Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

Sunday, July 5, 2020

Masjid Agung Magelang

Masjid Agung Kota Magelang berada di sebelah barat Alun-alun Kota Magelang. Di wilayah Kauman, tepatnya. Berada di jantung Kota Magelang. Usianya telah ratusan tahun. Awalnya hanya berupa mushola (langgar) kecil, didirikan pada tahun 1650 oleh seorang Ulama dari Jawa Timur bernama Kyai Mudzakir. Makam beliau ada di sebelah barat masjid ini.

Pertama kali berdiri hanya ada fasilitas yang sangat sederhana. Bahkan tempat wudlu pun belum ada. Baru tahun 1779 dibangun sumur untuk berwudlu. Tahun 1797 dipugar dengan penambahan mimbar untuk khotbah dan tiang dari kayu jati yang didatangkan dari Bojonegoro. Pemugaran ini tertulis dalam prasasti yang ada di dalam masjid.


Seorang Doktor dari UGM, menyebut bahwa Raden Danoeningrat I, Bupati Magelang pertamalah yang merenovasi langgar ini menjadi masjid pada tahun 1810. Bangunan dengan arsitektur Belanda. Pada tahun 1871 masjid ditambahkan menara kecil dan serambi oleh RAA Danoeningrat III (Bupati III Magelang). Kemudian pada 1934 atas prakarsa Bupati V Magelang, RAA Danoesoegondo, dilakukan pemugaran besar-besaran. 

Bangunan yang kita lihat saat ini adalah hasil pemugaran tahun 1934, namun tanpa menara. Menara masjid setinggi 24 meter tersebut, baru dibangun pada tahun 1991 atas prakarsa Walikota Magelang, Bagus Panuntun.

Menurut penuturan Ketua Takmir Masjid, H. Djauhari, pada masa perang kemerdekaan, masjid ini digunakan sebagai markas tentara yang berperang melawan Belanda. Banyak tentara yang singgah di masjid ini saat mereka menuju Parakan untuk meminta senjata dan doa ke Kyai Subchi.

H. Djauhari juga menyatakan bahwa Kiblat masjid ini telah lurus dengan Makkah, sejak didirikan oleh Kyai Mudzakir. Ini adalah salah satu dari 3 (tiga) Masjid Agung di Jawa Tengah yang kiblatnya telah lurus, dua yang lain adalah Masjid di Grobogan dan Masjid Agung Jawa Tengah.





Foto dan Video adalah koleksi pribadi, diambil pada 4 Juli 2020

Tuesday, November 19, 2019

Kampung Adat Pasunga, Sumba Tengah

Kampung adat Pasunga adalah salah satu dari sekian banyak kampung adat di Pulau Sumba ini. Kampung adat Pasunga terletak di Anakalang,, Waibakul, Kabupaten Sumba Tengah. Lokasinya berada di tepi jalan raya, jalur utama yang menghubungkan Waikabubak, Sumba Barat dengan Wangingapu, Sumba Timur.

Hal menarik di Kampung Adat Pasunga adalah keberadaan makam megalitik yang terbuat dari batu gunung yang dipahat. Lokasi pemakaman berada di bagian depan kampung ini. Ketika kita memasuki gerbang kampung, pandangan kita akan melihat deretan makam batu berjajar. Tidak hanya di bagian depan, di bagian tengah kampung juga berjajar makam, dan ada lapangan yang dikelilingi makam yang biasa digunakan untuk upacara adat masyarakat. Makam megalitik yang diyakini berusia ratusan tahun yang dipahat adalah makam Umbu Puda dan Umbu Paledi.




Bentuk rumah seragam, jumlahnya 30 rumah. Namun di sini tidak seperti di kampung adat lain, misalnya di Kampung Adat Prai Ijing, Sumba Barat, rumah di kampung ini atapnya telah diganti dengan seng, bukan lagi atap dari ilalang. 





Catatan: Foto adalah koleksi pribadi yang diambil pada 18 November 2019


Saturday, November 16, 2019

Masjid Al Azhar, Masjid Tertua di Sumba

Masjid Al Azhar berada di Kabupaten Sumba Barat, tepatnya di Waikabubak. Masjid ini dibangun pada tahun 1911. Bahan yang digunakan dari bambu yang dibelah dan dipipihkan sebagai dindingnya. Atapnya dengan alang-alang yang dikeringkan. Bentuk awal bangunan masjid ini seperti Uma Bakolu, rumah khas Sumba.

