Showing posts with label Lingkungan Hidup. Show all posts
Showing posts with label Lingkungan Hidup. Show all posts

Tuesday, March 10, 2020

Eucalyptus deglupta: Pohon Berwana Pelangi Penghasil Minyak Atsiri

Eucalyptus deglupta
merupakan famili Myrtaceae dan terdiri lebih dari 700 jenis. Jenis ini berupa semak dan perdu dengan ketinggian mencapai 100 meter, adalah tanaman yang bersifat cepat tumbuh. Tanaman ini dikenal sebagai pohon yang dapat bertahan di musim kering. 

Pohon penghasil minyak atsiri ini dikenal dengan pohon pelangi karena batang pohon berwarna-warni. Ini karena getah yang keluar dari batangnya. Warna getah yang pertama kali muncul adalah biru kemudian perlahan akan berubah menjadi jingga, ungi dan merah (marun).

Pada umumnya, pohon berukuran kecil hingga besar dengan tinggi rata-rata 40 meter dan bebas dari cabang 25 meter. Permukaan kulit kayu licin dan serat berbentuk papan catur. Daun muda dan dewasa sifatnya berbeda. Ciri daun dewasa yakni, berseling, kadang berhadapan, tunggal, tulang tengah jelas, pertulangan sekunder menyirip atau sejajar, dan berbau harum bila diremas (Khaeruddin, 2010).

Eucalyptus deglupta merupakan spesies dari Eukaliptus. Tanaman ini beradaptasi pada habitat hutan hujan daratan rendah dan hutan pegunungan rendah. Pohon ini menyukai pinggiran sungai yang tidak tergenang air dengan kelembaban tanah yang cukup.



Tempat tumbuhnya berada di ketinggian hingga 1.800 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan tahunan 2.500-5.000 milimeter. Di dataran rendah, ia berkembang di rata-rata suhu minimum 23 derajat celcius dan maksimum 3 derajat celcius. Sementara, di pegunungan dengan suhu minimum rata-rata 13 derajat celcius dan maksimum 29 derajat celcius (Darwo, 1997). Jenis ini juga tumbuh di tanah liat berpasir, tanah lembap, dan tanah aluvial subur, atau di tanah yang pada waktu hujan tergenang kemudian mengering.

Dalam penamaan biasa, pohon ini disebut juga Mindanao gum atau rainbow eucalyptus. Eucalyptus deglupta merupakan pohon cemara yang sangat besar, tumbuh cepat, dan berdaun lebar. Tumbuhan ini banyak terdapat di beberapa wilayah Indonesia seperti Palu, Pulau Seram, Maluku dan Papua. Spesies ini juga ditemukan di Kepulauan Filipina yakni Pulau Mindanao maupun di Papua Nugini. Mereka satu-satunya pohon kayu putih (Eucalyptus) yang hidup di hutan hujan dengan kisaran alami dan tersebar meluas ke belahan Bumi utara.

Jenis Eukaliptus ini mempunyai keunikan yang terlihat dari warna batang pohonnya. Bila dilihat secara saksama, batang Eucalyptus deglupta bercorak warna-warni yang cantik. Namun, sepintas pohon ini tampak seperti dicat. Warna yang dihasilkan pohon pelangi ini memang murni berasal dari proses alami. Beragam rona muncul akibat getah yang keluar dari dalam pohon. Cairan tersebut lalu mengenai kulit pohon di bagian lain dan membentuk sebuah lapisan warna.

Nama ilmiah Deglupta berarti mengelupas atau kulit. Ketika permukaan kulit batangnya terkelupas, akan terlihat warna hijau. Seiring waktu, rona hijau cerah berubah menjadi biru, kemudian ungu, berganti oranye, lalu merah.

Meskipun pohon pelangi ini menghasilkan bunga putih dan daun hijau seperti spesies lainnya, kelenjar-kelenjarnya tidak mengeluarkan banyak minyak aromatik. Eucalyptus deglupta dapat ditemukan di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu Gunung Nokilalaki. Letaknya berada di Desa Kamarora, Kecamatan Nokilalaki, Kabupaten Sigi, atau berada di sebelah timur kota Palu (Manto, 2012).





