Showing posts with label Pelayanan Publik. Show all posts
Showing posts with label Pelayanan Publik. Show all posts

Saturday, November 29, 2025

Peran Kritis Partisipasi Masyarakat dalam Reformasi Birokrasi

Tulisan ini disusun sebagai bahan pemantik yang saya sampaikan dalam Forum Diskusi Nasional Reformasi Birokrasi, yang diselanggarakan oleh Kementerian PAN/RB pada 18 November 2025 di Jakarta.


Pengantar

Partisipasi masyarakat bukan sekadar elemen pelengkap, melainkan kekuatan warga (citizen power) yang esensial untuk mencapai Reformasi Birokrasi (RB) yang autentik dan berdampak. Mengacu pada Tangga Partisipasi Warga (Arnstein's Ladder), partisipasi yang sebenarnya harus mensyaratkan redistribusi kekuasaan—baik dalam bentuk dana maupun wewenang pengambilan keputusan—bukan hanya sekadar formalitas (seperti Manipulation, Therapy, atau Informing). 

Partisipasi tanpa redistribusi kekuasaan adalah proses yang hampa dan membuat frustrasi bagi warga yang rentan yang tidak berdaya. Adalah sarana yang dapat warga gunakan untuk mendorong reformasi sosial yang signifikan yang memungkinkan mereka turut serta dalam mendapatkan manfaat.

Tangga Partisipasi Warga (Arnstein's Ladder) yang dikembangkan oleh Sherry Arnstein pada tahun 1969, yang membagi partisipasi menjadi delapan tingkatan berdasarkan derajat kekuasaan yang dimiliki warga. Tangga ini memisahkan partisipasi yang otentik (memberi kekuasaan) dari partisipasi palsu (tokenistik atau nonparticipation).

Pilar Partisipasi dalam Reformasi Birokrasi

Keterlibatan publik menjadi penting karena memengaruhi tiga pilar utama reformasi birokrasi;

  1. Menentukan Arah dan Kebutuhan Riil. Masyarakat adalah pengguna akhir layananPartisipasi memastikan bahwa RB tidak salah sasaran, melainkan menciptakan layanan yang sesuai dengan kebutuhan riil melalui pendekatan seperti Co-creation dan Co-design.
  2. Peningkatan Akuntabilitas dan Pengawasan: Keterlibatan masyarakat bertindak sebagai pengawas eksternal yang efektifTransparansi yang didorong oleh partisipasi publik sangat krusial dalam mencegah korupsi dan maladministrasi
  3. Menguatkan Legitimasi dan Keberlanjutan: Layanan yang dirancang dan dikembangkan bersama masyarakat (Co-creation) lebih mudah diterima dan digunakan, sehingga memastikan bahwa hasil reformasi bertahan lama dan tidak hanya menjadi proyek sesaat
Birokrasi yang Humanis dan Model Kemitraan: Co-creation
Konsep Co-creation menempatkan birokrasi dan masyarakat sebagai mitra setara dalam mendefinisikan masalah dan merumuskan solusi, melampaui konsultasi biasa. Kemitraan ini terwujud dalam berbagai aspek:
  1. Co-design: Warga terlibat aktif dalam workshop dan simulasi untuk menciptakan ide atau merombak layanan
  2. Co-delivery: Warga berpartisipasi dalam penyediaan layanan, bertindak sebagai "ahli pengalaman" yang memberikan wawasan unik mengenai implementasi di lapangan
  3. Co-assessment: Masyarakat diikutsertakan dalam pengawasan dan evaluasi kinerja layanan
Rekomendasi Kunci
Untuk mewujudkan partisipasi yang kuat, perlu didukung oleh Political Will yang menjadikan partisipasi digital sebagai bagian integral dari tata kelola. Selain itu, transparansi harus didorong melalui Open Data (anggaran, kinerja layanan) yang mudah diakses dan diolah , serta platform pengaduan digital yang menciptakan jejak audit (audit trail) yang tidak dapat dihapus, mempersulit birokrat untuk menutupi kesalahan. Terakhir, perlindungan data pribadi menjadi penting agar masyarakat merasa aman saat berpartisipasi.

Monday, November 10, 2025

Pelayanan Publik Inklusif dan Responsif Gender

Target perubahan ini berfokus pada ketahanan masyarakat dalam menghadapi ancaman global yang semakin mendesak. Terdapat tiga elemen utama yang saling terkait:

  1. Ketangguhan (Resilience): Ini adalah kemampuan komunitas untuk pulih dari dampak krisis dan bencana, serta beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Ketangguhan tidak hanya berarti kembali ke kondisi semula, tetapi juga menjadi lebih kuat dan lebih siap menghadapi krisis di masa depan.

  2. Keamanan dan Keselamatan: Ini adalah kondisi di mana individu dan komunitas terlindungi dari ancaman fisik, psikologis, dan ekonomi akibat krisis iklim dan bencana. Ini mencakup akses terhadap sistem peringatan dini, shelter yang aman, dan jaminan pasokan dasar.

  3. Komunitas Rentan dan Terdampak: Ini adalah kelompok sasaran utama, yaitu mereka yang paling merasakan dampak krisis, seperti masyarakat miskin, perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat. Mereka sering kali memiliki sumber daya dan kapasitas yang paling sedikit untuk menghadapi bencana, sehingga membutuhkan perhatian khusus.