Dalam berbagai literatur dan sumber yang dicari, tidak dapat ditemukan siapa yang memprakarsai pembangunan masjid ini dulunya. Dalam sumber Kementerian Agama dan Takmir Masjid juga tidak dapat diketahui siapa pemrakarsanya. Foto atau lukisan lama juga tidak temukan, hanya ada foto tahun 1937 yang dapat dirujuk sebagai sumber sejarah.

Namun sayangnya kini, bentuk asli masjid ini sudah tidak nampak lagi. Setelah mengalami rehab beberapa kali, bangunan masjid ini diubah dengan batu bata. Rehab pertama di tahun 1937 yang mengganti atap ilalang dengan seng. Tahun 1970 diganti dindingnya dengan batu bata permanen. Kemudian di tahun 1980 direhab kembali, dan ditetapkan sebagai masjid agung Sumba Barat. Penetapan ini diprakarsai oleh Haji MBH Algadri, salah satu tokoh di sana. Dan masjid ini dinamai dengan Al Azhar.

Masjid Al Azhar Sumba Barat, Tahun 1937


Luasan masjid seluas 460M2 dan luas lahan 1.570 M2. Menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti penyaluran zakat, infaq, shodaqoh, penyelenggaraan pengajian, madrasah. Pada saat ini, ketika sholat Jum'at, jalan di depan masjid Al Azhar ditutup untuk parkir kendaraan jamaah.









Foto adalah koleksi pribadi, diambil pada 15 dan 16 November 2019


Friday, November 15, 2019

Uma Leme, Rumah Adat Suku Mbojo, Bima


Uma Leme, atau Rumah Runcing adalah rumah adat Suku Mbojo, Bima. Disebut Uma Leme karena atapnya berbentuk runcing mirip dengan puncak gunung yang berbentuk limas. Biasanya dulu di sisi rumah tersimpan alat-alat persembahan dan kesenian. 

Keunikan Uma Leme adalah atap dan dinding rumah menjadi satu kesatuan. Atapnya sekaligus berfungsi sebagai dinding rumah. Dibuat dari alang-alang yang dirajut tebal, sehingga tidak akan berasa dingin dan panas ketika berada di dalamnya. Bagian rumah sebagai tempat tidur, ukurannya 2x2 meter. Rumah juga juga sebagai tempat memasak, menyimpan padi dan segala jenis bahan makanan seperti palawija dan padi. Bagian bawah digunakan sebagai tempat musyarawah dan upacara adat serta upacara ketika ada keluaga yang meninggal.

Keunikan lain adalah pintu rumah di bagian yang tersembunyi, yakni di pojok atau sudut ruang atas. Tangga untuk naik ke rumah tidak selalu terpasang. Dalam kebiasaan masyarakat Donggo ada tanda yang hanya diketahui oleh keluarga saja dimana tangga ini disimpan. Ini demi keamanan dan juga tanda bahwa pemilik rumah sedang pergi atau berada di rumah. Jenazah keluarga yang meninggal akan diturunkan melalui atap rumah dan ada batu sebagai tempat tinggal roh leluhur yang akan dilakukan upacara pemujaan pada waktu tertentu yang disebut Toho Dore.



Saat ini sudah tidak banyak rumah ini. Salah satu daerah yang masih terdapat Uma Leme ini di Desa Mbaja, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima.







Di Desa Mbaja ini para warga desanya beragama Islam, Katolik dan Kristen. Mereka berdampingan hidup rukun dalam satu komunitas. Jika ada masalah keagamaan, maka di Uma Leme inilah dilakukan musyawarah untuk membahas hal tersebut.




Sunday, April 21, 2019

Rumah Betang di Sungai Utik, Kapuas Hulu

Sungai Utik adalah salah satu dusun di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Di kawasan ini terdapat sebuah rumah betang yang dibangun sekitar tahun 1930an, dan telah mengalami renovasi pada 1970. 

