Showing posts with label Wacana. Show all posts
Showing posts with label Wacana. Show all posts

Tuesday, February 6, 2024

Mengembalikan Arah yang Tepat dalam Revisi UU Desa

Mengembalikan Arah yang Tepat dalam Revisi UU Desa

Disusun oleh: Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Revisi UU Desa


Konteks

Pada 3 Juli 2023, Rapat Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi DPR RI menyepakati masuknya 19 poin perubahan dalam revisi UU Desa. Setidaknya, terdapat dua agenda besar dalam revisi UU Desa, yaitu 1) menaikkan alokasi dana desa dan 2) kedudukan pemerintah desa, khususnya kepala desa, seperti kenaikan gaji, tunjangan purnatugas, hingga masa jabatan. Dalam dokumen penjelasan RUU Perubahan Kedua UU Desa pada 19 Juni 2023, tertulis bahwa beberapa perubahan terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan sebagai penyempurnaan terhadap UU Desa sebelumnya, yaitu antara lain mengatur mengenai: i) kedudukan desa; ii) penyelenggaraan pemerintahan desa; iii) asas dan tujuan di dalam pengaturan desa; iv) tugas, hak, kewajiban, persyaratan, dan masa jabatan kepada desa; v) keuangan desa; vi) pembangunan desa; serta vii) ketentuan peralihan mengenai masa jabatan kepada desa yang saat ini menjabat.

 

Revisi UU Desa tidak boleh diletakkan pada agenda elitis dalam rangka Pemilu 2024. Agenda perubahan UU Desa juga tidak boleh hanya bersifat “jawa sentris” tanpa melihat keberagaman desa di Indonesia. Revisi UU Desa ini juga harus melalui kajian ilmiah dan evaluasi terhadap implementasi UU Desa yang komprehensif, empiris, rasional, dan objektif. Keinginan besar untuk mengubah UU Desa tanpa adanya evaluasi yuridis, empiris, dan sosiologis secara komprehensif hanya akan mendelegitimasi dan melemahkan desa, serta menjauhkan kembali rasa memiliki warga desa yang saat ini sudah mulai hidup dan terbangun.

 

Arah Perubahan UU Desa

Revisi UU Desa tidak boleh hanya sekadar berfokus pada perubahan pemerintahan desa. Revisi UU Desa harus mengarah pada realisasi untuk memperkuat pengakuan atas hak asal-usul yang melihat desa sebagai persekutuan sosial dan budaya; desa sebagai persekutuan hukum, politik, dan pemerintahan; serta desa sebagai persekutuan ekonomi (sebagai ekspresi dari penguasaan desa atas sumber-sumber kehidupan yang menjadi ulayatnya) (Zakaria, 2022). Secara umum, revisi UU Desa setidaknya difokuskan pada memperbaiki sistem tata kelola pemerintahan yang baik, pengembangan masyarakat berbasis komunitas, serta pengaturan dan tata kelola sumber daya alam dan lingkungan.

 

Oleh karena itu, setidaknya terdapat delapan perubahan mendasar seiring dengan berlakunya UU Desa, yaitu:

1.     Merekonstruksi total aturan pelaksanaan UU Desa guna menghilangkan dikotomi rezim pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan, dan keuangan desa. Dalam praktiknya, terjadi dualisme kementerian dalam pelaksanaan UU Desa. Kebijakan Presiden Jokowi memang mengamanatkan desa diurus terutama oleh dua kementerian. Pertama, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Perpres No. 11 Tahun 2015 yang bertanggung jawab mengenai aspek pemerintahan desa. Perpres 11/2015 juga memosisikan desa sebagai “sub-sistem” pemerintahan daerah (desa lama). Kedua, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KemenDesPDTT) melalui Perpres No. 12 Tahun 2015 yang bertanggung jawab mengenai aspek pemberdayaan dan pembangunan desa. Perpres 12/2015 mendudukkan desa sebagai “pelaksana proyek” KemenDesPDTT melalui dana desa. Hal tersebut diperkuat dalam PP Nomor 47 Tahun 2015 untuk mempertegas pembagian kekuasaan. Dalam hal ini, PP 47/2015 membangun dikotomi yang jelas: rezim urusan pemerintahan desa berada di Kemendagri, sedangkan urusan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat berada di KemenDesPDTT. Selain itu, kerumitan implementasi UU Desa semakin diperparah dengan keberadaan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang bertanggung jawab mengenai dana desa yang memang bersumber dari APBN melalui PP No. 60 Tahun 2014. PP 60/2014 pun membangun dikotomi rezim tata kelola keuangan berada di Kemendagri, prioritas pembangunan dana desa berada di KemenDesPDTT, serta penentuan/pembagian dana desa berada di Kemenkeu.

 

Tidak hanya itu, munculnya berbagai rezim pengaturan penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan, pemberdayaan desa, serta dana desa akibat disharmoni atau tumpang tindih antara UU Desa dengan PP No. 43 Tahun 2014 (beserta perubahannya) dan PP No. 60 Tahun 2015 (beserta perubahannya), serta puluhan aturan dari berbagai K/L. Permasalahan lainnya adalah: 1) bertumpuknya beban kerja administratif atas beragam proyek aplikasi yang masuk desa sehingga menjadikan desa sebagai penginput banyak data tanpa memiliki kedaulatan atas datanya sendiri; dan 2) tidak adanya peta jalan yang terintegrasi dalam implementasi UU Desa. Hal ini menyebabkan desa terbelenggu dan terbebani dengan berbagai macam aturan pelaksanaan dan hanya menjalankan program atau kegiatan yang sangat administratif sehingga menghilangkan kewenangan/kedaulatan desa.