Argumentasi Relevan

1. Argumentasi Keadilan Iklim dan Hak Asasi Manusia

Dampak krisis iklim dan bencana tidak dirasakan secara merata. Komunitas rentan dan terpinggirkan sering kali menjadi korban pertama dan paling parah, meskipun mereka paling sedikit berkontribusi terhadap krisis iklim. Target ini sejalan dengan prinsip keadilan iklim, yaitu memastikan bahwa beban adaptasi dan mitigasi tidak jatuh pada mereka yang paling tidak mampu menanggungnya. Dengan fokus pada komunitas rentan, target ini menegaskan bahwa hak atas lingkungan yang aman dan hak untuk hidup harus dijamin bagi semua orang, tanpa terkecuali.

2. Argumentasi Efektivitas dan Efisiensi Pembangunan

Investasi dalam ketangguhan komunitas adalah strategi yang lebih efisien dan berkelanjutan dibandingkan hanya melakukan respons pasca-bencana. Ketika sebuah komunitas tangguh, kerugian ekonomi dan korban jiwa akibat bencana dapat diminimalkan. Biaya untuk membangun kembali infrastruktur, menyediakan bantuan kemanusiaan, dan memulihkan kehidupan pasca-bencana jauh lebih tinggi daripada biaya untuk membangun sistem peringatan dini, mengedukasi masyarakat, atau membangun infrastruktur yang tahan bencana. Dengan demikian, penguatan ketangguhan komunitas adalah investasi preventif yang sangat strategis.

3. Argumentasi Stabilitas dan Keamanan Nasional

Krisis iklim dan bencana dapat memicu ketidakstabilan sosial, migrasi paksa, dan bahkan konflik perebutan sumber daya. Ketika komunitas tidak memiliki ketangguhan yang memadai, mereka lebih rentan terhadap disintegrasi sosial dan kepanikan massal. Dengan menguatkan ketangguhan, keamanan, dan keselamatan komunitas, kita tidak hanya melindungi individu, tetapi juga membangun fondasi stabilitas dan kohesi sosial yang kuat. Hal ini pada akhirnya akan berkontribusi pada keamanan nasional yang lebih baik.

Friday, September 26, 2025

Penerapan Sistem Kerja pada Pemerintah Daerah: Catatan Kritis Permenpan 7/2022


Catatan Kritis Penerapan Sistem Kerja pada Pemerintah Daerah: Mewujudkan Birokrasi Lincah dan Berorientasi Hasil

Oleh: Rokhmad Munawir, Head of Programme YAPPIKA (2025)

Pendahuluan

Penerapan Sistem Kerja pada Instansi Pemerintah, sebagaimana diatur dalam PermenPANRB Nomor 7 Tahun 2022, merupakan langkah strategis pasca-penyederhanaan struktur organisasi dan penyetaraan jabatan di lingkungan birokrasi. Tujuan utama dari penyesuaian ini adalah mewujudkan organisasi yang lebih sederhana, lincah (agile), dan profesional. Harapan yang diemban masyarakat dari perubahan ini adalah peningkatan kualitas dan kecepatan layanan publik, birokrasi yang lebih ramping dan kolaboratif, serta perumusan kebijakan daerah yang lebih berkualitas dan relevan karena mampu menyerap berbagai keahlian secara optimal.

Namun, transisi menuju sistem kerja berbasis Jabatan Fungsional (JF) dan tim kerja kolaboratif ini tidak luput dari tantangan, yang berpotensi menimbulkan dampak negatif yang perlu dicermati, baik bagi masyarakat penerima layanan maupun bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) itu sendiri.

Dampak Penerapan Sistem Kerja terhadap Masyarakat

Secara umum, sistem kerja yang baru menawarkan dampak positif yang signifikan, terutama dari aspek Kualitas Layanan Publik dan Kecepatan dalam Layanan Publik.

Dampak Positif (Potensi Perbaikan Layanan)

  • Pemanfaatan Teknologi: Pemanfaatan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) dan Mal Pelayanan Publik didorong, seiring dengan optimalnya JF dalam tim lintas fungsi.

  • Pengambilan Keputusan Cepat: Penghilangan hambatan hirarki struktural yang panjang memungkinkan pengambilan keputusan menjadi lebih cepat di tingkat Pejabat Penilai Kinerja (PPK) atau Pejabat Level I/II. Hal ini berarti produk kebijakan atau layanan teknis yang dihasilkan berpotensi lebih akurat dan handal bagi masyarakat

  • Fleksibilitas Organisasi: Birokrasi menjadi lebih lincah (agile). Penugasan JF lintas unit (sesuai Pasal 10 Permen) memungkinkan Instansi Daerah menangani isu-isu prioritas daerah, seperti pembentukan Tim Percepatan Investasi atau Tim Penanganan Stunting, tanpa perlu mengubah struktur organisasi formal.

Dampak Negatif (Kesenjangan dan Inkonsistensi)

Meskipun demikian, terdapat beberapa risiko dan tantangan yang berpotensi memengaruhi masyarakat:

  • Akses Digital yang Tidak Merata: Ketergantungan pada sistem digital yang tidak merata berpotensi mengeksklusi kelompok rentan (seperti lansia atau masyarakat tanpa akses internet stabil) karena mengabaikan layanan manual yang memadai.