Sumber: https://www.greeners.co/flora-fauna/pohon-pelangi-indonesia-bernama-eucalyptus-deglupta/
Gambar dari internet

Monday, October 10, 2016

Kewenangan Desa dalam Adaptasi Perubahan Iklim

Sebagian besar daerah di Indonesia rentan terhadap perubahan iklim, baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia seperti penebangan hutan, penggunaan alat-alat yang menghasilkan karbon tinggi. 

Ataupun gejala alam seperti erupsi gunung berapi maupun el nino dan el nina di lautan, radiasi sinar matahari, maupun tekanan tektonik dari dalam bumi dan proses biologis.
Hal ini disebabkan daerah di Indonesia memiliki topografi pegunungan dan dikelilingi gunung api serta lautan yang luas sehingga menjadi wilayah yang memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim. 

Salah satu wilayah yang memiliki kerentanan tinggi adalah Jawa Timur. Kabupaten atau kota di Jawa Timur memiliki tingkat kerentanan tinggi akibat perubahan cuaca, curah hujan, maupun aktivitas tektonik dan vulkanik. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Timur tahun 2015 menyebut bahwa ada 22 kabupaten atau kota di Jawa Timur yang rentan terhadap perubahan iklim sehingga rawan bencana terutama longsor, kekeringan dan banjir.

Kawasan Malang Raya (Batu, Kota Malang dan Kabupaten Malang) merupakan wilayah dengan kerentanan tinggi. Dalam data yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengenai Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim (KRAPI) tahun 2012, kawasan Malang Raya memiliki iklim Monsun (musim dingin yang kering dan musim panas/ kemarau yang basah).

Situasi ini ditengarai disebabkan oleh kenaikan suhu sebesar 0,690 C sepanjang 25 tahun terakhir, dan di sisi lain juga mengalami curah hujan ekstrem yang rata-rata meningkat 5% hingga 2030 dibandingkan kondisi saat ini.

Sebagai wilayah dengan kerentanan tinggi terkena perubahan iklim, pemerintah daerah telah menempatkan masalah lingkungan hidup ini menjadi isu strategis dalam proses pembangunan daerah. Berbagai upaya telah dilakukan, baik melatih masyarakat untuk tanggap bencana; memperkuat dan memperbanyak desa tangguh bencana; maupun melakukan mitigasi pengurangan risiko.
Reboisasi sabuk hijau bantaran sungai dan upaya pencegahan penebangan hutan secara serampangan serta  pembuatan biopori pada kawasan terbuka hijau di perkotaan juga sudah dilakukan. 

Berbagai upaya ini tidak akan berhasil jika hanya dilakukan secara sepihak oleh pemda saja tanpa melibatkan masyarakat sipil, sektor swasta dan tentu saja desa. Paradigma urusan lingkungan hidup adalah urusan pemda harus diubah menjadi urusan yang dibagi atau kewenangannya diberikan juga kepada pemerintahan desa yang kini memiliki kewenangan yang dijamin dalam Undang-undang Desa yakni kewenangan lokal berskala desa, kewenangan berdasarkan hak asal usul serta kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.

Isu lingkungan hidup, adaptasi perubahan iklim dan kebencanaan ini merupakan bagian dari kewenangan lokal berskala desa. Sebab urusan ini sesuai dengan kepentingan masyarakat desa dan desa mampu menjalankannya dengan baik dan efektif. 

Paradigma desa tidak mampu harus diubah, sebab ini menyesatkan pola pikir dan cara pandang yang pada akhirnya hanya akan menjadikan desa sebagai objek tanpa pernah menjadi subjek. Tugas dan kewajiban pemerintah kabupaten atau kota untuk menguatkan kapasitas desa. Peran lain pemerintah daerah yang tetap harus dilakukan adalah melalui BPBD dalam menyusun kebijakan dalam upaya Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana  dengan menyiapkan kebijakan baik berupa program dan dukungan dana.

