Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima. Desa Sanolo adalah sentra garam di Kabupaten Bima. Mayoritas warga desa ini adalah petani garam. Garam adalah andalan penghasilan bagi warga desa ini.

Pada saat musim kemarau seperti ini, hamparan tambak garam sungguh indah disaksikan, baik dari udara maupun saat kita mendatangi lokasi ini. Saya berkesempatan mendatangi lokasi ini pada tanggal 10 November 2019 lalu. 



Hamparan tambak sungguh memanjakan mata. Angin kencang di tambak tidak membuat terasa panas, walaupun matahari masih bersinar terik pada saat menjelang sore. Pukul setengah 5 sore. Berikut ini sedikit yang berhasil direkam kamera handphone saya.


Petani sedang melakukan Panen Garam












Foto dan Video adalah koleksi pribadi







Sunday, April 21, 2019

Rumah Betang di Sungai Utik, Kapuas Hulu

Sungai Utik adalah salah satu dusun di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Di kawasan ini terdapat sebuah rumah betang yang dibangun sekitar tahun 1930an, dan telah mengalami renovasi pada 1970. 

Rumah Betang Sungai Utik, Kapuas Hulu ini didirikan oleh Suku Dayak Iban. Dayak Iban adalah bagian dari suku Ibanik grup yang tersebar di Serawak, Malaysia. Mereka datang ke Kapuas Hulu yang mayoritas dihuni oleh subsuku Dayak Tamambaloh. Kedua suku ini membuat perjanjian damai dan hidup rukun. Menurut beberapa sumber, bahwa oleh para tokoh adat Tamambaloh, masyarakat Iban diberikan tanah di beberapa hulu anak sungai untuk ditempati, dijaga dan dirawat. 

Banyak yang bertanya, mengapa masyarakat Dayak (hampir) selalu tinggal di rumah betang dulunya.

Dalam beberapa catatan dan sumber disebut bahwa rumah betang ini adalah bentuk konkret tentang tata pamong desa, organisasi sosial dan sistem kemasyarakatan. Mereka yang tinggal di rumah betang adalah mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dalam marga atau suku. Sistem nilai budaya yang dibangun dalam kehidupan rumah batang itu menyangkut soal makna kehidupan, pekerjaan, karya dan amal perbuatan bahkan juga hubungan manusia dengan alam dan relasi dengan sesama.

Hal ini sama dan masih berlaku di rumah betang Sungai Utik ini. Rumah Betang Sungai Utik ini terdapat 28 Bilik yang dihuni oleh masing-masing keluarga. Dalam satu bilik dapat terdiri dari beberapa keluarga.

Rumah betang Sungai Utik dikelilingi oleh hutan adat yang masih terjaga yang luasnya lebih dari 9.000 hektar. Masyarakat di sini mengandalkan air yang mengalir di Sungai Utik untuk penghidupan mereka. Maka dari itu mereka sangat berkepentingan menjaga kelestarian hutan, karena tanpa hutan maka sungai akan hilang airnya. Hutan adalah supermarket kehidupan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sumber ketahanan pangan.

Masyarakat Iban di Sungai Utik menetapkan pembatasan penebangan kayu dan hanya diperuntukan untuk membangun rumah. Satu kepala keluarga hanya diizinkan menebang maksimal 30 batang kayu dalam satu tahun. Sanksi adat akan dikenakan bagi siapa saja yang melanggar, termasuk mengusik satwa juga akan dikenakan sanksi adat.

Rumah Betang Sungai Utik hingga sekarang masih dihuni dan telah ditetapkan sebagai cagar budaya dengan SK Bupati Kapuas Hulu Nomor 212/2012. Rumah Betang Sungai Utik adalah merupakan salah satu contoh kebudayaan hutan hujan tropis yang tersisa.

Untuk mendatangi lokasi ini, bagi yang berasal dari luar Kalimantan Barat, dapat melakukan penerbangan dari Pontianak ke Putussibau. Dari Putussibau dilanjutkan dengan moda transportasi darat sejauh 75 Km ke arah utara. 

Disarikan dari berbagai sumber
Foto adalah koleksi pribadi

Tuesday, March 19, 2019

Masjid Raya Senapelan, Pekanbaru

Masjid Raya Senapelan, Pekanbaru adalah masjid tertua di Pekanbaru. Masjid ini dibangun pada tahun 1762 Masehi oleh Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, Sultan IV Kerajaan Siak Sri Indrapura. Proses pembangunan diteruskan oleh puteranya, Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah, Sultan V Kerajaan Siak Sri Indrapura.

Masjid Raya Senapelan terletak di Jalan Senapelan, Kecamatan Senapelan, Kota Pekanbaru atau orang sering menyebut kawasan ini dengan sebutan pasar bawah. Orang juga sering menyebut masjid ini dengan Masjid Raya Pekanbaru. Masjid ini awalnya bernama Masjid Alam, sesuai dengan nama kecil Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah.

