Showing posts with label Kebijakan Publik. Show all posts
Showing posts with label Kebijakan Publik. Show all posts

Saturday, November 29, 2025

Peran Kritis Partisipasi Masyarakat dalam Reformasi Birokrasi

Tulisan ini disusun sebagai bahan pemantik yang saya sampaikan dalam Forum Diskusi Nasional Reformasi Birokrasi, yang diselanggarakan oleh Kementerian PAN/RB pada 18 November 2025 di Jakarta.


Pengantar

Partisipasi masyarakat bukan sekadar elemen pelengkap, melainkan kekuatan warga (citizen power) yang esensial untuk mencapai Reformasi Birokrasi (RB) yang autentik dan berdampak. Mengacu pada Tangga Partisipasi Warga (Arnstein's Ladder), partisipasi yang sebenarnya harus mensyaratkan redistribusi kekuasaan—baik dalam bentuk dana maupun wewenang pengambilan keputusan—bukan hanya sekadar formalitas (seperti Manipulation, Therapy, atau Informing). 

Partisipasi tanpa redistribusi kekuasaan adalah proses yang hampa dan membuat frustrasi bagi warga yang rentan yang tidak berdaya. Adalah sarana yang dapat warga gunakan untuk mendorong reformasi sosial yang signifikan yang memungkinkan mereka turut serta dalam mendapatkan manfaat.

Tangga Partisipasi Warga (Arnstein's Ladder) yang dikembangkan oleh Sherry Arnstein pada tahun 1969, yang membagi partisipasi menjadi delapan tingkatan berdasarkan derajat kekuasaan yang dimiliki warga. Tangga ini memisahkan partisipasi yang otentik (memberi kekuasaan) dari partisipasi palsu (tokenistik atau nonparticipation).

Pilar Partisipasi dalam Reformasi Birokrasi

Keterlibatan publik menjadi penting karena memengaruhi tiga pilar utama reformasi birokrasi;

  1. Menentukan Arah dan Kebutuhan Riil. Masyarakat adalah pengguna akhir layananPartisipasi memastikan bahwa RB tidak salah sasaran, melainkan menciptakan layanan yang sesuai dengan kebutuhan riil melalui pendekatan seperti Co-creation dan Co-design.
  2. Peningkatan Akuntabilitas dan Pengawasan: Keterlibatan masyarakat bertindak sebagai pengawas eksternal yang efektifTransparansi yang didorong oleh partisipasi publik sangat krusial dalam mencegah korupsi dan maladministrasi
  3. Menguatkan Legitimasi dan Keberlanjutan: Layanan yang dirancang dan dikembangkan bersama masyarakat (Co-creation) lebih mudah diterima dan digunakan, sehingga memastikan bahwa hasil reformasi bertahan lama dan tidak hanya menjadi proyek sesaat
Birokrasi yang Humanis dan Model Kemitraan: Co-creation
Konsep Co-creation menempatkan birokrasi dan masyarakat sebagai mitra setara dalam mendefinisikan masalah dan merumuskan solusi, melampaui konsultasi biasa. Kemitraan ini terwujud dalam berbagai aspek:
  1. Co-design: Warga terlibat aktif dalam workshop dan simulasi untuk menciptakan ide atau merombak layanan
  2. Co-delivery: Warga berpartisipasi dalam penyediaan layanan, bertindak sebagai "ahli pengalaman" yang memberikan wawasan unik mengenai implementasi di lapangan
  3. Co-assessment: Masyarakat diikutsertakan dalam pengawasan dan evaluasi kinerja layanan
Rekomendasi Kunci
Untuk mewujudkan partisipasi yang kuat, perlu didukung oleh Political Will yang menjadikan partisipasi digital sebagai bagian integral dari tata kelola. Selain itu, transparansi harus didorong melalui Open Data (anggaran, kinerja layanan) yang mudah diakses dan diolah , serta platform pengaduan digital yang menciptakan jejak audit (audit trail) yang tidak dapat dihapus, mempersulit birokrat untuk menutupi kesalahan. Terakhir, perlindungan data pribadi menjadi penting agar masyarakat merasa aman saat berpartisipasi.

Monday, November 10, 2025

Pelayanan Publik Inklusif dan Responsif Gender

Target perubahan ini berfokus pada ketahanan masyarakat dalam menghadapi ancaman global yang semakin mendesak. Terdapat tiga elemen utama yang saling terkait:

  1. Ketangguhan (Resilience): Ini adalah kemampuan komunitas untuk pulih dari dampak krisis dan bencana, serta beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Ketangguhan tidak hanya berarti kembali ke kondisi semula, tetapi juga menjadi lebih kuat dan lebih siap menghadapi krisis di masa depan.