Mengapa urusan lingkungan hidup dan adaptasi perubahan iklim ini menjadi penting untuk dilimpahkan ke Desa lebih dikarenakan agar mendekatkan hal ini kepada masyarakat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Masyarakat desa pasti memiliki pengalaman dan cara pandang yang bagus tentang bagaimana menyikapi perubahan iklim ini. Misalnya, masyarakat desa terbukti mampu bertahan dengan melakukan adaptasi dalam mempertahankan agar tanaman mereka tetap bisa panen pada musim pancaroba tahun ini. 

Upaya yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintahan desa tersebut hanya perlu dikuatkan dengan hasil pembacaan secara ilmiah. Sehingga secara teknis masyarakat desa dan pemerintahan desa lebih mampu melakukan upaya adaptasi. Pada sisi lain, pemerintah desa dapat memulai memasukkan beberapa agenda kegiatan dan program ke dalam kebijakan perencanaan pembangunan desa, baik dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) maupun dalam Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKPDesa). 

Perlu diingat bahwa salah satu faktor kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim adalah sensitivitas dalam beradaptasi atau menyikapi perubahan tersebut agar mampu bertahan hidup. Sehingga perlu upaya yang massif dari para pihak dalam menangani hal ini.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di MalangTimes.Com

Wednesday, August 24, 2016

Menggagas Konservasi Lingkungan Hidup di Solo

Kota Solo kini telah mendapatkan sosok pemimpin yang baru, yang diharapkan mampu membuat kebijakan yang dapat menguntungkan masyarakat kota Solo. Salah satu dari sekian banyak harapan yang ditujukan kepada bapak Walikota yang baru adalah masalah konservasi lingkungan hidup. Permasalahan lingkungan yang wajib ditangani secara serius untuk segera dilakukan konservasi adalah masalah air dan udara. Air dan udara adalah kebutuhan hidup yang sangat vital. Aktivitas sehari-hari kita membutuhkan air untuk minum, memasak maupun mandi dan udara (oksigen) untuk bernafas. 

Permasalahan air saat ini bukan hanya menjadi permasalahan yang dihadapi oleh kota Solo saja, akan tetapi telah menjadi permasalahan global. Dunia saat ini sudah mengalami krisis air bersih. Diberbagai belahan dunia mulai kekurangan pasokan air bersih yang layak konsumsi. Masyarakat dunia sekarang ini dalam menghadapi masalah air yang sangat kompleks dan rumit, dihadapkan pada persoalan pencemaran dan privatisasi. Begitu pula masalah udara. Tingkat pencemaran udara sudah begitu tinggi terutama di kota-kota besar, yang diakibatkan oleh banyaknya penggunaan kendaraan bermotor dan industri. 

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dan dunia saat ini lebih menitikberatkan pada sektor industri serta guna menunjang aktivitas dan mobilitas saat ini dibutuhkan kendaraan bermotor dan pengerasan jalan demi kelancaran dan kenyamanan. Namun, apakah kemudian hal tersebut dapat dijadikan sebagai suatu pembenar atas terjadinya polusi (pencemaran) udara dan air. 

Demikian halya yang terjadi di Kota Solo, dimana tumpuan pertumbuhan ekonomi-nya melalui sektor perdagangan dan jasa. Ini membawa konsekuensi logis bahwa mau tidak mau akan sangat banyak kendaraan bermotor berlalu-lalang dan jalan-jalan mulai dikeraskan dengan aspal maupun beton sehingga open space (ruang terbuka) mulai berkurang. Dengan banyaknya kendaraan bermotor yang berkepentingan di Solo maka berakibat pada peningkatan tingkat pencemaran udara dikarenakan tingginya kandungan kadar CO (karbon monoksida) dalam udara. Kadar CO yang terdapat dalam udara apabila ikut terhirup pada saat kita bernafas maka akan menjadikan kita terserang penyakit. Open space yang ada di Solo semakain sempit seiring dengan pengerasan (pengaspalan dan pembetonan) jalan agar jalan menjadi halus dan tidak becek sehingga tercipta kenyamanan dalam berkendaraan. Akan tetapi, dengan semakin sempitnya open space akan berakibat pada tingkat kesulitan masuknya air kedalam tanah sehingga berdampak terjadinya banjir ketika musim hujan tiba. Dampak lain yang terjadi adalah terbuangnya air ke sungai Bengawan Solo sebab tidak mampu terserap oleh tanah, sehingga debit air yang ada di Solo menurun. Apabila air hujan dapat terserap masuk ke dalam tanah maka debit air tanah yang ada di Solo akan meningkat dimana pada saat musim kemarau tiba Solo tidak akan kekurangan air.