 

2.     Memperkuat pengakuan terhadap keberagaman desa, termasuk mempertegas rekognisi penetapan desa adat. UU Desa membawa perubahan yang paling mendasar mengenai keberagaman jenis desa, yaitu desa (atau yang juga dikenal dengan desa dinas) dan desa adat. Keberagaman jenis desa ini berdampak pada memungkinkannya penyelenggaraan pemerintahan desa yang beragam. Adanya nomenklatur desa adat dalam UU Desa merupakan salah satu upaya untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat (hukum) adat. Akan tetapi, dalam praktiknya, hanya 14 kampung adat di Jayapura yang ditetapkan dan diregistrasi oleh Kementerian Dalam Negeri selama 10 tahun di tengah adanya kemungkinan 35.000 perubahan status desa menjadi desa adat (Zakaria, 2023). Setidaknya, terdapat beberapa tantangan dalam merekognisi penetapan desa adat (PATTIRO, 2017; Zakaria, 2022), yaitu 1) adanya kekeliruan penafsiran mandat pasal 7 ayat 1 UU Desa yang berkaitan dengan kata “dapat melakukan” dalam Permendagri No. 1 Tahun 2017 tentang Penataan Desa menjadi “memiliki inisiatif”; 2) belum adanya aturan lebih lengkap/detail mengenai kriteria-kriteria dasar yang dapat dijadikan ukuran penetapan dan pembentukan desa adat; 3) tidak adanya political will dalam hal pengawasan dari pemerintah daerah hingga pusat; 4) penyederhanaan proses penetapan desa adat ke dalam proses-proses administratif yang belum dapat merepresentasikan kompleksitas dinamika sosial masyarakat; hingga 5) rendahnya kapasitas pemerintah daerah dalam menginventarisasi desa yang ada di wilayahnya yang dapat ditetapkan menjadi desa adat.

 

3.     Memperkuat kedudukan dan kewenangan desa berdasarkan prinsip rekognisi dan subsidiaritas. Penguatan ini akan berimplikasi pada relasi yang lebih mendukung antara desa dengan pemerintah daerah, termasuk dalam aspek kewenangan, keuangan, perencanaan, dan penganggaran, serta pengawasan dan pembinaan. Komitmen melaksanakan kewenangan desa ini juga mencerminkan penguatan kemandirian dan kedaulatan desa untuk mewujudkan desa kuat, maju, mandiri, dan demokratis. UU Desa mengamanatkan bahwa kewenangan desa ditentukan oleh warga desa melalui proses pengusulan kepada bupati dan menetapkannya melalui peraturan bupati tentang kewenangan desa. Akan tetapi, pengaturan pelaksanaan kewenangan desa dalam Pasal 33 – 39 PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa inkonsisten dan rancu dengan yang dimaksud pada Pasal 18 - 19 UU Desa. Dalam praktiknya, belum semua kabupaten/kota yang mempunyai desa memiliki Peraturan Bupati/Walikota terkait pedoman pelaksanaan kewenangan desa. Dengan kata lain, pengaturan pelaksanaan kewenangan desa yang ditugaskan dari kabupaten/kota belum seutuhnya dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Kalaupun terdapat beberapa daerah di Indonesia yang menerbitkan Peraturan Bupati/Walikota tentang kewenangan desa, hal tersebut dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat desa secara bermakna.

 

Selain itu, di banyak daerah juga terjadi “pengabaian” kewenangan desa sebagai dasar perencanaan pembangunan desa. Proses perencanaan pembangunan desa yang diterjemahkan dalam dokumen RPJMN Desa dan RKP Desa tidak konsisten dan patuh terhadap mandat Pasal 79 ayat (1) UU Desa. Dalam hal ini, kabupaten/kota belum memiliki Peraturan Bupati/Walikota mengenai kewenangan desa dan desa belum memiliki Peraturan Desa mengenai kewenangan desa, tetapi sudah menyusun dokumen perencanaan pembangunan desa. Hal ini jelas merugikan masyarakat desa karena kewenangan-kewenangan yang dapat dikategorikan dengan kewenangan asal usul dan lokal berskala desa di berbagai desa tidak dapat dikenali dan direkognisi dalam Peraturan Bupati/Walikota tersebut.

 

Tidak hanya itu, pada prinsipnya, kewenangan pengelolaan dana desa diusulkan 70 persen oleh pemerintah desa dan 30 persen oleh pemerintah pusat. Akan tetapi, dalam implementasinya, kewenangan yang diberikan kepada pemerintah desa hanya 30 persen dan sisanya 70 persen menjadi kewenangan pusat. Dalam hal ini, penguatan kewenangan ini sangat penting untuk membuka ruang inovasi desa dan penegasan kewenangan desa untuk mengatur dirinya sendiri.

 

4.     Membangun efektivitas konsolidasi keuangan dan aset desa berdasarkan kewenangan hak asal usul dan lokal berskala desa. Dalam implementasi UU Desa hingga saat ini, terdapat setidaknya tiga belenggu dalam pengaturan keuangan desa. Pertama, penerapan Pasal 66 dan Pasal 72 ayat (1) huruf d UU Desa menimbulkan kesenjangan pengaturan mengenai penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa karena hanya bersumber dari alokasi dana desa (seperti halnya yang tertuang dalam Pasal 81 ayat (1) PP No. 43 Tahun 2014), di mana setiap kabupaten/kota memiliki kemampuan fiskal yang berbeda. Selain itu, dalam praktiknya, pengaturan mengenai penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa mereplikasi formula belanja gaji pegawai dalam dana alokasi khusus (DAU). Dengan kata lain, penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa diformulasikan dalam penghitungan alokasi minum dana desa. Kedua, perubahan mekanisme dan formula pembagian dana desa melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) seringkali menimbulkan gejolak di tingkat desa karena mengurangi pendapatan dana desa di suatu desa. Hal ini karena beberapa indikator penghitungan yang digunakan dianggap subjektif, seperti alokasi afirmasi, alokasi kinerja, dan penghargaan atas peningkatan status desa menjadi mandiri, hingga perubahan sepihak lainnya. Hal ini jelas merugikan desa dan tidak sesuai dengan mandat Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Oleh karena itu, dana desa harus diperlakukan sebagaimana dana transfer ke daerah yang lain, seperti halnya dana alokasi umum (DAU).

 

Ketiga, belum terpenuhinya hak pendapatan desa sesuai mandat Pasal 72 UU Desa, terutama yang bersumber dari APBD Kabupaten/Kota. Di sisi yang lain, pengaturan belanja desa memposisikan desa sebagai “objek” yang diatur secara detail sesuai kebijakan supra desa, seperti dalam Pasal 100 PP 43/2014 dan perubahannya mengenai belanja gaji, operasional, dan tunjangan tidak melebihi 30%. Pengaturan ini mengakibatkan ribuan desa di Pulau Jawa yang memiliki tambahan penghasilan dari tanah kas desa (TKD) sebagai aset bersifat hak asal usul atau desa di luar Pulau Jawa yang alokasi dana desanya relatif besar karena pendapatan asli daerahnya pada fiskal yang tinggi harus melakukan pengurangan penghasilan tetap dan tambahan penghasilan. Hal ini semakin diperparah dengan ketentuan Pasal 19 ayat (2), 21, 22, dan 23 PP No. 60 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 72 ayat (1) dan Pasal 100 UU Desa dan mereduksi kewenangan asal usul dan lokal berskala desa.