  2. Keamanan dan Keselamatan: Ini adalah kondisi di mana individu dan komunitas terlindungi dari ancaman fisik, psikologis, dan ekonomi akibat krisis iklim dan bencana. Ini mencakup akses terhadap sistem peringatan dini, shelter yang aman, dan jaminan pasokan dasar.

  3. Komunitas Rentan dan Terdampak: Ini adalah kelompok sasaran utama, yaitu mereka yang paling merasakan dampak krisis, seperti masyarakat miskin, perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat. Mereka sering kali memiliki sumber daya dan kapasitas yang paling sedikit untuk menghadapi bencana, sehingga membutuhkan perhatian khusus.

Argumentasi Relevan

1. Argumentasi Keadilan Iklim dan Hak Asasi Manusia

Dampak krisis iklim dan bencana tidak dirasakan secara merata. Komunitas rentan dan terpinggirkan sering kali menjadi korban pertama dan paling parah, meskipun mereka paling sedikit berkontribusi terhadap krisis iklim. Target ini sejalan dengan prinsip keadilan iklim, yaitu memastikan bahwa beban adaptasi dan mitigasi tidak jatuh pada mereka yang paling tidak mampu menanggungnya. Dengan fokus pada komunitas rentan, target ini menegaskan bahwa hak atas lingkungan yang aman dan hak untuk hidup harus dijamin bagi semua orang, tanpa terkecuali.

2. Argumentasi Efektivitas dan Efisiensi Pembangunan

Investasi dalam ketangguhan komunitas adalah strategi yang lebih efisien dan berkelanjutan dibandingkan hanya melakukan respons pasca-bencana. Ketika sebuah komunitas tangguh, kerugian ekonomi dan korban jiwa akibat bencana dapat diminimalkan. Biaya untuk membangun kembali infrastruktur, menyediakan bantuan kemanusiaan, dan memulihkan kehidupan pasca-bencana jauh lebih tinggi daripada biaya untuk membangun sistem peringatan dini, mengedukasi masyarakat, atau membangun infrastruktur yang tahan bencana. Dengan demikian, penguatan ketangguhan komunitas adalah investasi preventif yang sangat strategis.

3. Argumentasi Stabilitas dan Keamanan Nasional

Krisis iklim dan bencana dapat memicu ketidakstabilan sosial, migrasi paksa, dan bahkan konflik perebutan sumber daya. Ketika komunitas tidak memiliki ketangguhan yang memadai, mereka lebih rentan terhadap disintegrasi sosial dan kepanikan massal. Dengan menguatkan ketangguhan, keamanan, dan keselamatan komunitas, kita tidak hanya melindungi individu, tetapi juga membangun fondasi stabilitas dan kohesi sosial yang kuat. Hal ini pada akhirnya akan berkontribusi pada keamanan nasional yang lebih baik.

Friday, September 26, 2025

Penerapan Sistem Kerja pada Pemerintah Daerah: Catatan Kritis Permenpan 7/2022


Catatan Kritis Penerapan Sistem Kerja pada Pemerintah Daerah: Mewujudkan Birokrasi Lincah dan Berorientasi Hasil

Oleh: Rokhmad Munawir, Head of Programme YAPPIKA (2025)

Pendahuluan

Penerapan Sistem Kerja pada Instansi Pemerintah, sebagaimana diatur dalam PermenPANRB Nomor 7 Tahun 2022, merupakan langkah strategis pasca-penyederhanaan struktur organisasi dan penyetaraan jabatan di lingkungan birokrasi. Tujuan utama dari penyesuaian ini adalah mewujudkan organisasi yang lebih sederhana, lincah (agile), dan profesional. Harapan yang diemban masyarakat dari perubahan ini adalah peningkatan kualitas dan kecepatan layanan publik, birokrasi yang lebih ramping dan kolaboratif, serta perumusan kebijakan daerah yang lebih berkualitas dan relevan karena mampu menyerap berbagai keahlian secara optimal.

Namun, transisi menuju sistem kerja berbasis Jabatan Fungsional (JF) dan tim kerja kolaboratif ini tidak luput dari tantangan, yang berpotensi menimbulkan dampak negatif yang perlu dicermati, baik bagi masyarakat penerima layanan maupun bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) itu sendiri.

Dampak Penerapan Sistem Kerja terhadap Masyarakat

Secara umum, sistem kerja yang baru menawarkan dampak positif yang signifikan, terutama dari aspek Kualitas Layanan Publik dan Kecepatan dalam Layanan Publik.