Rumah Betang Sungai Utik, Kapuas Hulu ini didirikan oleh Suku Dayak Iban. Dayak Iban adalah bagian dari suku Ibanik grup yang tersebar di Serawak, Malaysia. Mereka datang ke Kapuas Hulu yang mayoritas dihuni oleh subsuku Dayak Tamambaloh. Kedua suku ini membuat perjanjian damai dan hidup rukun. Menurut beberapa sumber, bahwa oleh para tokoh adat Tamambaloh, masyarakat Iban diberikan tanah di beberapa hulu anak sungai untuk ditempati, dijaga dan dirawat. 

Banyak yang bertanya, mengapa masyarakat Dayak (hampir) selalu tinggal di rumah betang dulunya.

Dalam beberapa catatan dan sumber disebut bahwa rumah betang ini adalah bentuk konkret tentang tata pamong desa, organisasi sosial dan sistem kemasyarakatan. Mereka yang tinggal di rumah betang adalah mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dalam marga atau suku. Sistem nilai budaya yang dibangun dalam kehidupan rumah batang itu menyangkut soal makna kehidupan, pekerjaan, karya dan amal perbuatan bahkan juga hubungan manusia dengan alam dan relasi dengan sesama.

Hal ini sama dan masih berlaku di rumah betang Sungai Utik ini. Rumah Betang Sungai Utik ini terdapat 28 Bilik yang dihuni oleh masing-masing keluarga. Dalam satu bilik dapat terdiri dari beberapa keluarga.

Rumah betang Sungai Utik dikelilingi oleh hutan adat yang masih terjaga yang luasnya lebih dari 9.000 hektar. Masyarakat di sini mengandalkan air yang mengalir di Sungai Utik untuk penghidupan mereka. Maka dari itu mereka sangat berkepentingan menjaga kelestarian hutan, karena tanpa hutan maka sungai akan hilang airnya. Hutan adalah supermarket kehidupan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sumber ketahanan pangan.

Masyarakat Iban di Sungai Utik menetapkan pembatasan penebangan kayu dan hanya diperuntukan untuk membangun rumah. Satu kepala keluarga hanya diizinkan menebang maksimal 30 batang kayu dalam satu tahun. Sanksi adat akan dikenakan bagi siapa saja yang melanggar, termasuk mengusik satwa juga akan dikenakan sanksi adat.

Rumah Betang Sungai Utik hingga sekarang masih dihuni dan telah ditetapkan sebagai cagar budaya dengan SK Bupati Kapuas Hulu Nomor 212/2012. Rumah Betang Sungai Utik adalah merupakan salah satu contoh kebudayaan hutan hujan tropis yang tersisa.

Untuk mendatangi lokasi ini, bagi yang berasal dari luar Kalimantan Barat, dapat melakukan penerbangan dari Pontianak ke Putussibau. Dari Putussibau dilanjutkan dengan moda transportasi darat sejauh 75 Km ke arah utara. 

Disarikan dari berbagai sumber
Foto adalah koleksi pribadi

Tuesday, March 19, 2019

Masjid Raya Senapelan, Pekanbaru

Masjid Raya Senapelan, Pekanbaru adalah masjid tertua di Pekanbaru. Masjid ini dibangun pada tahun 1762 Masehi oleh Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, Sultan IV Kerajaan Siak Sri Indrapura. Proses pembangunan diteruskan oleh puteranya, Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah, Sultan V Kerajaan Siak Sri Indrapura.

Masjid Raya Senapelan terletak di Jalan Senapelan, Kecamatan Senapelan, Kota Pekanbaru atau orang sering menyebut kawasan ini dengan sebutan pasar bawah. Orang juga sering menyebut masjid ini dengan Masjid Raya Pekanbaru. Masjid ini awalnya bernama Masjid Alam, sesuai dengan nama kecil Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah.

Keberadaan masjid ini membuktikan bahwa pusat pemerintahan Kerajaan Siak Sri Indrapura pernah dipindahkan dari Mempura Besar ke Bukit Senapelan (Kampung Bukit). Dalam pemindahan pusat kerajaan, dalam adat Melayu, selalu diikuti dengan pembangunan Istana Raja, Balai Kerapatan Adat dan Masjid. Ketiganya wajib dibangun sebagai representasi dari unsur pemerintahan, adat dan ulama (agama). Hal ini sering disebut dengan Tali Berpilin Tiga atau Tungku Tiga Sejarangan.