 

Selain itu, temuan FITRA selam proses pendampingan desa kurun waktu 8 tahun terakhir menunjukkan bahwa sebagian besar pemerintah desa belum optimal dalam tata kelola keuangan desa, terutama alokasi belanja desa untuk pemenuhan kepentingan masyarakat setempat. Tidak hanya itu, Permendagri No. 1 Tahun 2016 tidak menjelaskan bagaimana mekanisme tata kelola aset berdasarkan hak asal usul dan aset yang bersifat lokal skala desa. Dengan kata lain, dalam praktiknya, pengaturan tentang aset tanah kas desa tidak ada bedanya dengan pengaturan aset lainnya, di mana tanah kas desa sebagai bentuk kewenangan asal usul, namun pelaksanaannya diatur dan diurus oleh kabupaten/kota.

 

5.     Perencanaan yang terintegrasi dan memastikan perspektif inklusi sosial dalam pembangunan dan pemberdayaan desa. Sebagaimana UU tentang sistem perencanaan pembangunan, perencanaan desa dilakukan melalui 4 cara yaitu: (1) perencanaan partisipatif melalui musyawarah desa dan musyawarah perencanaan pembangunan; (2) perencanaan teknokratis melalui perencanaan yang dibuat oleh perangkat desa berdasarkan kewenangan; (3) perencanaan top down - bottom up dengan selalu menjadikan perencanaan kabupaten, provinsi bahka perencanaan jangka menengah di atasnya, untuk mempertimbangkan pembuatan perencanaan jangka menengah desa; dan (4) perencanaan politis, dimana ada visi-misi kepala desa terpilih. Perubahan UU Desa harus mempertegas sistem pemanfaatan data yang aktual dan presisi dalam perencanaan dan pembangunan desa, termasuk perencanaan penganggaran, yang memastikan perspektif keadilan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI). Selain itu, mendorong tata kelola desa yang inklusif harus meletakkan pada penguatan tata kelola pemerintahan yang inklusif, partisipatif, dan berkeadilan sosial, dan tidak hanya sekadar membahas kelembagaan desa atau struktur kelembagaan desa.

 

6.     Mempertegas perbedaan status dan kedudukan pemerintah desa dan pemerintahan desa serta kedudukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Secara filosofis, pembentukan BPD berfungsi untuk memberikan keseimbangan peran dan kontrol penyelenggaraan pemerintahan desa oleh Pemerintah Desa. Namun dalam UU Desa, kedudukan BPD bukan lagi menjadi unsur penyelenggara pemerintahan desa, di mana legitimasi kekuasaan BPD “mandul”. Secara hakikat, BPD harus diletakkan sebagai representasi kedaulatan politik rakyat desa melalui kedudukan dan fungsi. Sementara itu, pemerintah desa merupakan representasi kedaulatan teknokratis. Dengan demikian, berjalannya demokrasi di desa sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPD. Saat ini, BPD tidak memiliki kedudukan apapun dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan hanya sebatas lembaga desa yang menjalankan fungsi sesuai ketentuan yang ada. Oleh karena itu, BPD harus dikembalikan kedudukannya sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan desa. Dengan demikian, pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh BPD dan Pemerintah Desa.

 

7.     Memperkuat demokratisasi di desa dengan fokus pada pemberdayaan dan pendampingan. Dalam hal ini, terdapat pemangku kekuasaan politik lokal di desa yang belum berpihak dan memberdayakan warga miskin, disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya sehingga warga desa berada dalam posisi yang belum sepenuhnya berdaya dalam proses pengambilan keputusan di tingkat desa dan pendayagunaan sumber daya pembangunan di desa. Selain itu, lemahnya kapasitas aktor-aktor desa (kepala desa, perangkat desa, anggota BPD, dan masyarakat desa) dalam melakukan pengambilan keputusan secara musyawarah untuk mufakat. Terkait usulan memperpanjang jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hal ini merupakan pengingkaran terhadap demokratisasi desa. Hal tersebut juga sangat berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan atau penyimpangan kekuasaan. Masa jabatan kepada desa selama 6 tahun dan dapat menjabat paling banyak 3 kali dalam UU Desa merupakan hasil kompromi dari permasalahan panjangnya masa jabatan kepada desa di era Orde Baru sehingga menimbulkan stagnansi pembangunan desa. Proses demokrasi pemilihan kepala desa sudah menjadi pembelajaran yang sangat panjang sehingga tidak perlu ada kekhawatiran secara berlebihan terhadap residu yang ditimbulkan. Hal yang juga perlu diingat adalah konsekuensi logis dari memperkuat demokratisasi di tingkat desa akan berdampak pada banyak hal, seperti adanya rekognisi yang kuat terhadap keberagaman jenis desa, menguatnya kewenangan desa berdasarkan prinsip rekognisi dan subdiaritas, hingga terjadinya konsolidasi keuangan dan aset desa yang efektif karena adanya perencanaan yang terintegrasi dengan melibatkan masyarakat desa secara bermakna.

 

8.     Memperkuat solidaritas ekonomi, kolektivitas, dan tata kelola pemerintahan desa yang baik. Permasalahan yang tidak dapat dipungkiri adalah pembangunan desa tidak menyentuh masyarakat rentan dan terdapat kecenderungan penguasaan kapital yang terpusat pada golongan kaya atau elite di pedesaan. Hal ini berpotensi menyebabkan korupsi di desa. Data KPK (2023) menunjukkan bahwa jumlah kepala desa yang terjerat kasus korupsi sebanyak 601 perkara dan aparat desa sebanyak 686 perkara dengan perkiraan kerugian negara sebesar Rp. 433,8 miliar. Data tersebut diperkuat dengan temuan ICW (2021) yang memperlihatkan kasus korupsi di desa berbasis sektoral, antara lain sektor keuangan dana desa berkontribusi paling banyak kasus korupsi sebanyak 154 kasus dengan potensi kerugian Rp 233 miliar, sektor pertanahan 21 kasus dengan potensi kerugian sebesar Rp 25 triliun, dan sektor pemerintahan sebanyak 52 kasus. Setidaknya, terdapat empat penyebab terjadinya banyak korupsi di desa (Zakiyah, 2023), yaitu 1) minimnya pelibatan dan pemahaman warga terhadap proses pembangunan desa, 2) minimnya fungsi pengawasan di desa, di mana BPD belum optimal dalam menjalankan pengawasan anggaran di desa, 3) terbatasnya akses warga terhadap informasi seperti anggaran desa dan pelayanan publik di desa, serta 4) lemahnya kapasitas dan ketidaksiapan kepala desa dan perangkat desa dalam mengelola dana desa dalam jumlah yang besar.