  • Kualitas Pengawasan Lapangan Menurun: Di beberapa daerah, bisa terjadi kekosongan fungsi pengawasan di tingkat operasional (Eselon IV dihilangkan), dan peran pengawasan harian belum sepenuhnya diinternalisasi oleh JF. Ini menyebabkan keluhan teknis tidak terselesaikan dengan baik

  • Inkonsistensi Layanan: Inkonsistensi kualitas dan persyaratan layanan dapat terjadi jika Tim Kerja menafsirkan prosedur secara berbeda karena SOP belum terintegrasi atau tim belum terlatih

  • Partisipasi Publik Formalitas: Mekanisme kerja yang kolaboratif dapat meningkatkan kualitas produk hukum. Namun, Pejabat Daerah berisiko memandang masukan masyarakat sebagai tidak relevan, yang dapat mengakibatkan intensitas dialog dengan publik berkurang dan partisipasi menjadi sekadar formalitas.

  • Fokus Karir Mengurangi Pelayanan: Fokus berlebihan ASN pada pengumpulan Angka Kredit atau pengisian Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) demi jenjang karir dapat mengurangi fokus pelayanan masyarakat

Tantangan Internal Birokrasi dan Dampaknya terhadap ASN

Sistem kerja baru ini juga membawa tantangan signifikan di tingkat internal birokrasi dan bagi karir ASN, khususnya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Kultur Kinerja dan Pengelolaan Kinerja

Penerapan sistem kerja yang berfokus pada Pengelolaan Kinerja yang berorientasi hasil, bukan lagi pada kegiatan rutin, mendorong JF untuk berpikir strategis. Namun, penerapan e-Kinerja secara kaku berpotensi mengabaikan kualitas interaksi dengan masyarakat, dan ASN dikhawatirkan hanya fokus mengumpulkan data atau umpan balik positif, mengabaikan kritik substantif

Tantangan internal juga mencakup perlunya kesamaan persepsi dan penyesuaian budaya kerja. Pengambilan keputusan dapat menjadi lambat karena beban kerja Pejabat Level I/II bertambah, yang berdampak pada proses pengesahan program, anggaran, atau regulasi.

Dampak terhadap PPPK

PermenPANRB No. 7 Tahun 2022 menjadikan peran PPPK strategis sebagai JF dan eksekutor utama program-program teknis pemerintah (Pasal 13). PPPK dapat mengembangkan kompetensi dan keahlian mereka tanpa terganggu tugas-tugas non-core.

Namun, beberapa isu kritis muncul:

  1. Ketidakjelasan Penugasan: Pada tahap transisi, banyak PPPK menghadapi ketidakjelasan penugasan, dan penempatan mereka dalam Tim Kerja terkadang tidak didasarkan pada kompetensi murni, melainkan karena kekurangan personel pasca-penyederhanaan

  2. Kompleksitas E-Kinerja: PPPK, yang sebagian besar adalah tenaga teknis lapangan (Guru, Nakes, Penyuluh), menghadapi kesulitan dalam menerjemahkan pekerjaan harian mereka menjadi Rencana Hasil Kerja (RHK) yang terukur dan berdampak. Hal ini menimbulkan kecemasan karir karena kinerja yang tidak terukur dapat memengaruhi perpanjangan kontrak

  3. Disparitas Tugas (PNS vs. PPPK): Meskipun Permen mendorong penugasan berdasarkan kompetensi, di beberapa Instansi Daerah, terdapat kecenderungan untuk memberikan penugasan yang lebih penting atau strategis kepada PNS yang telah disetarakan menjadi JF dibandingkan kepada PPPK, meskipun keduanya memiliki jenjang dan kompetensi yang sama.

Isu Disparitas Antar Daerah

Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada komitmen Kepala Daerah dan kapasitas SDM lokal. Daerah yang sudah maju dalam implementasi SPBE (seperti Kota Surabaya atau Kota Yogyakarta) dapat menerapkan sistem kerja lincah dengan mulus. Sebaliknya, daerah yang masih menghadapi kendala klasik seperti kurangnya dana, SDM terbatas, dan mindset birokrasi patrimonial justru berisiko mengalami kemunduran

Rekomendasi

Untuk mengoptimalkan penerapan Sistem Kerja ini dan memitigasi dampak negatif yang ada, YAPPIKA merekomendasikan tiga langkah utama:

  1. Mengukur Dampak SPBE Secara Riil: Pemerintah perlu melakukan pemetaan antara kecepatan dan kualitas layanan publik daerah dengan tingkat adopsi dan integrasi SPBE untuk memverifikasi efektivitas sistem kerja karena digitalisasi

  2. Melibatkan Stakeholder dalam Evaluasi Kinerja: Melibatkan organisasi masyarakat sipil, akademisi, media, dan komunitas warga dalam evaluasi kinerja JF di daerah (sebagaimana diamanatkan Permen) untuk menilai dampak kinerja mereka terhadap outcome publik, seperti tingkat kepuasan layanan publik dan kecepatan penanganan pengaduan.

  3. Menyusun Peta Jalan Budaya Kerja: Kementerian PANRB perlu membuat panduan yang fokus pada cara membangun kultur kolaboratif dan orientasi hasil di tingkat daerah pasca-penyetaraan, melengkapi panduan teknis yang sudah ada.