Masjid ini telah mengalami beberapa kali renovasi. Pada 1755 dilakukan pelebaran daya tampung masjid. Tahun 1810 pada saat Sultan Assaidis Syarif Ali Abdul Jalil Saifuddin berkuasa dilakukan penambahan fasilitas tempat berteduh untuk para peziarah makam di sekitar masjid. Pada tahun 1940, dibuat pintu gerbang yang menghadap ke timur. 

Sumber: http://www.lam-pekanbaru.org/2019/01/01/sejarah-kota-pekanbaru/

Pada tahun 2009, bangunan masjid diratakan dengan tanah, dan dibangun ulang. Dari proyek Pemerintah Provinsi Riau ini hanya ada tersisa 26 tiang di sisi timur, selatan, barat dan utara serta ada 6 (enam) tiang penyangga tengah yang kini dijadikan bentuk menara. Jadi kita akan mendapati menara sejumlah 6 di dalam masjid Senapelan ini. Bentuk asli bangunan sudah sangat berbeda dengan yang kita lihat sekarang ini. Dulunya bangunan masjid berarsitektur melayu kuno.




Tidak hanya fisik bangunan yang dibongkar, termasuk ornamen hiasannya juga dibongkar. Proyek ini benar-benar tidak mempertimbangkan bahwa ini adalah bangunan cagar budaya. Arsitektur melayu kuno dengan ornamen yang terpengaruh timur tengah, kini tinggal kenangan.

Dengan kondisi ini maka Masjid Raya Senapelan, Pekanbaru berubah statusnya dari Bangunan Cagar Budaya menjadi Struktur Cagar Budaya. Ini sesuai dengan rekomendasi para ahli cagar budaya nasional. Ini telah tertuang dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 209/M/2017 tentang Status Bangunan Cagar Budaya Masjid Raya Pekanbaru tertanggal 3 Agustus 2017.

Disarikan dari berbagai sumber
Foto Adalah Koleksi Pribadi





Sunday, January 27, 2019

Masjid Jami' Kampung Baru, Kota Palu

Masjid Jami' Kampung Baru, Kota Palu ini didirikan pada 1812 oleh seorang tokoh bernama Haji Borahima. Beliau adalah salah satu bangsawan Kaili yang cukup terpandang di kampung baru waktu itu. Borahima memeluk Islam setelah bertemu dengan Syekh Abdullah Raqi atau juga dikenal dengan nama Datuk Karama, yang berasal dari Minangkabau. Datuk Karama menyiarkan dan berdakwah di Tanah Kaili pada abad XVII masehi.

Pada mulanya masjid ini didirikan dengan dinding kayu dan beratap rumbia atau alang-alang. Pada perkembangannya, mengalami pemugaran dan renovasi beberapa kali. Renovasi pertama di tahun 1930. Pada tahun 2004 didirikan sebuah menara yang sekarang ini dapat kita lihat yang berdampingan dengan bangunan masjid ini. Tinggi menara adalah 30 meter. Sebelumnya pada tahun 1953 sudah dibangun menara sebanyak 2 buah, namun akhirnya dibongkar dan digantikan dengan menara yang sekarang.



Masjid Jami' ini saat ini terletak di Jalan Wahid Hasyim, wilayah kampung baru, Kelurahan Baru, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu.


Sisi barat, timur dan selatan masjid terdapat makam. Adalah makam Haji Borahima di sebelah barat masjid. Juga terdapat makam para tokoh Islam Palu di selatan, utara dan timur masjid jami' ini.


Pada saat bencana gempa bumi, likuefaksi dan tsunami melanda Palu bulan September 2018 lalu, masjid ini tidak terkena dampaknya. Masih utuh berdiri.



Disarikan dari berbagai sumber
Foto dan Video adalah Koleksi Pribadi

Saturday, January 19, 2019

Kampung Adat Prai Ijing, Sumba Barat

Prai Ijing adalah salah satu dari sekian banyak perkampungan adat yang terdapat di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Kampung Adat Prai Ijing ini terletak di Desa Tebara, Kecamatan Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat. Berada di pusat pemerintahan kabupaten Sumba Barat, kampung ini tetap terjaga kelestariannya dan keasliannya.