 

Rekomendasi

Atas berbagai catatan di atas, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Revisi UU Desa mendesak:

  1. Pemerintah dan DPR RI harus melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dalam perumusan Revisi UU Desa sesuai dengan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang kemudian dinormakan dalam UU No. 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
  2. Pemerintah dan DPR RI tidak boleh menjadikan Revisi UU Desa sebagai alat transaksi untuk dukungan menuju pemungutan suara dalam Pemilu 2024.
  3. Pemerintah dan DPR RI agar tidak terburu-buru mengesahkan Revisi UU Desa di Badan Legislatif DPR RI dengan kembali melakukan:

a.     Kajian dan evaluasi kembali terhadap implementasi UU Desa dan tata kelola pemerintahan desa di Indonesia secara komprehensif, empiris, rasional, dan objektif, serta tidak diletakkan pada agenda elitis dalam rangka Pemilu 2024

b.     Mempublikasikan setiap informasi mengenai pembahasan Revisi UU Desa kepada publik secara luas melalui kanal resmi seperti website DPR RI dan KemendesPDTT sebagai bagian dari membangun transparansi pembentukan undang-undang

c.      Menampung dan menindaklanjuti berbagai masukan dari kelompok masyarakat yang terdampak langsung dan memiliki perhatian terhadap Revisi UU Desa

 

 

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Revisi UU Desa

1.     Forum Masyarakat Sipil (FORMASI) Kebumen

2.     JARKOM DESA

3.     Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)

4.     Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA)

5.     Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA)

6.     Indonesian Parliamentary Center (IPC)

7.     Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)

8.     Komite Pemantau Legislatif (KOPEL)

9.     Lakpesdam PBNU

 

 

 

Sumber Referensi

Murtiono, Yusuf, “Belenggu Desa oleh Rezim Implementasi UU Desa”, dipresentasikan dalam Diskusi Advokasi Revisi UU Desa pada 29 September 2023

PATTIRO. 2017. Policy Brief Serial Mengawal Implementasi UU Desa: Mempertegas Pengaturan Penetapan Desa Adat. PATTIRO: Jakarta

Shohibuddin, Mohamad, Eko Cahyono, dan Adi Dzikrulloh Bahri, “Undang-Undang Desa dan Isu Sumber Daya Alam: Peluang Akses atau Ancaman Eksklusi?”, Wacana Jurnal Transformasi Sosial, Nomor 36/Tahun XiX/2017, hlm. 29 – 81

Surya Putra, Anom, “Desa di Masa Pandemi Covid-19 (1): Praksis Dana Desa Tidak Sedang Baik-Baik Saja?”, diakses dari https://www.mediavanua.com/desa-di-masa-pandemi-covid-19-1-praksis-dana-desa-tidak-sedang-baik-baik-saja/

Zakaria, R. Yando. 2022. Kronik Undang-Undang Desa: Dari UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa ke UU No. 6/2014 tentang Desa. Perkumpulan Karsa: Yogyakarta

Zakaria, R. Yando, “Revisi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa: Revisi yang Salah Arah!”, dipresentasikan dalam Diskusi Urgensi Revisi UU Desa pada 18 Juli 2023

Zakiyah, Wasingatu, “Perjalanan 10 Tahun: Memandu Desa Responsif GEDSI dan Anti-Korupsi”, dipresentasikan dalam Diskusi Advokasi Revisi UU Desa pada 29 September 2023

 

 

 

Monday, October 10, 2016

Kewenangan Desa dalam Adaptasi Perubahan Iklim

Sebagian besar daerah di Indonesia rentan terhadap perubahan iklim, baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia seperti penebangan hutan, penggunaan alat-alat yang menghasilkan karbon tinggi. 

Ataupun gejala alam seperti erupsi gunung berapi maupun el nino dan el nina di lautan, radiasi sinar matahari, maupun tekanan tektonik dari dalam bumi dan proses biologis.
Hal ini disebabkan daerah di Indonesia memiliki topografi pegunungan dan dikelilingi gunung api serta lautan yang luas sehingga menjadi wilayah yang memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim. 

Salah satu wilayah yang memiliki kerentanan tinggi adalah Jawa Timur. Kabupaten atau kota di Jawa Timur memiliki tingkat kerentanan tinggi akibat perubahan cuaca, curah hujan, maupun aktivitas tektonik dan vulkanik. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Timur tahun 2015 menyebut bahwa ada 22 kabupaten atau kota di Jawa Timur yang rentan terhadap perubahan iklim sehingga rawan bencana terutama longsor, kekeringan dan banjir.

Kawasan Malang Raya (Batu, Kota Malang dan Kabupaten Malang) merupakan wilayah dengan kerentanan tinggi. Dalam data yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengenai Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim (KRAPI) tahun 2012, kawasan Malang Raya memiliki iklim Monsun (musim dingin yang kering dan musim panas/ kemarau yang basah).

Situasi ini ditengarai disebabkan oleh kenaikan suhu sebesar 0,690 C sepanjang 25 tahun terakhir, dan di sisi lain juga mengalami curah hujan ekstrem yang rata-rata meningkat 5% hingga 2030 dibandingkan kondisi saat ini.

Sebagai wilayah dengan kerentanan tinggi terkena perubahan iklim, pemerintah daerah telah menempatkan masalah lingkungan hidup ini menjadi isu strategis dalam proses pembangunan daerah. Berbagai upaya telah dilakukan, baik melatih masyarakat untuk tanggap bencana; memperkuat dan memperbanyak desa tangguh bencana; maupun melakukan mitigasi pengurangan risiko.
Reboisasi sabuk hijau bantaran sungai dan upaya pencegahan penebangan hutan secara serampangan serta  pembuatan biopori pada kawasan terbuka hijau di perkotaan juga sudah dilakukan. 

Berbagai upaya ini tidak akan berhasil jika hanya dilakukan secara sepihak oleh pemda saja tanpa melibatkan masyarakat sipil, sektor swasta dan tentu saja desa. Paradigma urusan lingkungan hidup adalah urusan pemda harus diubah menjadi urusan yang dibagi atau kewenangannya diberikan juga kepada pemerintahan desa yang kini memiliki kewenangan yang dijamin dalam Undang-undang Desa yakni kewenangan lokal berskala desa, kewenangan berdasarkan hak asal usul serta kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.