Keberadaan masjid ini membuktikan bahwa pusat pemerintahan Kerajaan Siak Sri Indrapura pernah dipindahkan dari Mempura Besar ke Bukit Senapelan (Kampung Bukit). Dalam pemindahan pusat kerajaan, dalam adat Melayu, selalu diikuti dengan pembangunan Istana Raja, Balai Kerapatan Adat dan Masjid. Ketiganya wajib dibangun sebagai representasi dari unsur pemerintahan, adat dan ulama (agama). Hal ini sering disebut dengan Tali Berpilin Tiga atau Tungku Tiga Sejarangan.






Masjid ini telah mengalami beberapa kali renovasi. Pada 1755 dilakukan pelebaran daya tampung masjid. Tahun 1810 pada saat Sultan Assaidis Syarif Ali Abdul Jalil Saifuddin berkuasa dilakukan penambahan fasilitas tempat berteduh untuk para peziarah makam di sekitar masjid. Pada tahun 1940, dibuat pintu gerbang yang menghadap ke timur. 

Sumber: http://www.lam-pekanbaru.org/2019/01/01/sejarah-kota-pekanbaru/

Pada tahun 2009, bangunan masjid diratakan dengan tanah, dan dibangun ulang. Dari proyek Pemerintah Provinsi Riau ini hanya ada tersisa 26 tiang di sisi timur, selatan, barat dan utara serta ada 6 (enam) tiang penyangga tengah yang kini dijadikan bentuk menara. Jadi kita akan mendapati menara sejumlah 6 di dalam masjid Senapelan ini. Bentuk asli bangunan sudah sangat berbeda dengan yang kita lihat sekarang ini. Dulunya bangunan masjid berarsitektur melayu kuno.




Tidak hanya fisik bangunan yang dibongkar, termasuk ornamen hiasannya juga dibongkar. Proyek ini benar-benar tidak mempertimbangkan bahwa ini adalah bangunan cagar budaya. Arsitektur melayu kuno dengan ornamen yang terpengaruh timur tengah, kini tinggal kenangan.

Dengan kondisi ini maka Masjid Raya Senapelan, Pekanbaru berubah statusnya dari Bangunan Cagar Budaya menjadi Struktur Cagar Budaya. Ini sesuai dengan rekomendasi para ahli cagar budaya nasional. Ini telah tertuang dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 209/M/2017 tentang Status Bangunan Cagar Budaya Masjid Raya Pekanbaru tertanggal 3 Agustus 2017.

Disarikan dari berbagai sumber
Foto Adalah Koleksi Pribadi





Saturday, January 19, 2019

Kampung Adat Prai Ijing, Sumba Barat

Prai Ijing adalah salah satu dari sekian banyak perkampungan adat yang terdapat di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Kampung Adat Prai Ijing ini terletak di Desa Tebara, Kecamatan Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat. Berada di pusat pemerintahan kabupaten Sumba Barat, kampung ini tetap terjaga kelestariannya dan keasliannya.

Oleh pemerintah desa setempat, untuk mengunjungi kampung adat ini dikenakan retribusi sebesar Rp. 20.000 (dua puluh ribu rupiah). Hal ini diatur dalam Peraturan Desa Tebara. Ini merupakan salah satu kewenangan desa. Sementara pembinaan lembaga adat adalah kewenangan desa berdasarkan hak asal usul


Untuk mencapai lokasi kampung ini, dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil. Pada saat kita mencapai gerbang, akan ada pos retribusi dan ada lahan yang disediakan untuk parkir kendaraan. Naik ke kampungnya harus berjalan kaki, dengan tanjakan yang cukup lumayan curam.

Di kampung ini dulunya ada 42 rumah. Namun pada tahun 2000, mengalami kebakaran sehingga yang masih ada dan dapat diselematkan kembali tersisalah 38 rumah adat. Rumah-rumah di sini yang menarik dan mencolok adalah barisa rumah adat dengan atap menara yang menjulan tinggi. Walaupun tak semua atap dilengkapi dengan menara. Rumah yang dilengkapi atap menara disebut dengan Uma Mbatangu, sedangkan yang tidak dilengkapi menara disebut dengan Uma Bokulu atau rumah besar, atapnya tidak seperti menara. Uma Mbatangu tinggi atapnya bisa mencapai 30 meter. Kedua jenis rumah ini adalah rumah panggung terbuat dari kayu malela, kayu mata api dan kayu nangka dengan atap dari alang-alang.


Rumah adat terbagi 3 (tiga) bagian. Bagian bawah untuk memelihara ternak, bagian tengah untuk manusia beraktivitas dan bagian atas untuk menyimpan makanan. Bagian atas ini juga diyakini sebagai tempat roh. Di bagian atas ini masyrakat meyakini bahwa Marapu menyaksikan meraka dari menara tersebut.


Masyarakat Sumba umumnya termasuk di Sumba Barat ini menganut agama Marapu. Marapu adalah agama asli yang meyakini pada pemujaan arwah-arwah leluhur. Dalam Bahasa Sumba, arwah leluhur disebut dengan Marapu yang maknanya dipertuan atau dimuliakan.




catatan: Foto dan Video adalah koleksi pribadi