Oleh pemerintah desa setempat, untuk mengunjungi kampung adat ini dikenakan retribusi sebesar Rp. 20.000 (dua puluh ribu rupiah). Hal ini diatur dalam Peraturan Desa Tebara. Ini merupakan salah satu kewenangan desa. Sementara pembinaan lembaga adat adalah kewenangan desa berdasarkan hak asal usul


Untuk mencapai lokasi kampung ini, dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil. Pada saat kita mencapai gerbang, akan ada pos retribusi dan ada lahan yang disediakan untuk parkir kendaraan. Naik ke kampungnya harus berjalan kaki, dengan tanjakan yang cukup lumayan curam.

Di kampung ini dulunya ada 42 rumah. Namun pada tahun 2000, mengalami kebakaran sehingga yang masih ada dan dapat diselematkan kembali tersisalah 38 rumah adat. Rumah-rumah di sini yang menarik dan mencolok adalah barisa rumah adat dengan atap menara yang menjulan tinggi. Walaupun tak semua atap dilengkapi dengan menara. Rumah yang dilengkapi atap menara disebut dengan Uma Mbatangu, sedangkan yang tidak dilengkapi menara disebut dengan Uma Bokulu atau rumah besar, atapnya tidak seperti menara. Uma Mbatangu tinggi atapnya bisa mencapai 30 meter. Kedua jenis rumah ini adalah rumah panggung terbuat dari kayu malela, kayu mata api dan kayu nangka dengan atap dari alang-alang.


Rumah adat terbagi 3 (tiga) bagian. Bagian bawah untuk memelihara ternak, bagian tengah untuk manusia beraktivitas dan bagian atas untuk menyimpan makanan. Bagian atas ini juga diyakini sebagai tempat roh. Di bagian atas ini masyrakat meyakini bahwa Marapu menyaksikan meraka dari menara tersebut.


Masyarakat Sumba umumnya termasuk di Sumba Barat ini menganut agama Marapu. Marapu adalah agama asli yang meyakini pada pemujaan arwah-arwah leluhur. Dalam Bahasa Sumba, arwah leluhur disebut dengan Marapu yang maknanya dipertuan atau dimuliakan.




catatan: Foto dan Video adalah koleksi pribadi



Tuesday, December 18, 2018

Dana Traha: Komplek Pemakaman Kesultanan Bima

Komplek pemakaman Dana Traha adalah salah satu kawasan pemakaman raja-raja Kesultanan Bima dan keturunannya. Lokasinya berada di puncak bukit yang menghadap ke Teluk Bima. Letaknya tepatnya di Kampung Dara, Keluarahan Paruga Kecamatan Rasanae Barat, Kota Bima. Komplek pemakaman kesultanan Bima yang lain antara lain adalah di Komplek Tolobali; komplek Sebelah barat Masjid Agung Sultan Muhammad Salahudin; Komplek Bata di Pane.

Dana Traha secara harfiah bermakna tempat istirahat. Di sinilah kompleks peristirahatan keluarga Kesultanan Bima. Meskipun ini kompleks pemakaman namun jauh dari kesan angker. Dari tempat ini dapat melihat pemandangan Kota Bima dan Teluk Bima dari ketinggian. Dan di masa lalu, pada sekitar abad X Masehi, tempat ini juga difungsikan sebagai tempat bermusyawarah para pemimpin Bima dalam melahirkan kerajaan Bima.

Sultan Abdul Kahir, adalah salah yang dimakamkan di sini. Sultan Abdul Kahir adalah Sultan Bima I dan merupakan pembawa agama Islam masuk ke tanah Bima. Beliau wafat pada 1640 Masehi. Dalam catatan sejarah yang berhasil didapatkan dari berbagai sumber, Sang Sultan ini pernah bersengketa dengan pamannya dan akhirnya meninggalkan istana. Kemudian beliau menikahi seorang puteri Makassar, bernama Karaeng Kasuruang yang melahirkan Sultan Abdul Kahir Sirajudin. Sultan Abdul Kahir Sirajudin juga dimakamkan di tempat ini.