Isu lingkungan hidup, adaptasi perubahan iklim dan kebencanaan ini merupakan bagian dari kewenangan lokal berskala desa. Sebab urusan ini sesuai dengan kepentingan masyarakat desa dan desa mampu menjalankannya dengan baik dan efektif. 

Paradigma desa tidak mampu harus diubah, sebab ini menyesatkan pola pikir dan cara pandang yang pada akhirnya hanya akan menjadikan desa sebagai objek tanpa pernah menjadi subjek. Tugas dan kewajiban pemerintah kabupaten atau kota untuk menguatkan kapasitas desa. Peran lain pemerintah daerah yang tetap harus dilakukan adalah melalui BPBD dalam menyusun kebijakan dalam upaya Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana  dengan menyiapkan kebijakan baik berupa program dan dukungan dana.

Mengapa urusan lingkungan hidup dan adaptasi perubahan iklim ini menjadi penting untuk dilimpahkan ke Desa lebih dikarenakan agar mendekatkan hal ini kepada masyarakat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Masyarakat desa pasti memiliki pengalaman dan cara pandang yang bagus tentang bagaimana menyikapi perubahan iklim ini. Misalnya, masyarakat desa terbukti mampu bertahan dengan melakukan adaptasi dalam mempertahankan agar tanaman mereka tetap bisa panen pada musim pancaroba tahun ini. 

Upaya yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintahan desa tersebut hanya perlu dikuatkan dengan hasil pembacaan secara ilmiah. Sehingga secara teknis masyarakat desa dan pemerintahan desa lebih mampu melakukan upaya adaptasi. Pada sisi lain, pemerintah desa dapat memulai memasukkan beberapa agenda kegiatan dan program ke dalam kebijakan perencanaan pembangunan desa, baik dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) maupun dalam Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKPDesa). 

Perlu diingat bahwa salah satu faktor kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim adalah sensitivitas dalam beradaptasi atau menyikapi perubahan tersebut agar mampu bertahan hidup. Sehingga perlu upaya yang massif dari para pihak dalam menangani hal ini.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di MalangTimes.Com

Wednesday, August 31, 2016

Kewenangan Desa dalam Membina Kesehatan Masyarakat

Desa memiliki kewajiban dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Guna mewujudkan hal tersebut, UU 6/2014 tentang Desa telah menjamin kewenangan lokal berskala desa, dimana salah satunya adalah kewenangan melakukan pembinaan kesehatan masyarakat[1].
Perwujudan kegiatan dalam rangka pembinaan kesehatan masyarakat, sebagaimana dimaksudkan dalam Permendesa 1/2015, pasal 34 diantaranya adalah (1) pengembangan pos kesehatan desa dan polindes; (2) pengembangan tenaga kesehatan desa; (3) pengelolaan dan pembinaan posyandu; (4) pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan tradional; (5) pemantauan dan pencegahan penyalahgunaan narkotika di desa.
Pada poin (3) pengelolaan dan pembinaan posyandu diberikan beberapa penjabaran diantaranya (a) layanan gizi untuk balita; (b) pemeriksaan ibu hamil; (c) pemberian makanan tambahan.
Dengan mengacu pada regulasi yang ada ini maka Desa memiliki kewenangan dalam melakukan pembinaan posyandu dan pelayanannya. Artinya, masyarakat desa dapat meminta kepada pemerintahan desa untuk membahas berbagai persoalan kesehatan di Desa dalam forum Musyawarah Desa.

Hal-hal yang penting berkenaan dengan derajat kesehatan masyarakat di Desa dapat dibahas dan prioritaskan dalam perencanaan desa. Penguatan kapasitas kader posyandu juga menjadi kewenangan desa dalam pemberdayaan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan desa. Salah satu hal utama bagi lembaga kemasyarakatan desa adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan diantaranya melalui peningkatan kesehatan masyarakat. Masyarakat sehat, maka akan menuju masyarakat sejahtera.

Untuk menjadikan kesehatan sebagai prioritas di tingkat Desa, maka perlu adanya komitmen yang kuat terutama dari Kepala Desa. Dan hal-hal yang menjadi kewenangan lokal berskala desa tidak hanya seperti dimaktub dalam peraturan menteri tersebut, namun sebenarnya mengarah pada peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Peningkatan kualitas tentunya berkenaan dengan penyediaan dan mendekatkan akses pelayanan kesehatan kepada warga.

Pada sisi lain, warga masyarakat juga perlu menjadikan masalah kesehatan ini sebagai salah satu prioritas yang akan diusung pada Musdes. Warga desa perlu melakukan kajian yang cukup, agar usulan mereka menjadi berkualitas, dan menempatkan urusan kesehatan bukanlah menjadi urusan perempuan semata. Hal ini terjadi di banyak desa di Indonesia, ketika membahas urusan kesehatan maka yang menjadi tumpuan adalah kader Posyandu atau pengurus PKK Desa. Bahkan tidak hanya itu, sasaran program kesehatan juga mengarah pada perempuan. Perempuan masih menjadi subjek sekaligus objek promosi kesehatan.

Melalui kewenangan lokal berskala desa tersebut, untuk meningkatkan kesehatan warganya, akan sangat menarik apabila desa mampu membuat program dan indikator keberhasilan peningkatan derajat kesehatan warganya. Jika pun kita berharap pada desa masih terlalu jauh (mungkin), maka setidaknya pemerintah kabupaten dapat memulai membantu merumuskan indikator-indikator desa sehat tersebut dan mengajak desa serta stakeholdersnya untuk bersama-sama melakukan upaya untuk pencapaian hal tersebut.

Salah satu daerah yang telah mulai memikirkan hal ini adalah Kabupaten Bojonegoro. Kehadiran Peraturan Bupati Bojonegoro No. 47/2014 memang harus diakui telah lebih maju daripada daerah lain. Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, telah memandang penting kesehatan masyarakat desa, selain juga pendidikan, sebagai salah satu upaya menuju kesejahteraan dan kemandirian.
Rumusan indikator dalam Perbup 47/2014 dapat digunakan sebagai titik capaian desa-desa di Kabupaten Bojonegoro dalam mewujudkan kesehatan masyarakatnya. Indikator-indikator tersebut akan membimbing pemerintah desa dalam menyusun rencana pembangunan desa berdasarkan kewenangannya.

Yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro adalah mengajak peran serta para pihak baik organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta dalam bersama-sama mengawal desa-desa menjadi menjadi desa sehat. Program-program para mitra pembangunan ini akan menjadi amunisi baru bagi masyarakat dan pemerintah desa dalam mewujudkan kesehatan masyarakat desa. Artinya, keterbukaan pemerintahan desa dan masyarakat desa dalam bermitra dengan para pihak adalah prasyarat penting.

[1] PP 43/2014, Pasal 34 ayat (2)

pernah dipubilikasikan di www.soloraya.net

Wednesday, August 24, 2016

Menggagas Konservasi Lingkungan Hidup di Solo

Kota Solo kini telah mendapatkan sosok pemimpin yang baru, yang diharapkan mampu membuat kebijakan yang dapat menguntungkan masyarakat kota Solo. Salah satu dari sekian banyak harapan yang ditujukan kepada bapak Walikota yang baru adalah masalah konservasi lingkungan hidup. Permasalahan lingkungan yang wajib ditangani secara serius untuk segera dilakukan konservasi adalah masalah air dan udara. Air dan udara adalah kebutuhan hidup yang sangat vital. Aktivitas sehari-hari kita membutuhkan air untuk minum, memasak maupun mandi dan udara (oksigen) untuk bernafas. 

Permasalahan air saat ini bukan hanya menjadi permasalahan yang dihadapi oleh kota Solo saja, akan tetapi telah menjadi permasalahan global. Dunia saat ini sudah mengalami krisis air bersih. Diberbagai belahan dunia mulai kekurangan pasokan air bersih yang layak konsumsi. Masyarakat dunia sekarang ini dalam menghadapi masalah air yang sangat kompleks dan rumit, dihadapkan pada persoalan pencemaran dan privatisasi. Begitu pula masalah udara. Tingkat pencemaran udara sudah begitu tinggi terutama di kota-kota besar, yang diakibatkan oleh banyaknya penggunaan kendaraan bermotor dan industri. 

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dan dunia saat ini lebih menitikberatkan pada sektor industri serta guna menunjang aktivitas dan mobilitas saat ini dibutuhkan kendaraan bermotor dan pengerasan jalan demi kelancaran dan kenyamanan. Namun, apakah kemudian hal tersebut dapat dijadikan sebagai suatu pembenar atas terjadinya polusi (pencemaran) udara dan air. 

Demikian halya yang terjadi di Kota Solo, dimana tumpuan pertumbuhan ekonomi-nya melalui sektor perdagangan dan jasa. Ini membawa konsekuensi logis bahwa mau tidak mau akan sangat banyak kendaraan bermotor berlalu-lalang dan jalan-jalan mulai dikeraskan dengan aspal maupun beton sehingga open space (ruang terbuka) mulai berkurang. Dengan banyaknya kendaraan bermotor yang berkepentingan di Solo maka berakibat pada peningkatan tingkat pencemaran udara dikarenakan tingginya kandungan kadar CO (karbon monoksida) dalam udara. Kadar CO yang terdapat dalam udara apabila ikut terhirup pada saat kita bernafas maka akan menjadikan kita terserang penyakit. Open space yang ada di Solo semakain sempit seiring dengan pengerasan (pengaspalan dan pembetonan) jalan agar jalan menjadi halus dan tidak becek sehingga tercipta kenyamanan dalam berkendaraan. Akan tetapi, dengan semakin sempitnya open space akan berakibat pada tingkat kesulitan masuknya air kedalam tanah sehingga berdampak terjadinya banjir ketika musim hujan tiba. Dampak lain yang terjadi adalah terbuangnya air ke sungai Bengawan Solo sebab tidak mampu terserap oleh tanah, sehingga debit air yang ada di Solo menurun. Apabila air hujan dapat terserap masuk ke dalam tanah maka debit air tanah yang ada di Solo akan meningkat dimana pada saat musim kemarau tiba Solo tidak akan kekurangan air.

Bahwa air dan udara adalah kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat digantikan dengan apapun maka apa yang terjadi di Solo saat ini, yakni tingginya tingkat pencemaran udara serta rendahnya debit air yang dimiliki dan juga ancaman bahaya banjir yang senantiasa menghantui, adalah sesuatu yang harus segera ditangani dan diselesaikan. Partisipasi dan kesadaran setiap elemen dan individu masyarakat serta adanya political will dari Pemerintah Kota (Pemkot) Solo sangat diperlukan guna mengatasi masalah tersebut. Tanpa adanya kerjasama yang baik antara masyarakat dan Pemerintah Kota Solo maka permasalahan pencemaran udara dan air tidak dapat diselesaikan dengan baik. 

Sebenarnya, ada beberapa pilihan kebijakan yang dapat diterapkan oleh Pemkot, diantaranya adalah pembatasan pengerasan jalan, pembatasan penggunaan kendaraan bermotor, serta pembuatan hutan kota sebagai paru-paru kota dan daerah resapan air. Dari pilihan kebijakan tersebut yang dapat dilaksanakan dengan mudah dan effisien serta tidak menimbulkan gejolak di masyarakat adalah kebijakan pembuatan hutan kota. Ketika kebijakan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor maupun pengerasan jalan yang dipilih, sulit untuk diterapkan dikarenakan Solo saat ini mengandalkan sektor perdagangan dan jasa sebagai tumpuan ekonomi-nya dimana kenyamanan dalam mobilitas sangat diperlukan, disamping itu akan dimungkinkan terjadinya gejolak protes dari masyarakat. Sehingga pilihan kebijakan ini akan sangat tidak populis. Sedangkan kebijakan pembuatan hutan kota sebagai paru-paru kota dan daerah resapan air relatif mudah dilaksanakan. Dan juga, dengan kebijakan ini konservasi udara dan air dapat terjadi sekaligus.

Pembuatan hutan kota disamping bertujuan untuk konservasi udara juga untuk konservasi air serta dapat digunakan untuk pariwisata. Fungsi dan tujuannya adalah terciptanya suasana sejuk dan teduh karena terjadi peningkatan kadar O2 (oksigen) yang dihasilkan dari proses fotosintesa tumbuhan, juga sebagai open space yang dapat menyerap air sehingga air hujan yang turun tidak mubazir terbuang ke sungai Bengawan Solo maupun mengakibatkan banjir.