Penutup

Sistem kerja yang baru memiliki potensi besar untuk mentransformasi birokrasi daerah menjadi lebih responsif dan berorientasi pada hasil. Namun, pemerintah daerah harus memastikan bahwa perubahan ini tidak hanya berhenti pada formalitas struktural, tetapi juga disertai dengan peningkatan kapasitas SDM, pemerataan akses digital, serta komitmen untuk menjaga kualitas pengawasan dan partisipasi publik yang bermakna.

Tuesday, December 31, 2019

Stasiun Jebres, Solo

Stasiun Jebres, Solo (ꦱꦼꦠꦱꦶꦪꦸꦤ꧀‌ꦯꦭꦗꦺꦧꦿꦺꦱ꧀Sêtasiyun Sala Jèbrès) adalah salah satu stasiun kereta api di kota Solo. Berada di Jalan Urip Sumoharjo, Kelurahan Purwodiningratan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta. Barada di ketinggian +97 M. Dibangun pada tahun 1883 dan resmi digunakan pada 1884, bersamaan dengan selesai dibangunnya jalur kereta api Solo-Madiun. 

Nama Jebres diambil dari nama seorang Belanda yang bermukim di daerah ini yakni Van der Jeep Reic, lidah orang Jawa menyebutnya menjadi Jebres. Maka daerah kediaman tersebut disebut dengan daerah Jebres.




Pada masa kolonial, stasiun ini digunakan untuk penumpang dan angkutan barang. Juga sering digunakan para keluarga Keraton Surakarta untuk bepergian ke Batavia dan Surabaya. Pada awal abad ke-20, rute tram dalam kota dari Bangak Boyolali ke Stasiun Purwosari diterukan ke Benteng Vastenburg hingga Stasiun Jebres. 




Pada saat ini, stasiun Jebres difungsikan untuk perjalanan kereta api tujuan Jakarta dan Jawa Timur, yakni Bangunkarta (Jakarta-Surabaya via Madiun-Jombang); Brantas (Jakarta-Blitar via Madian); Majapahit (Jakarta-Malang via Madiun-Blitar) dan Matarmaja (Jakarta-Malang via Madiun-Blitar).



Catatan: Foto adalah koleksi pribadi, diambil pada 30 Desember 2019

Friday, September 28, 2018

Kelas dan Sub Kelas di Kereta Api

Bagi masyarakat yang menggunakan kereta api, saat ini telah cukup banyak renovasi dan inovasi yang dilakukan oleh pengelola perkertaapian kita. Salah satunya adalah keberadaan Kelas dan Sub Kelas. Lalu apa yang membedakan? Berikut ini adalah penjelasannya. Silakan disimak.
Kelas Kerata Api
Berdasarkan jenis kelasnya, kereta api terbagi atas 3 (tiga) kelas yakni Kelas Eksekutif; Kelas Bisnis dan Kelas Ekonomi. Ketiganya saat ini telah dilengkapi dengan pendingin ruangan atau AC juga telah ada larangan untuk merokok di dalam gerbong serta ketiadaan pedagang asongan. Selain itu juga mulai diberlakukan pengecekan tiket dengan identitas penumpang untuk memastikan dan menjamin keamanan dan kenyamanan penumpang.

Perbedaan Kelas di Kereta Api
Hal-hal yang secara umum membedakan antar kelas dalam pelayanan kereta api adalah sebagai berikut ini;

  • Harga tiket. Harga tiket kelas eksekutif jauh lebih mahal dibandingkan kelas bisnis atau ekonomi.
  • Fasilitas. Fasilitas kereta api eksekutif biasanya disediakan selimut dan bantal secara gratis. Kualitas AC dan hiburan di dalam gerbong tentunya lebih baik dibandingkan kelas bisnis maupun ekonomi.
  • Tempat duduk. Kereta api kelas eksekutif dan bisnis adalah 2 - 2, sedangkan kelas ekonomi tempat duduknya disusun 2 - 3 atau bahkan 3 -3 yang biasanya juga saling berhadapan. Sehingga kaki susah bergerak. Sandaran tempat duduk kelas ekonomi juga lebih keras dibandingkan kelas bisnis maupun eksekutif. Meskipun pada saat ini telah ada beberapa kereta api kelas ekonomi yang fasilitas tempat duduknya sudah mirip kelas bisnis bahkan kelas eksekutif.
  • Waktu tempuh. Kereta api eksekutif memiliki waktu tempuh yang lebih cepat, karena hanya berhenti di stasiun-stasiun besar saja.
  • Stasiun dan fasilitasnya. Stasiun yang disinggahi kelas eksekutif dengan kelas bisnis dan ekonomi di banyak daerah selalu dibedakan. Fasilitasnya juga tidak sama.
Mulai April 2013, PT Kerata Api Indonesia menerapkan sistem sub kelas. Sub Kelas adalah zona tempat duduk dalam kereta api. Sub kelas ini diterapkan pada semua kelas kereta api. Sebenarnya tidak ada perbedaan fasilitas antar sub kelas. Namun sub kelas ini membedakan harga tiket.