Dampak Positif (Potensi Perbaikan Layanan)

  • Pemanfaatan Teknologi: Pemanfaatan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) dan Mal Pelayanan Publik didorong, seiring dengan optimalnya JF dalam tim lintas fungsi.

  • Pengambilan Keputusan Cepat: Penghilangan hambatan hirarki struktural yang panjang memungkinkan pengambilan keputusan menjadi lebih cepat di tingkat Pejabat Penilai Kinerja (PPK) atau Pejabat Level I/II. Hal ini berarti produk kebijakan atau layanan teknis yang dihasilkan berpotensi lebih akurat dan handal bagi masyarakat

  • Fleksibilitas Organisasi: Birokrasi menjadi lebih lincah (agile). Penugasan JF lintas unit (sesuai Pasal 10 Permen) memungkinkan Instansi Daerah menangani isu-isu prioritas daerah, seperti pembentukan Tim Percepatan Investasi atau Tim Penanganan Stunting, tanpa perlu mengubah struktur organisasi formal.

Dampak Negatif (Kesenjangan dan Inkonsistensi)

Meskipun demikian, terdapat beberapa risiko dan tantangan yang berpotensi memengaruhi masyarakat:

  • Akses Digital yang Tidak Merata: Ketergantungan pada sistem digital yang tidak merata berpotensi mengeksklusi kelompok rentan (seperti lansia atau masyarakat tanpa akses internet stabil) karena mengabaikan layanan manual yang memadai.

  • Kualitas Pengawasan Lapangan Menurun: Di beberapa daerah, bisa terjadi kekosongan fungsi pengawasan di tingkat operasional (Eselon IV dihilangkan), dan peran pengawasan harian belum sepenuhnya diinternalisasi oleh JF. Ini menyebabkan keluhan teknis tidak terselesaikan dengan baik

  • Inkonsistensi Layanan: Inkonsistensi kualitas dan persyaratan layanan dapat terjadi jika Tim Kerja menafsirkan prosedur secara berbeda karena SOP belum terintegrasi atau tim belum terlatih

  • Partisipasi Publik Formalitas: Mekanisme kerja yang kolaboratif dapat meningkatkan kualitas produk hukum. Namun, Pejabat Daerah berisiko memandang masukan masyarakat sebagai tidak relevan, yang dapat mengakibatkan intensitas dialog dengan publik berkurang dan partisipasi menjadi sekadar formalitas.

  • Fokus Karir Mengurangi Pelayanan: Fokus berlebihan ASN pada pengumpulan Angka Kredit atau pengisian Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) demi jenjang karir dapat mengurangi fokus pelayanan masyarakat

Tantangan Internal Birokrasi dan Dampaknya terhadap ASN

Sistem kerja baru ini juga membawa tantangan signifikan di tingkat internal birokrasi dan bagi karir ASN, khususnya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Kultur Kinerja dan Pengelolaan Kinerja

Penerapan sistem kerja yang berfokus pada Pengelolaan Kinerja yang berorientasi hasil, bukan lagi pada kegiatan rutin, mendorong JF untuk berpikir strategis. Namun, penerapan e-Kinerja secara kaku berpotensi mengabaikan kualitas interaksi dengan masyarakat, dan ASN dikhawatirkan hanya fokus mengumpulkan data atau umpan balik positif, mengabaikan kritik substantif

Tantangan internal juga mencakup perlunya kesamaan persepsi dan penyesuaian budaya kerja. Pengambilan keputusan dapat menjadi lambat karena beban kerja Pejabat Level I/II bertambah, yang berdampak pada proses pengesahan program, anggaran, atau regulasi.

Dampak terhadap PPPK

PermenPANRB No. 7 Tahun 2022 menjadikan peran PPPK strategis sebagai JF dan eksekutor utama program-program teknis pemerintah (Pasal 13). PPPK dapat mengembangkan kompetensi dan keahlian mereka tanpa terganggu tugas-tugas non-core.