Di komplek Daha Traha ini ada sebuha makan yang tertutup tembok tebal seperti terowongan pendek. Ini adalah makam Perdana Menteri Abdul Samad Ompu Lamani yang wafat pada 1701 M. Pada saat ditanyakan kepada penjaga, mengapa dibentuk sedemikian rupa, penjaga tidak mengetahui secara pasti mengapa makam Perdana Menteri ini dibuat seperti itu.


Di Daha Traha ini tidak nampak makam Sultan Muhammad Salahudin, Sultan Bima terakhir sebelum Kesultanan Bima bergabung dengan Indonesia. Sultan Muhammad Salahudin adalah Sultan Bima yang paling terkenal ini juga salah satu tokoh yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Maklumatnya yang terkenal dengan Maklumat 22 November 1945. Beliau meninggal pada usia 64 tahun pada 11 Juni 1951 (Kamis, 7 Syawal 1370 Hijriah). Dan dimakamkan di Jakarta.

Sultan Bima yang dimakamkan di sini adalah Sultan Abdul Kahir II yang wafat pada 2001 lalu. Makam paling ujung dan paling baru dengan ditutup sangkar kayu berukir. Sultan Abdul Kahir II adalah generasi ke empat abad penerus Kesultanan Bima setelah generasi pertama Kesultanan Bima ini didirikan.

Dari berbagai Sumber
Foto adalah Koleksi Pribadi

Friday, November 16, 2018

Tugu Khatulistiwa: Garis Nol Bumi

Tugu Khatulistiwa adalah titik nol bumi. Terletak di Jalan Khatulistiwa, Pontianak Utara, Kota Pontianak. Sekitar 3 Km dari pusat Kota Pontianak. Tidak jauh dari Jembatan Sungai Kapuas, berada di sebelah kiri jalan.

Dalam catatan yang terdapat di dalam gedung monumen, yang disebutkan bahwa berdasarkan pada catatan dari V. en. W oleh Opzichter Wiese dikutip dari Bijdragen tot de geographie dari Chef van den Topographischen dienst in Nederlandsch-Indie: Den 31 sten Maart 1928, bahwa telah ada suatu ekspedisi internasional yang dipimpin oleh ahli geografi berkebangsaan Belanda untuk menentukan titik garis equator di Kota Pontianak. 

Tonggak tersebut dibuat dengan konstruksi sebagai berikut:
  • Tugu pertama dibangun pada 1928 berbentuk tonggak dengan anak panah
  • Pada tahun 1930 disempurnakan berbentuk tonggak dengan lingkaran dan anak panah
  • Pada tahu 1938 dibangun kembali dengan penyempurnaan oleh arsitek Silaban. Dan tugu asli tersebut dapat dilihat sekarang ini di bagian dalam monumen. Tugu dibuat dari 4 buah tonggak kayu bulian (kayu besi) dengan diameter 0,3 meter, dengan ketinggian 3,05 meter, dan tonggak di bagian belakang tempat lingkaran dan anak panah penunjuk arah setinggi 4,4 meter.
  • Pada tahun 1990, direnovasi dengan pembuatan kubah (monumen) untuk melindungi tugu asli serta ada pembuatan duplikat dengan ukuran 5 kali dari besar tugu yang asli. Diresmikan pada 21 September 1991.
Tugu dibuat dari 4 buah tonggak kayu bulian (kayu besi) dengan diameter 0,3 meter, tinggi 3,05 meter. Terdapat lingkaran dan anak panah penunjuk arah setinggi 4,4 meter. Diameter lingkaran yang ditengahnya terdapat tulisan EVENAAR (dalam bahasa Belanda bermakna Equator) sepanjang 2,11 meter. Panah penunjuk arah panjangnya 2,15 meter.

Pada bulan Maret 2005, tim Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan uji dengan metode terestrial dan ekstraterestrial dengan menggunakan GPS dan stake-out. Hasilnya, mengoreksi titik nol khatulistiwa. Posisi tugu saat ini berada di 0 derajat 0 menit 3,809 detik lintang utara. Sementara 0 derajat 0 menit 0 detik berada di 117 meter dari tugu yang sekarang ke arah Sungai Kapuas. Posisi tersebut saat ini ditandai dengan tonggak pipa.







disarikan dari berbagai sumber.
foto adalah koleksi pribadi, diambil pada 12 November 2018