Berikut ini penjelasan Sub Kelas di Kereta Api;
  • Eksekutif: A, H, I, J, X. Sub kelas A memiliki tarif tertinggi sedangkan sub kelas X adalah umumnya tarif promo
  • Bisnis: B, K, N, O, Y. Sub Kelas B adalah tarif tertinggi sedangkan sub kelas Y adalah tarif promo.
  • Ekonomi Komersial: C, P, Q, S, Z. Sub kelas C adalah bertarif paling tinggi sedangkan sub kelas S adalah tarif terendah, dan sub kelas Z adalah tarif promo.
Memang tidak ada perbedaan fasilitas, akan tetapi sub kelas tertinggi (tarif termahal) biasanya memiliki posisi yang menguntungkan yakni di gerbong tengah dari rangkaian kereta api sehingga penumpang dapat naik dan turun dengan lebih mudah karena biasaya dekat dengan pintu keluar masuk stasiun. Sub kelas tertinggi biasanya juga dekat dengan gerbong makan, sehingga penumpang mudah memesan makanan dan minuman. Dan biasanya gerbong tengah lebih nyaman karena tidak terlalu mengalami goncangan.

Gambar adalah koleksi pribadi 

Wednesday, August 31, 2016

Kewenangan Desa dalam Membina Kesehatan Masyarakat

Desa memiliki kewajiban dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Guna mewujudkan hal tersebut, UU 6/2014 tentang Desa telah menjamin kewenangan lokal berskala desa, dimana salah satunya adalah kewenangan melakukan pembinaan kesehatan masyarakat[1].
Perwujudan kegiatan dalam rangka pembinaan kesehatan masyarakat, sebagaimana dimaksudkan dalam Permendesa 1/2015, pasal 34 diantaranya adalah (1) pengembangan pos kesehatan desa dan polindes; (2) pengembangan tenaga kesehatan desa; (3) pengelolaan dan pembinaan posyandu; (4) pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan tradional; (5) pemantauan dan pencegahan penyalahgunaan narkotika di desa.
Pada poin (3) pengelolaan dan pembinaan posyandu diberikan beberapa penjabaran diantaranya (a) layanan gizi untuk balita; (b) pemeriksaan ibu hamil; (c) pemberian makanan tambahan.
Dengan mengacu pada regulasi yang ada ini maka Desa memiliki kewenangan dalam melakukan pembinaan posyandu dan pelayanannya. Artinya, masyarakat desa dapat meminta kepada pemerintahan desa untuk membahas berbagai persoalan kesehatan di Desa dalam forum Musyawarah Desa.

Hal-hal yang penting berkenaan dengan derajat kesehatan masyarakat di Desa dapat dibahas dan prioritaskan dalam perencanaan desa. Penguatan kapasitas kader posyandu juga menjadi kewenangan desa dalam pemberdayaan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan desa. Salah satu hal utama bagi lembaga kemasyarakatan desa adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan diantaranya melalui peningkatan kesehatan masyarakat. Masyarakat sehat, maka akan menuju masyarakat sejahtera.

Untuk menjadikan kesehatan sebagai prioritas di tingkat Desa, maka perlu adanya komitmen yang kuat terutama dari Kepala Desa. Dan hal-hal yang menjadi kewenangan lokal berskala desa tidak hanya seperti dimaktub dalam peraturan menteri tersebut, namun sebenarnya mengarah pada peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Peningkatan kualitas tentunya berkenaan dengan penyediaan dan mendekatkan akses pelayanan kesehatan kepada warga.

Pada sisi lain, warga masyarakat juga perlu menjadikan masalah kesehatan ini sebagai salah satu prioritas yang akan diusung pada Musdes. Warga desa perlu melakukan kajian yang cukup, agar usulan mereka menjadi berkualitas, dan menempatkan urusan kesehatan bukanlah menjadi urusan perempuan semata. Hal ini terjadi di banyak desa di Indonesia, ketika membahas urusan kesehatan maka yang menjadi tumpuan adalah kader Posyandu atau pengurus PKK Desa. Bahkan tidak hanya itu, sasaran program kesehatan juga mengarah pada perempuan. Perempuan masih menjadi subjek sekaligus objek promosi kesehatan.

Melalui kewenangan lokal berskala desa tersebut, untuk meningkatkan kesehatan warganya, akan sangat menarik apabila desa mampu membuat program dan indikator keberhasilan peningkatan derajat kesehatan warganya. Jika pun kita berharap pada desa masih terlalu jauh (mungkin), maka setidaknya pemerintah kabupaten dapat memulai membantu merumuskan indikator-indikator desa sehat tersebut dan mengajak desa serta stakeholdersnya untuk bersama-sama melakukan upaya untuk pencapaian hal tersebut.

Salah satu daerah yang telah mulai memikirkan hal ini adalah Kabupaten Bojonegoro. Kehadiran Peraturan Bupati Bojonegoro No. 47/2014 memang harus diakui telah lebih maju daripada daerah lain. Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, telah memandang penting kesehatan masyarakat desa, selain juga pendidikan, sebagai salah satu upaya menuju kesejahteraan dan kemandirian.
Rumusan indikator dalam Perbup 47/2014 dapat digunakan sebagai titik capaian desa-desa di Kabupaten Bojonegoro dalam mewujudkan kesehatan masyarakatnya. Indikator-indikator tersebut akan membimbing pemerintah desa dalam menyusun rencana pembangunan desa berdasarkan kewenangannya.

Yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro adalah mengajak peran serta para pihak baik organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta dalam bersama-sama mengawal desa-desa menjadi menjadi desa sehat. Program-program para mitra pembangunan ini akan menjadi amunisi baru bagi masyarakat dan pemerintah desa dalam mewujudkan kesehatan masyarakat desa. Artinya, keterbukaan pemerintahan desa dan masyarakat desa dalam bermitra dengan para pihak adalah prasyarat penting.

[1] PP 43/2014, Pasal 34 ayat (2)

pernah dipubilikasikan di www.soloraya.net

Tuesday, May 31, 2016

Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul

Keberadaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 memberikan pengakuan yang sangat besar terhadap kedaulatan desa.  Kebijakan ini mengakui keberadaan kewenangan Desa. Kewenangan Desa yang diakui dalam UU 6/2014, adalah kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa.

Dalam peraturan turunan UU 6/2014; Permendesa No. 1/2015 (Pasal 2), secara eksplisit dijelaskan mengenai Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul yakni:
  1. Sistem organisasi perangkat desa
  2. Sistem organisasi masyarakat adat
  3. Pembinaan kelembagaan masyarakat
  4. Pembinaan lembaga dan hukum adat
  5. Pengelolaan tanah kas Desa
  6. Pengelolaan tanah Desa atau tanah hak milik Desa yang menggunakan sebutan setempat
  7. Pengelolaan tanah bengkok
  8. Pengelolaan tanah Pecatu
  9. Pengelolaan tanah titisara
  10. Pengembangan peran masyarakat Desa
Dalam Pasal 4 secara eksplisit dan tegas menyebutkan bahwa Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus mengakui, menghormati dan melindungi kewenangan berdasarkan hak asal usul tersebut. 

Dengan demikian, tantangan kedepan adalah (1) implementasi atas Pasal 4 tersebut; (2) Desa mampu memastikan dan memanfaatkan kewenangan yang dimilikinya dalam membangun dan menyejahterakan masyarakatnya.


*) Disarikan dari berbagai sumber
**) Gambar dari http://rumah.bisnetmuslim.org

Monday, May 30, 2016

Kewenangan Desa

Secara normatif, kewenangan desa memang dimaksudkan dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dan dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, pada pasal 33 huruf a dan b serta pasal 34. 

Dalam Ketentuan Umum UU 6/2014 dinyatakan bahwa bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut dengan Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemaknaan atas definisi tersebut dapat dipahami sebagai adanya pengakuan secara substantif tentang kedaulatan desa bahkan secara radikal dapat dipahami sebagai sebuah pengakuan kewenangan, bukan sekedar pemberian kewenangan dari pemerintah dan pemerintah daerah. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kewenangan adalah sama dengan wewenang, yakni hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Hassan Shadily (ahli perkamusan) menerjemahkan wewenang sebagai sebuah hak atau kekuasaan memberikan perintah dan bertindak untuk mempengaruhi tindakan orang lain agar sesuai yang diinginkan. 

Jika kita kembali menengok Definisi atas Kewenangan Desa dalam UU 6/2014 mempertegas hal ini, yakni Kewenangan yang dimiliki Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat desa; maka saya boleh dan dapat mengatakan bahwa kewenangan berdasarkan hak asal usul tersebut merupakan kewenangan yang dimiliki desa, bukan karena pemberian dari pemerintah dan pemerintah daerah, akan tetapi merupakan hal yang lahir dari rahim desa tersebut.

Hal yang ini berbeda dengan Kewenangan Lokal Berskala Desa yakni kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang dijalankan oleh Desa secara efektif yang timbul karena perkembangan desa dan prakarsa masyarakat Desa. Konsep kewenangan ini didasarkan pada prinsip desentralisasi; delegasi dan dekonsentrasi dari pemerintah dan pemerintah daerah.

*) Disarikan dari berbagai sumber
**) Gambar dari ariskiyana.wordpress.com

Friday, October 23, 2015

Mengembalikan Khittah Puskesmas

-->
Puskesmas merupakan tulang punggung pelayanan kesehatan masyarakat tingkat pertama.Konsep puskesmas dilahirkan tahun 1968 saat Rapat Kerja Kesehatan Nasional di Jakarta, dalam upaya mengorganisasi sistem pelayanan kesehatan di tanah air, karena pelayanan kesehatan tingkat pertama pada waktu itu dirasakan kurang menguntungkan.

Sejak diperkenalkannya konsep puskesmas tersebut, berbagai hasil kinerja Puskesmas dalam mengawal kesehatan masyarakat telah banyak dicapai diantaranya adalah dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan kematian bayi.
 
Dalam rangka reformasi dan pengotimalisasian kembali peran Puskesmas sebagai wahana menjaga kesehatan masyarakat pada tahun 2014, Kementerian kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Terbitnya peraturan ini telah menggantikan Kepmenkes Nomor 128/MENKES/SK/II/2004.T erbitnya Permenkes tersebut banyak mengatur tentang organisasi, manajemen dan struktur puskesmas.
 
Hanya saja pada bagian pemberdayaan masyarakat secara dalam Permenkes tidak spesifik diatur. Permenkes menekankan enam prinsip penyelenggaraan puskesmas melalui prinsip paradigma sehat, puskesmas diharuskanmendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkomitmen dalam upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Sementara pemberdayaan masyarakat secara spesifik dalam Kemenkes diatur kolaborasi antar stakeholder melalui pembentukan Badan Penyantun Puskesmas (BPP) agar pemberdayaan masyarakat terkordinir guna mendukung pembangunan di bidang kesehatan.