Namun, beberapa isu kritis muncul:

  1. Ketidakjelasan Penugasan: Pada tahap transisi, banyak PPPK menghadapi ketidakjelasan penugasan, dan penempatan mereka dalam Tim Kerja terkadang tidak didasarkan pada kompetensi murni, melainkan karena kekurangan personel pasca-penyederhanaan

  2. Kompleksitas E-Kinerja: PPPK, yang sebagian besar adalah tenaga teknis lapangan (Guru, Nakes, Penyuluh), menghadapi kesulitan dalam menerjemahkan pekerjaan harian mereka menjadi Rencana Hasil Kerja (RHK) yang terukur dan berdampak. Hal ini menimbulkan kecemasan karir karena kinerja yang tidak terukur dapat memengaruhi perpanjangan kontrak

  3. Disparitas Tugas (PNS vs. PPPK): Meskipun Permen mendorong penugasan berdasarkan kompetensi, di beberapa Instansi Daerah, terdapat kecenderungan untuk memberikan penugasan yang lebih penting atau strategis kepada PNS yang telah disetarakan menjadi JF dibandingkan kepada PPPK, meskipun keduanya memiliki jenjang dan kompetensi yang sama.

Isu Disparitas Antar Daerah

Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada komitmen Kepala Daerah dan kapasitas SDM lokal. Daerah yang sudah maju dalam implementasi SPBE (seperti Kota Surabaya atau Kota Yogyakarta) dapat menerapkan sistem kerja lincah dengan mulus. Sebaliknya, daerah yang masih menghadapi kendala klasik seperti kurangnya dana, SDM terbatas, dan mindset birokrasi patrimonial justru berisiko mengalami kemunduran

Rekomendasi

Untuk mengoptimalkan penerapan Sistem Kerja ini dan memitigasi dampak negatif yang ada, YAPPIKA merekomendasikan tiga langkah utama:

  1. Mengukur Dampak SPBE Secara Riil: Pemerintah perlu melakukan pemetaan antara kecepatan dan kualitas layanan publik daerah dengan tingkat adopsi dan integrasi SPBE untuk memverifikasi efektivitas sistem kerja karena digitalisasi

  2. Melibatkan Stakeholder dalam Evaluasi Kinerja: Melibatkan organisasi masyarakat sipil, akademisi, media, dan komunitas warga dalam evaluasi kinerja JF di daerah (sebagaimana diamanatkan Permen) untuk menilai dampak kinerja mereka terhadap outcome publik, seperti tingkat kepuasan layanan publik dan kecepatan penanganan pengaduan.

  3. Menyusun Peta Jalan Budaya Kerja: Kementerian PANRB perlu membuat panduan yang fokus pada cara membangun kultur kolaboratif dan orientasi hasil di tingkat daerah pasca-penyetaraan, melengkapi panduan teknis yang sudah ada.

Penutup

Sistem kerja yang baru memiliki potensi besar untuk mentransformasi birokrasi daerah menjadi lebih responsif dan berorientasi pada hasil. Namun, pemerintah daerah harus memastikan bahwa perubahan ini tidak hanya berhenti pada formalitas struktural, tetapi juga disertai dengan peningkatan kapasitas SDM, pemerataan akses digital, serta komitmen untuk menjaga kualitas pengawasan dan partisipasi publik yang bermakna.

Monday, October 10, 2016

Kewenangan Desa dalam Adaptasi Perubahan Iklim

Sebagian besar daerah di Indonesia rentan terhadap perubahan iklim, baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia seperti penebangan hutan, penggunaan alat-alat yang menghasilkan karbon tinggi. 

Ataupun gejala alam seperti erupsi gunung berapi maupun el nino dan el nina di lautan, radiasi sinar matahari, maupun tekanan tektonik dari dalam bumi dan proses biologis.
Hal ini disebabkan daerah di Indonesia memiliki topografi pegunungan dan dikelilingi gunung api serta lautan yang luas sehingga menjadi wilayah yang memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim. 

Salah satu wilayah yang memiliki kerentanan tinggi adalah Jawa Timur. Kabupaten atau kota di Jawa Timur memiliki tingkat kerentanan tinggi akibat perubahan cuaca, curah hujan, maupun aktivitas tektonik dan vulkanik. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Timur tahun 2015 menyebut bahwa ada 22 kabupaten atau kota di Jawa Timur yang rentan terhadap perubahan iklim sehingga rawan bencana terutama longsor, kekeringan dan banjir.

Kawasan Malang Raya (Batu, Kota Malang dan Kabupaten Malang) merupakan wilayah dengan kerentanan tinggi. Dalam data yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengenai Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim (KRAPI) tahun 2012, kawasan Malang Raya memiliki iklim Monsun (musim dingin yang kering dan musim panas/ kemarau yang basah).

Situasi ini ditengarai disebabkan oleh kenaikan suhu sebesar 0,690 C sepanjang 25 tahun terakhir, dan di sisi lain juga mengalami curah hujan ekstrem yang rata-rata meningkat 5% hingga 2030 dibandingkan kondisi saat ini.