Ada beberapa alternatif lokasi yang dapat digunakan sebagai hutan kota yaitu Balekambang, Taman Satwa Taru Jurug, kawasan kampus UNS Kentingan, kawasan Mojosongo. Di tempat-tempat tersebut dapat dilakukan penghijauan dengan penanaman tanaman keras (tanaman tahunan), yang diharapkan keberadaan tanaman keras dapat banyak menyerap air sehingga debit air meningkat maka akan tercipta tandon air tanah dan juga dapat mengurangi tingkat polusi udara karena adanya peningkatan kadar oksigen di udara. Ketika kesejukan udara dapat tercipta dan air bersih cukup tersedia maka secara otomatis akan membuat orang semakin betah tinggal di Solo untuk melakukan aktivitas bisnisnya sehingga pertumbuhan ekonomi Solo dapat terus meningkat. Dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi maka meningkat pula kesejahteraan masyarakat.

Pengelolaan hutan kota tidak hanya diserahkan kepada salah satu instansi di Kota Solo, akan tetapi ada keterkaitan dan tanggung jawab bersama antara Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) menyangkut kebersihan dan pemeliharaan, Dinas Pariwisata (apabila difungsikan sebagai kawasan pariwisata), Dinas Pertanian terkait dengan pemeliharaan dan Perum Perhutani menyangkut pengelolaan hasil hutan tersebut yang berupa kayu, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) dan KNPI, keduanya berperan dalam melakukan sosialisasi pada masyarakat serta PDAM menyangkut pengelolaan dan pemanfaatan air tanah sebagai sumber air bersih di Solo. Pembagian peran yang jelas namun saling terkait antar instansi ini diharapkan hutan kota dapat terkelola dengan baik. Meskipun pengelolaannya menjadi tanggung jawab instansi-instansi pemerintah, akan tetapi peran masyarakat sangat diperlukan dalam hal menjaga kelestarian hutan tersebut. 

Namun harapan hanya akan tinggal harapan apabila tidak pernah ada niatan (political will) dari Pemkot (dalam hal ini Walikota Solo) serta dukungan dan partisipasi penuh elemen dan individu masyarakat. Maka dari itu, marilah kita ber-empati terhadap konservasi lingkungan di Solo terutama udara dan air. Karena semua itu adalah kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia.

catatan:
Tulisan ini saya buat tahun 2005 saat Kota Solo selesai melakukan Pilkada dan Walikota Baru telah terpilih dan pernah dipublikasikan di HU Solopos. Saya kehilangan arsip tulisan ini dan ternyata ada menyimpannya di blognya. Saya berterima kasih kepada bung Hendrik Bobi Hertanto pemilik Blog geoenviron.blogspot.co.id 

Friday, October 23, 2015

Mengembalikan Khittah Puskesmas

-->
Puskesmas merupakan tulang punggung pelayanan kesehatan masyarakat tingkat pertama.Konsep puskesmas dilahirkan tahun 1968 saat Rapat Kerja Kesehatan Nasional di Jakarta, dalam upaya mengorganisasi sistem pelayanan kesehatan di tanah air, karena pelayanan kesehatan tingkat pertama pada waktu itu dirasakan kurang menguntungkan.

Sejak diperkenalkannya konsep puskesmas tersebut, berbagai hasil kinerja Puskesmas dalam mengawal kesehatan masyarakat telah banyak dicapai diantaranya adalah dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan kematian bayi.
 
Dalam rangka reformasi dan pengotimalisasian kembali peran Puskesmas sebagai wahana menjaga kesehatan masyarakat pada tahun 2014, Kementerian kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Terbitnya peraturan ini telah menggantikan Kepmenkes Nomor 128/MENKES/SK/II/2004.T erbitnya Permenkes tersebut banyak mengatur tentang organisasi, manajemen dan struktur puskesmas.
 
Hanya saja pada bagian pemberdayaan masyarakat secara dalam Permenkes tidak spesifik diatur. Permenkes menekankan enam prinsip penyelenggaraan puskesmas melalui prinsip paradigma sehat, puskesmas diharuskanmendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkomitmen dalam upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Sementara pemberdayaan masyarakat secara spesifik dalam Kemenkes diatur kolaborasi antar stakeholder melalui pembentukan Badan Penyantun Puskesmas (BPP) agar pemberdayaan masyarakat terkordinir guna mendukung pembangunan di bidang kesehatan.

Kolaborasi antar stakeholders inilah yang pada dasarnya menjadi kekuatan Puskesmas dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, karena pada dasarnya Puskesmas memiliki peran promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif (Rokhmad Munawir, 2014)

Namun pada saat sekarang ini peran kuratif dan rehabilitatif memiliki porsi yang lebih besar dari pada preventif dan promotif. Hal ini ditambah dengan kebijakan Kementerian Kesehatan yang menyatakan bahwa Puskesmas harus dapat melayani 155 jenis penyakit, dengan harapan tidak terjadi penumpukan pasien di rumah sakit. 

Peran kuratif dan rehabilitatif telah menjauhkan Puskesmas dari “khitah” awal untuk menjadi penjaga kesehatan masyarakat. Untuk itulah guna mengembalikan khitah tersebut, peran masyarakat dan stakeholders terkait menjadi sangat penting. Puskesmas jelas tidak dapat berdiri dan melakukannya sendiri agar menjadikan upaya promosi kesehatan lebih efektif. Peran serta antarpihak dalam mendorong optimalisasi pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat menjadi sangat penting. Peran multi pihak diharapkan dapat meminimalisir persoalan kesehatan yang terjadi ditengah masyarakat  berbagai aspek sehingga dapat mewujudkan wilayah yang bersih, nyaman, aman dan sehat untuk dihuni oleh warganya.

Melalui Kepmenkes Nomor 1114/Menkes/SK/VII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah yang kemudian dijabarkan melalui Kepmenkes Nomor 585/Menkes/SK/V/2007 tentang Pedoman Promosi Kesehatan Di Puskesmas. Puskesmas mempunyai kewajiban melakukan promosi kesehatan dalam upaya mendorong pemberdayaan dan meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat agar masyarakat dapat menolong dirinya sendiri serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat. Artinya, kehadiran puskesmas berfungsi tidak saja sebagai pusat kesehatan bagi masyarakat namun berfungsi sebagai pusat komunikasi masyarakat. 

Dalam upaya memaksimalkan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan khususnya di puskesmas Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Dan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2005 dan Nomor 1138/MENKES/PB/VIII/2005 tentang Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat. Peraturan bersama tersebut guna mendukung terwujudnya kualitas lingkungan fisik, sosial, perubahan perilaku masyarakat melalui peran aktif masyarakat dan swasta serta pemerintah dan pemerintah daerah secara terarah, terkoordinasi, terpadu dan berkesinambungan.

Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat dilakukan melalui berbagai kegiatan dengan memberdayakan forum-forum masyarakat ditingkat kelurahan/desa dan kecamatan yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, dan peran Puskesmas menjadi aktor utama dalam forum kota sehat menjadi sangat penting dan strategis. Sebab secara substansi kesehatan dan merupakan domain utama. 

Dalam sebuah penelitian singkat yang dilakukan oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) pada tahun 2014/2015 di Kota Surakarta, Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Semarang dan Kota Semarang serta penelitian yang dilakukan oleh Frontier for Health (F2H) Bandung di kabupaten Sumedang dan Kabupaten Cirebon, bahwa dalam rangka menjalankan promosi kesehatan, Puskesmas memiliki irisan dengan instansi lain diantaranya adalah Dinas Pendidikan, Bapermas dan BKKBN. 

Disamping itu peran masyarakat seperti kader kesehatan dan posyandu menjadi sangat vital. Selain itu, dana promosi kesehatan hanya 10% jika dibandingkan dengan dana kuratif yang disediakan oleh Pemerintah Daerah melalui Puskesmas. Tenaga promosi kesehatan pada Puskesmas rata-rata juga hanya diampu oleh seorang tenaga promkes. 

Jika melihat hal ini, guna mengembalikan paradigma bahwa mandat Puskesmas adalah untuk menjaga kesehatan maka perlu dilakukan reformasi oleh semua pihak yakni peningkatan alokasi anggaran menjadi penting, penyediaan tenaga promkes dan keberfungsian forum kolaborasi multi pihak harus dilakukan. [*]

Gambar dari internet (datariau.com)

Monday, December 5, 2011

Kisah Klasik Raskin


Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di tengahtengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Berbagai teori, konsep dan pendekatan pun terus menerus dikembangkan untuk mengatasi masalah kemiskinan ini. Karena kini gejala kemiskinan semakin meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia. Krisis telah membawa Indonesia pada peningkatan angka kemiskinan. Dalam rangka pengurangan kemiskinan, terutama sebagai efek dari gejolak krisis moneter maka pemerintah menggulirkan berbagai kebijakan. Diantaranya adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kredit Usaha Rakyat, Jamkesmas, Program Keluarga Harapan, Dana BOS serta Raskin (Beras untuk Masyarakat Miskin).

Khusus untuk Raskin, kita sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. Program pemerintah ini mulai digulirkan sejak tahun 1998 dengan nama Operasi Pasar Khusus (OPK) dan berganti nama menjadi Raskin sejak tahun 2002,  sebagai bagian dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Program ini digulirkan bertujuan untuk memperkuat ketahanan rumah tangga miskin. Dan dimaksudkan guna menanggulangi kemiskinan. Sebab secara filosofis, ketika kebutuhan akan pangan sudah terpenuhi maka masyarakat dapat mengalihkan pengeluarannya pada kebutuhan selain bahan pangan.

Akan tetapi setelah 13 tahun program ini berjalan ternyata masih saja selalu menyisakan persoalan-persoalan yang selalu sama dari sejak awal bergulir hingga saat ini. Bagaikan kisah klasik yang selalu berulang dan seolah tanpa ujung penyelesaian. Kendala dan permasalahan masih saja berulang di tahun-tahun berikutnya. Dan apakah program raskin berkontribusi pada penanggulangan kemiskinan?
Beberapa kendala dalam pelaksanaan program raskin yang selama ini terjadi berpangkal pada permasalahan data. Data yang disediakan BPS hampir selalu berbeda dengan data “versi” masyarakat. Perbedaan data inilah yang pada akhirnya akan berdampak pada ketidaktepatan sasaran, tidak tepat jumlah serta tidak tepat harga di masyarakat penerima manfaat.

Data yang keluarkan BPS belum mencakup warga miskin di daerah tersebut.  Masih banyak warga yang seharusnya layak menerima raskin tidak terdata. Hal ini berdampak pada jumlah yang seharusnya diterima oleh masyarakat menjadi berkurang karena harus berbagi dengan mereka yang tidak terdata. Maka muncullah fenomena “warga miskin ikhlas berbagi”. Jika kita melihatnya secara hukum positif maka jelas hal ini melanggar aturan sebab tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang telah ditetapkan. Akan tetapi jika dilihat dari kacamata sosiologis maka hal tersebut ‘terpaksa’ harus dilakukan demi untuk meredam gejolak sosial.

Fenomena ini ternyata berdampak juga pada ketidaktepatan harga. Harga tebus raskin cenderung mengalami peningkatan antara 10-25 persen dari pagu yang ditetapkan (Rp. 1.600/kg) sebab masyarakat penerima masih harus dibebani dengan ongkos pengepakan ulang setelah beras dibagi.
Disamping itu naiknya harga tebus raskin juga disebabkan oleh ongkos angkutan yang harus ditanggung oleh penerima raskin. Dalam Pedoman Umum Raskin yang dikeluarkan oleh Kementrian Koordinator Kesejahteraan Sosial (Menko Kesra) disebutkan bahwa Perum Bulog hanya menanggung biaya operasional dari gudang Bulog sampai ke Titik Distribusi (Kelurahan/desa). Selanjutnya dari Titik Distribusi sampai ke penerima raskin menjadi beban Pemerintah Kabupaten/Kota. Namun hampir semua Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia tidak menyediakan biaya operasional ini, sehingga biaya ini ditanggung penerima Raskin.

Permasalahan lain yang selalu menjadi kisah klasik adalah tentang kualitas raskin. Selalu menjadi cerita dan berita dimana-mana bahwa kualitas raskin tidak layak dikonsumsi. Hal ini kemudian menjadikan mereka para penerima raskin harus mencampurnya dengan beras yang berkualitas bagus. Atau menukar raskin tersebut dengan beras yang layak dikonsumsi. Hal tersebut jika dilihat dari tujuan awal program raskin adalah mengurangi pengeluaran tidak tercapai sebab justru pengeluaran masyarakat menjadi meningkat kerena harus membeli beras lagi untuk campuran atau untuk tambahan konsumsi.

Pertanyaan selanjutnya muncul, kemanakah beras raskin yang dijual tersebut? Beras-beras tersebut ada yang dijual kepada para pengusaha karak maupun pada peternak untuk campuran ransum ternak. Serta ditengarai di beberapa daerah bahwa beras-beras tersebut dibeli lagi oleh Bulog yang kemudian dilaporkan sebagai pembelian dari petani. Dan kemudian didistribusikan sebagai raskin pada saat berikutnya. Sungguh ironis.

Gambar sini