Kolaborasi antar stakeholders inilah yang pada dasarnya menjadi kekuatan Puskesmas dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, karena pada dasarnya Puskesmas memiliki peran promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif (Rokhmad Munawir, 2014)

Namun pada saat sekarang ini peran kuratif dan rehabilitatif memiliki porsi yang lebih besar dari pada preventif dan promotif. Hal ini ditambah dengan kebijakan Kementerian Kesehatan yang menyatakan bahwa Puskesmas harus dapat melayani 155 jenis penyakit, dengan harapan tidak terjadi penumpukan pasien di rumah sakit. 

Peran kuratif dan rehabilitatif telah menjauhkan Puskesmas dari “khitah” awal untuk menjadi penjaga kesehatan masyarakat. Untuk itulah guna mengembalikan khitah tersebut, peran masyarakat dan stakeholders terkait menjadi sangat penting. Puskesmas jelas tidak dapat berdiri dan melakukannya sendiri agar menjadikan upaya promosi kesehatan lebih efektif. Peran serta antarpihak dalam mendorong optimalisasi pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat menjadi sangat penting. Peran multi pihak diharapkan dapat meminimalisir persoalan kesehatan yang terjadi ditengah masyarakat  berbagai aspek sehingga dapat mewujudkan wilayah yang bersih, nyaman, aman dan sehat untuk dihuni oleh warganya.

Melalui Kepmenkes Nomor 1114/Menkes/SK/VII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah yang kemudian dijabarkan melalui Kepmenkes Nomor 585/Menkes/SK/V/2007 tentang Pedoman Promosi Kesehatan Di Puskesmas. Puskesmas mempunyai kewajiban melakukan promosi kesehatan dalam upaya mendorong pemberdayaan dan meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat agar masyarakat dapat menolong dirinya sendiri serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat. Artinya, kehadiran puskesmas berfungsi tidak saja sebagai pusat kesehatan bagi masyarakat namun berfungsi sebagai pusat komunikasi masyarakat. 

Dalam upaya memaksimalkan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan khususnya di puskesmas Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Dan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2005 dan Nomor 1138/MENKES/PB/VIII/2005 tentang Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat. Peraturan bersama tersebut guna mendukung terwujudnya kualitas lingkungan fisik, sosial, perubahan perilaku masyarakat melalui peran aktif masyarakat dan swasta serta pemerintah dan pemerintah daerah secara terarah, terkoordinasi, terpadu dan berkesinambungan.

Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat dilakukan melalui berbagai kegiatan dengan memberdayakan forum-forum masyarakat ditingkat kelurahan/desa dan kecamatan yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, dan peran Puskesmas menjadi aktor utama dalam forum kota sehat menjadi sangat penting dan strategis. Sebab secara substansi kesehatan dan merupakan domain utama. 

Dalam sebuah penelitian singkat yang dilakukan oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) pada tahun 2014/2015 di Kota Surakarta, Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Semarang dan Kota Semarang serta penelitian yang dilakukan oleh Frontier for Health (F2H) Bandung di kabupaten Sumedang dan Kabupaten Cirebon, bahwa dalam rangka menjalankan promosi kesehatan, Puskesmas memiliki irisan dengan instansi lain diantaranya adalah Dinas Pendidikan, Bapermas dan BKKBN. 

Disamping itu peran masyarakat seperti kader kesehatan dan posyandu menjadi sangat vital. Selain itu, dana promosi kesehatan hanya 10% jika dibandingkan dengan dana kuratif yang disediakan oleh Pemerintah Daerah melalui Puskesmas. Tenaga promosi kesehatan pada Puskesmas rata-rata juga hanya diampu oleh seorang tenaga promkes. 

Jika melihat hal ini, guna mengembalikan paradigma bahwa mandat Puskesmas adalah untuk menjaga kesehatan maka perlu dilakukan reformasi oleh semua pihak yakni peningkatan alokasi anggaran menjadi penting, penyediaan tenaga promkes dan keberfungsian forum kolaborasi multi pihak harus dilakukan. [*]

Gambar dari internet (datariau.com)

Tuesday, December 18, 2012

Angkernya Pelayanan Publik


Setiap warga negara selalu memerlukan beragam pelayanan (barang dan jasa) baik yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta. Produk layanan yang disediakan pemerintah (public goods) diantaranya adalah pelayanan atas keamanan, pelayanan identitas diri seperti KTP, SIM maupun akta tanah, pelayanan listrik, pelayanan pendidikan maupun kesehatan. Meskipun untuk yang dua hal terakhir (pelayanan pendidikan dan kesehatan), pihak swasta juga menyediakannya. Masyarakat berhak memilihnya, sebab penyediaan layanan pendidikan maupun kesehatan tergolong pada substitute public goods (penyediaan pelayanan atas barang dan/atau jasa yang dilakukan lembaga pemerintah dan juga lembaga swasta).

Dengan merujuk uraian di atas, maka pelayanan publik dapat didefinisikan sebagai sebuah bentuk pelayanan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar warga negara yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik pada tingkat pusat maupun daerah serta oleh BUMN maupun BUMD. Disamping itu, pelayanan publik bersifat ekonomis, artinya biaya yang dibebankan harus terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat.