Sebagai wilayah dengan kerentanan tinggi terkena perubahan iklim, pemerintah daerah telah menempatkan masalah lingkungan hidup ini menjadi isu strategis dalam proses pembangunan daerah. Berbagai upaya telah dilakukan, baik melatih masyarakat untuk tanggap bencana; memperkuat dan memperbanyak desa tangguh bencana; maupun melakukan mitigasi pengurangan risiko.
Reboisasi sabuk hijau bantaran sungai dan upaya pencegahan penebangan hutan secara serampangan serta  pembuatan biopori pada kawasan terbuka hijau di perkotaan juga sudah dilakukan. 

Berbagai upaya ini tidak akan berhasil jika hanya dilakukan secara sepihak oleh pemda saja tanpa melibatkan masyarakat sipil, sektor swasta dan tentu saja desa. Paradigma urusan lingkungan hidup adalah urusan pemda harus diubah menjadi urusan yang dibagi atau kewenangannya diberikan juga kepada pemerintahan desa yang kini memiliki kewenangan yang dijamin dalam Undang-undang Desa yakni kewenangan lokal berskala desa, kewenangan berdasarkan hak asal usul serta kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.

Isu lingkungan hidup, adaptasi perubahan iklim dan kebencanaan ini merupakan bagian dari kewenangan lokal berskala desa. Sebab urusan ini sesuai dengan kepentingan masyarakat desa dan desa mampu menjalankannya dengan baik dan efektif. 

Paradigma desa tidak mampu harus diubah, sebab ini menyesatkan pola pikir dan cara pandang yang pada akhirnya hanya akan menjadikan desa sebagai objek tanpa pernah menjadi subjek. Tugas dan kewajiban pemerintah kabupaten atau kota untuk menguatkan kapasitas desa. Peran lain pemerintah daerah yang tetap harus dilakukan adalah melalui BPBD dalam menyusun kebijakan dalam upaya Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana  dengan menyiapkan kebijakan baik berupa program dan dukungan dana.

Mengapa urusan lingkungan hidup dan adaptasi perubahan iklim ini menjadi penting untuk dilimpahkan ke Desa lebih dikarenakan agar mendekatkan hal ini kepada masyarakat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Masyarakat desa pasti memiliki pengalaman dan cara pandang yang bagus tentang bagaimana menyikapi perubahan iklim ini. Misalnya, masyarakat desa terbukti mampu bertahan dengan melakukan adaptasi dalam mempertahankan agar tanaman mereka tetap bisa panen pada musim pancaroba tahun ini. 

Upaya yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintahan desa tersebut hanya perlu dikuatkan dengan hasil pembacaan secara ilmiah. Sehingga secara teknis masyarakat desa dan pemerintahan desa lebih mampu melakukan upaya adaptasi. Pada sisi lain, pemerintah desa dapat memulai memasukkan beberapa agenda kegiatan dan program ke dalam kebijakan perencanaan pembangunan desa, baik dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) maupun dalam Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKPDesa). 

Perlu diingat bahwa salah satu faktor kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim adalah sensitivitas dalam beradaptasi atau menyikapi perubahan tersebut agar mampu bertahan hidup. Sehingga perlu upaya yang massif dari para pihak dalam menangani hal ini.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di MalangTimes.Com

Tuesday, December 18, 2012

Angkernya Pelayanan Publik


Setiap warga negara selalu memerlukan beragam pelayanan (barang dan jasa) baik yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta. Produk layanan yang disediakan pemerintah (public goods) diantaranya adalah pelayanan atas keamanan, pelayanan identitas diri seperti KTP, SIM maupun akta tanah, pelayanan listrik, pelayanan pendidikan maupun kesehatan. Meskipun untuk yang dua hal terakhir (pelayanan pendidikan dan kesehatan), pihak swasta juga menyediakannya. Masyarakat berhak memilihnya, sebab penyediaan layanan pendidikan maupun kesehatan tergolong pada substitute public goods (penyediaan pelayanan atas barang dan/atau jasa yang dilakukan lembaga pemerintah dan juga lembaga swasta).

Dengan merujuk uraian di atas, maka pelayanan publik dapat didefinisikan sebagai sebuah bentuk pelayanan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar warga negara yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik pada tingkat pusat maupun daerah serta oleh BUMN maupun BUMD. Disamping itu, pelayanan publik bersifat ekonomis, artinya biaya yang dibebankan harus terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat.

Akan tetapi, hingga saat ini banyak kalangan menilai dan menyatakan bahwa pelayanan publik kita masih saja angker terhadap masyarakat, sebab seringkali membuat frustasi dan kecewa dikarenakan selalu saja dibayang-bayangi dengan realita penyediaan layanan yang cenderung tidak transparan, mahal (banyaknya pungli) maupun kualitas/mutu rendah serta petugas pelayanan yang dianggap kurang ramah dalam melayani, dan masih banyak lagi hal-hal yang merujuk pada kurang akuntabelnya pelayanan publik kita.

Sistem dan perilaku birokrasi pelayanan publik lebih pada mencerminkan model organisasi yang tidak efisien dan tidak efektif, minim akuntabilitas, tidak transparan serta tidak berorientasi kepada masyarakat sebagai konsumen yang dilayaninya adalah hal-hal yang acapkali menjadikan pelayanan publik kita jauh dari berkualitas dan akuntabel.

Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Tiga tahun sudah UU Pelayanan Publik diundangkan, namun masih belum dapat menjadikan pelayanan publik kita sesuai dengan harapan. Masih banyak warga masyarakat yang mengeluhkan praktik-praktik penyelenggaraan pelayanan publik yang belum berkualitas. Padahal dengan disahkannya Undang-undang Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik ini merupakan harapan baru guna mendobrak sistem dan perilaku birokrasi pelayanan publik kita menjadi lebih berkualitas dan akuntabel. Sebab, selain membuka keterlibatan masyarakat dalam pengawasan maupun penyusunan standar pelayanan, Undang-undang ini juga mengatur mengenai kewajiban penyelenggara layanan dan bahkan mengenai sanksi bagi penyelenggara layanan juga diatur.

Pengakuan atas hak-hak masyarakat untuk dapat berperan aktif dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah menjadi entry point perbaikan pelayanan publik kita. Pasal 18 dan 39 UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik secara tegas menyatakan mengenai hak dan kewajiban serta hal tersebut.

Akan tetapi, masih minimnya sosialisasi menjadikan masyarakat belum banyak yang memahami bahwa hak mereka telah dijamin oleh undang-undang. Sehingga masyarakat masih belum banyak yang mau melibatkan diri dalam pengawasan dan mengadvokasi dirinya dengan bersama-sama penyedia layanan membuat sebuah standar pelayanan yang partisipatif. Hal ini setidaknya tercermin dari penelitian yang dilakukan oleh PATTIRO Surakarta pada pertengahan tahun 2012 ini, dimana 85% responden masyarakat Surakarta menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui keberadaan UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik maupun mengenai hak-haknya dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang diatur dalam undang-undang tersebut.

Dengan ketidaktahuannya tersebut maka masyarakat tidak dapat berperan aktif dalam mengawasi penyelengaraan pelayanan publik. Di sisi lain, masyarakat juga masih enggan untuk memberikan kritik saran maupun pengaduan ketika mendapatkan pelayanan yang tidak semestinya.

Keengganan masyarakat dalam memberikan kritik saran atau bahkan pengaduan dapat dipahami, sebab sampai saat ini masih sangat banyak unit penyedia layanan yang belum memiliki sistem pengelolaan pengaduan. Pengaduan hanya akan berhenti di dalam kotak saran atau tulisan dalam website tanpa pernah disampaikan sampai sejauhmana pengelolaannya. Dalam membongkar inilah, peran aktif masyarakat dalam penyusunan standar pelayanan menjadi penting, sehingga apa yang menjadi kebutuhan masyarakat selaku pengguna layanan dapat terwadahi serta telah menjadi kesepahaman bersama masyarakat dengan unit penyedia layanan.

Selain itu, dalam UU Pelayanan Publik juga termaktub mengenai sanksi bagi penyelenggara pelayanan publik ketika tidak menyediakan layanan sesuai dengan standar pelayanan yang ada. Dalam pasal 54 sampai dengan pasal 58 menyebutkan hal tersebut secara gamblang, yakni mulai dari ganti rugi, sanksi administratif hingga sanksi pidana.

Artinya, ketika masyarakat merasa tidak puas dan kecewa dengan pelayanan yang diberikan maka dapat melakukan pengaduan. Pengaduan dapat dilakukan kepada atasan petugas pemberi layanan dalam unit pelayanan tersebut maupun atasan dari unit layanan. Juga dapat mengadukan ke Ombudsman selaku lembaga Negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik.

Jika melihat pada perangkat peraturan perundangan yang ada, maka sudah seharusnya perbaikan pelayanan publik bukan lagi sekedar mimpi.
Apalagi di Kota Surakarta saat ini sedang dibahas Raperda Pelayanan Publik yang tentunya akan menjadi pelengkap perangkat hukum yang menangungi penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Surakarta.