Akan tetapi, hingga saat ini banyak kalangan menilai dan menyatakan bahwa pelayanan publik kita masih saja angker terhadap masyarakat, sebab seringkali membuat frustasi dan kecewa dikarenakan selalu saja dibayang-bayangi dengan realita penyediaan layanan yang cenderung tidak transparan, mahal (banyaknya pungli) maupun kualitas/mutu rendah serta petugas pelayanan yang dianggap kurang ramah dalam melayani, dan masih banyak lagi hal-hal yang merujuk pada kurang akuntabelnya pelayanan publik kita.

Sistem dan perilaku birokrasi pelayanan publik lebih pada mencerminkan model organisasi yang tidak efisien dan tidak efektif, minim akuntabilitas, tidak transparan serta tidak berorientasi kepada masyarakat sebagai konsumen yang dilayaninya adalah hal-hal yang acapkali menjadikan pelayanan publik kita jauh dari berkualitas dan akuntabel.

Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Tiga tahun sudah UU Pelayanan Publik diundangkan, namun masih belum dapat menjadikan pelayanan publik kita sesuai dengan harapan. Masih banyak warga masyarakat yang mengeluhkan praktik-praktik penyelenggaraan pelayanan publik yang belum berkualitas. Padahal dengan disahkannya Undang-undang Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik ini merupakan harapan baru guna mendobrak sistem dan perilaku birokrasi pelayanan publik kita menjadi lebih berkualitas dan akuntabel. Sebab, selain membuka keterlibatan masyarakat dalam pengawasan maupun penyusunan standar pelayanan, Undang-undang ini juga mengatur mengenai kewajiban penyelenggara layanan dan bahkan mengenai sanksi bagi penyelenggara layanan juga diatur.

Pengakuan atas hak-hak masyarakat untuk dapat berperan aktif dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah menjadi entry point perbaikan pelayanan publik kita. Pasal 18 dan 39 UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik secara tegas menyatakan mengenai hak dan kewajiban serta hal tersebut.

Akan tetapi, masih minimnya sosialisasi menjadikan masyarakat belum banyak yang memahami bahwa hak mereka telah dijamin oleh undang-undang. Sehingga masyarakat masih belum banyak yang mau melibatkan diri dalam pengawasan dan mengadvokasi dirinya dengan bersama-sama penyedia layanan membuat sebuah standar pelayanan yang partisipatif. Hal ini setidaknya tercermin dari penelitian yang dilakukan oleh PATTIRO Surakarta pada pertengahan tahun 2012 ini, dimana 85% responden masyarakat Surakarta menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui keberadaan UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik maupun mengenai hak-haknya dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang diatur dalam undang-undang tersebut.

Dengan ketidaktahuannya tersebut maka masyarakat tidak dapat berperan aktif dalam mengawasi penyelengaraan pelayanan publik. Di sisi lain, masyarakat juga masih enggan untuk memberikan kritik saran maupun pengaduan ketika mendapatkan pelayanan yang tidak semestinya.

Keengganan masyarakat dalam memberikan kritik saran atau bahkan pengaduan dapat dipahami, sebab sampai saat ini masih sangat banyak unit penyedia layanan yang belum memiliki sistem pengelolaan pengaduan. Pengaduan hanya akan berhenti di dalam kotak saran atau tulisan dalam website tanpa pernah disampaikan sampai sejauhmana pengelolaannya. Dalam membongkar inilah, peran aktif masyarakat dalam penyusunan standar pelayanan menjadi penting, sehingga apa yang menjadi kebutuhan masyarakat selaku pengguna layanan dapat terwadahi serta telah menjadi kesepahaman bersama masyarakat dengan unit penyedia layanan.

Selain itu, dalam UU Pelayanan Publik juga termaktub mengenai sanksi bagi penyelenggara pelayanan publik ketika tidak menyediakan layanan sesuai dengan standar pelayanan yang ada. Dalam pasal 54 sampai dengan pasal 58 menyebutkan hal tersebut secara gamblang, yakni mulai dari ganti rugi, sanksi administratif hingga sanksi pidana.

Artinya, ketika masyarakat merasa tidak puas dan kecewa dengan pelayanan yang diberikan maka dapat melakukan pengaduan. Pengaduan dapat dilakukan kepada atasan petugas pemberi layanan dalam unit pelayanan tersebut maupun atasan dari unit layanan. Juga dapat mengadukan ke Ombudsman selaku lembaga Negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik.

Jika melihat pada perangkat peraturan perundangan yang ada, maka sudah seharusnya perbaikan pelayanan publik bukan lagi sekedar mimpi.
Apalagi di Kota Surakarta saat ini sedang dibahas Raperda Pelayanan Publik yang tentunya akan menjadi pelengkap perangkat hukum yang menangungi penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Surakarta.

Dalam draft Raperda yang dikonsultasi-publikan oleh DPRD pada pertengahan November 2012 ini ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan, terutama mengenai ruang partisipasi dalam pengaduan perlu dipertegas pada mekanisme dan unit khusus yang menangani serta mengelola pengaduan pada setiap unit layanan. Hal ini menjadi penting mengingat bahwa keengganan masyarakat memberikan kritik dan pengaduan karena ketidakpastian mengenai pengaduan mereka.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Joglosemar, 29 November 2012


*) Hak Cipta gambar ada di pattiro surakarta