Dalam draft Raperda yang dikonsultasi-publikan oleh DPRD pada pertengahan November 2012 ini ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan, terutama mengenai ruang partisipasi dalam pengaduan perlu dipertegas pada mekanisme dan unit khusus yang menangani serta mengelola pengaduan pada setiap unit layanan. Hal ini menjadi penting mengingat bahwa keengganan masyarakat memberikan kritik dan pengaduan karena ketidakpastian mengenai pengaduan mereka.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Joglosemar, 29 November 2012


*) Hak Cipta gambar ada di pattiro surakarta

Monday, June 18, 2012

Apa Itu APBD?

Anggaran adalah pernyataan tentang perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan terjadi dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang serta realisasinya di masa yang lalu. Anggaran diperlukan disemua tingkatan, baik secara sederhananya di keluarga atau lebih luasnya lagi di daerah kabupaten/kota maupun nasional. Dalam lingkup keluarga, sumber penerimaan berasal dari hasil kerja beberapa anggota keluarga yang kemudian dibelanjakan kembali dalam rangka memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga. Inilah yang dinamakan APBK (Anggaran Pendapatan dan Belanja Keluarga).

Di tingkat kabupaten atau kota, anggaran itu berbentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD diperlukan untuk menciptakan keteraturan sosial, menjamin hak-hak masyarakat, dan terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, APBD hendaknya disusun berdasarkan prioritas kebutuhan masyarakat dan mengakomodasi perbedaaan kebutuhan antar kelompok dalam masyarakat.

Proses perencanaan dan penganggaran perlu dilakukan secara transparan dan partisipatif agar masyarakat mengetahui prioritas pembangunan suatu daerah. Dengan demikian diharapkan tata pemerintahan yang baik dan bersih dapat terwujud.

Secara sederhana, sebuah keluarga dapat disamakan dengan sebuah kabupaten/kota. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, keluarga memiliki sumber penerimaanyang berasal dari hasil kerja beberapa anggota keluarga, misalnya bapak, ibu, anak sulung dan seterusnya. Sumber-sumber penerimaan ini dikumpulkan untuk kemudian dibelanjakan kembali dalam merangka memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga, baik yang menyumbang penerimaan keluarga maupun yang tidak. Agar distribusi sumber daya bisa dilakukan secara adil, orangtua sebagai pembuat keputusan tertinggi harus memiliki kepekaan atas kebutuhan yang khas masing- masing anggota keluarga, termasuk bayi yang belum bisa menyuarakan kebutuhannya sendiri.

Sebuah kota/kabupaten adalah sebuah satu keluarga besar yang terdiri dari berbagi kelompok masyarakat dengan berbagi suku, ras, jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaaan. Pemerintah daerah adalah pihak yang mendapat amanat dari rakyat untuk mengelola sumber daya yang dikumpulkan dari rakyat dalam bentuk pembayaran pajak dan retrebusi. Untuk menjalankan amanat itu, pemerintah perlu menyusun suatu rancangan mengenai perkiraan penerimaan dan pengeluaran dalam jangka waktu tertentu, yang disebut APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).

Secara filosofi, anggaran diperlukan untuk menjamin eksistensi negara dan untuk membiayai pengelolaan negara. Sementara itu, negara diperlukan karena tiga alasan, yaitu : (1) Untuk menciptakan keteraturan sosial; (2) Menjamin hak-hak masyarakat; dan (3) Menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Ketiga alasan itu terkait dengan upaya penyelesaian masalah di masyarakat agar masyarakat bisa hidup, aman, adil dan sejahtera.

Di masa lalu penyusunan APBD lebih bersifat rutinitas. Besaran alokasi APBD tahun berikutnya akan naik secara bertahap (incremental) tanpa ada dasar yang jelas dan tanpa melihat berhasil tidaknya program-program yang dilakukan. Inilah yang dinamakan dengan Sistem Anggaran Tradisional. 

Harapan akan adanya perubahan ditandai dengan dikeluarkannya UU no. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Regulasi tentang pengelolaan keuangan daerah dalam UU tersebut diturunkan dalam Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 2000 tentang pengelolaan Keuangan Daerah yang kemudian diturunkan lagi dalam Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran dan Belanja Daerah. 

Dalam aturan-aturan di atas, pemerintah telah memproklamirkan untuk hijrah ke Sistem Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) yang menekankan pada kejelasan tujuan dan hasil dari program atau kegiatan yang dilaksanakan. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Dalam perjalanannya, UU No 22 Tahun 1999 telah direvisi dengan UU No 32 Tahun 2004. revisi tersebut diikuti dengan dikeluarkannya PP No 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (menggantikan PP No 105 tahun 2000), yang dilanjutkan dengan keluarnya Permendagri no 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (menggantikan Kepmendagri no 29 tahun 2002).

Fungsi APBD
Dalam aturan-aturan di atas disebutkan mengenai enam fungsi anggaran, antara lain terdapat dalam pasal 3 ayat (4) UU no 17 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa APBN/APBD mempunyai fungsi : 
  1. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran harus menjadi dasar dalam melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan; 
  2. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan; 
  3. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan pengelenggaran perintah negara maupun daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan; 
  4. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran harus diarahkan untuak mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian; 
  5. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan; 
  6. Fungsi stabilitasi mengandung arti bahwa anggaran menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental dan perekonomian.

Permasalahan di masyarakat yang perlu diselesaikan dalam bentuk kebijakan (program) yang didukung oleh anggaran yang memadai jauh lebih banyak dibanding jumlah anggaran yang tersedia. Dengan kata lain, ada keterbatasan anggaran. Maka, penyusunan prioritas dalam penyusunan anggaran mutlak harus dilakukan. 

Dalam kenyataannya, proses-proses yang terjadi dalam penyusunan anggaran adalah proses politik karena masing-masing pihak ingin memperjuangkan kepentinganya sendiri. Akibatnya, angka yang tercantum dalam APBD juga merupakan angka politik.

Download Berkenalan dengan APBD

Sunday, June 3, 2012

Otonomi dan Keuangan Desa

Bahwa Indonesia sebagai sebuah negara dibangun diatas dan dari desa. Dan desa adalah pelopor sistem demokrasi yang otonom dan berdaulat penuh. Sejak lama, desa telah memiliki sistem dan mekanisme pemerintahan serta norma sosial masing-masing. Inilah yang menjadi cikal bakal sebuah negara bernama Indonesia ini. Namun, sampai saat ini pembangunan desa masih dianggap seperempat mata oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa terutama pembangunan sumber daya manusianya sangat tidak terpikirkan.

Desa sebagai sebuah kawasan otonom memang diberikan hak-hak istimewa, diantaranya adalah terkait pengelolaan keuangan dan alokasi dana desa, pemilihan kepala desa [kades] serta proses pembangunan desa. Namun, ditengah pemberian otonomisasi desa tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas SDM-nya. Sehingga pelaksanaannya masih jauh dari harapan.

Ambil contoh kasus masalah pengelolaan keuangan desa. Dengan hak otonomnya tersebut desa berhak mengelola keuangan desa secara mandiri. Baik mengelola pendapatan dan sumber-sumber pendapatan tersebut. Juga mengelola pembelanjaan anggaran tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya sangat banyak desa yang belum dapat memanfaatkan keistimewaannya tersebut. Ketergantungan dana dari pemerintah pusat maupun daerah masih sangat kuat. Desa belum dapat mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan desa dengan berbasis pada kekayaan dan potensi desa setempat.

Ditambah lagi SDM yang tidak mumpuni dalam pengelolaan keuangan menjadikan banyak kasus penyimpangan anggaran. Dan peningkatan kapasitas untuk korupsi sukses dilakukan, itulah yang dipetik dari "hasil belajar" pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Artinya, dengan pemberian kewenangan pengelolaan keuangan desa [berdasarkan Permendagri 37/2007] dan adanya Alokasi Dana Desa [berdasarkan PP 72/2005], yang terjadi adalah bukanya desa semakin maju dan makmur akan tetapi justru semakin banyak kasus penyelewengan dan memperkaya diri yang dilakukan oleh kepala desa.

Sebenarnya hal tersebut diatas dapat [penyelewengan anggaran desa] tidak akan terjadi apabila ada keterlibatan aktif masyarakat mulai dari tahap perencanaan [Musrenbang Desa], pelaksanaan dan pengawasan pembangunan hingga pertangunggjawabannya. Namun, yang terjadi memang masih sangat susah dalam melibatkan aktif masyarakat, sebab ternyata dari hasil belajar bersama dengan masyarakat, mereka tidak tidak terlibat aktif memang karena tidak pernah diajak. 

Nah, ternyata kembali lagi pada kapasitas aparat desa lagi dalam memahami perundangan. Atau memang mereka paham akan tetapi justru mengakali peraturan demi kemudahan dan keuntungan mereka. Hal yang kedua ini juga "hasil belajar" dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Download Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 37/2007 tentang Pengelolaan Keuangan Desa
Download Peraturan Pemerintah (PP) No 72/2005 tentang Desa