Bahwa air dan udara adalah kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat digantikan dengan apapun maka apa yang terjadi di Solo saat ini, yakni tingginya tingkat pencemaran udara serta rendahnya debit air yang dimiliki dan juga ancaman bahaya banjir yang senantiasa menghantui, adalah sesuatu yang harus segera ditangani dan diselesaikan. Partisipasi dan kesadaran setiap elemen dan individu masyarakat serta adanya political will dari Pemerintah Kota (Pemkot) Solo sangat diperlukan guna mengatasi masalah tersebut. Tanpa adanya kerjasama yang baik antara masyarakat dan Pemerintah Kota Solo maka permasalahan pencemaran udara dan air tidak dapat diselesaikan dengan baik. 

Sebenarnya, ada beberapa pilihan kebijakan yang dapat diterapkan oleh Pemkot, diantaranya adalah pembatasan pengerasan jalan, pembatasan penggunaan kendaraan bermotor, serta pembuatan hutan kota sebagai paru-paru kota dan daerah resapan air. Dari pilihan kebijakan tersebut yang dapat dilaksanakan dengan mudah dan effisien serta tidak menimbulkan gejolak di masyarakat adalah kebijakan pembuatan hutan kota. Ketika kebijakan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor maupun pengerasan jalan yang dipilih, sulit untuk diterapkan dikarenakan Solo saat ini mengandalkan sektor perdagangan dan jasa sebagai tumpuan ekonomi-nya dimana kenyamanan dalam mobilitas sangat diperlukan, disamping itu akan dimungkinkan terjadinya gejolak protes dari masyarakat. Sehingga pilihan kebijakan ini akan sangat tidak populis. Sedangkan kebijakan pembuatan hutan kota sebagai paru-paru kota dan daerah resapan air relatif mudah dilaksanakan. Dan juga, dengan kebijakan ini konservasi udara dan air dapat terjadi sekaligus.

Pembuatan hutan kota disamping bertujuan untuk konservasi udara juga untuk konservasi air serta dapat digunakan untuk pariwisata. Fungsi dan tujuannya adalah terciptanya suasana sejuk dan teduh karena terjadi peningkatan kadar O2 (oksigen) yang dihasilkan dari proses fotosintesa tumbuhan, juga sebagai open space yang dapat menyerap air sehingga air hujan yang turun tidak mubazir terbuang ke sungai Bengawan Solo maupun mengakibatkan banjir.

Ada beberapa alternatif lokasi yang dapat digunakan sebagai hutan kota yaitu Balekambang, Taman Satwa Taru Jurug, kawasan kampus UNS Kentingan, kawasan Mojosongo. Di tempat-tempat tersebut dapat dilakukan penghijauan dengan penanaman tanaman keras (tanaman tahunan), yang diharapkan keberadaan tanaman keras dapat banyak menyerap air sehingga debit air meningkat maka akan tercipta tandon air tanah dan juga dapat mengurangi tingkat polusi udara karena adanya peningkatan kadar oksigen di udara. Ketika kesejukan udara dapat tercipta dan air bersih cukup tersedia maka secara otomatis akan membuat orang semakin betah tinggal di Solo untuk melakukan aktivitas bisnisnya sehingga pertumbuhan ekonomi Solo dapat terus meningkat. Dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi maka meningkat pula kesejahteraan masyarakat.

Pengelolaan hutan kota tidak hanya diserahkan kepada salah satu instansi di Kota Solo, akan tetapi ada keterkaitan dan tanggung jawab bersama antara Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) menyangkut kebersihan dan pemeliharaan, Dinas Pariwisata (apabila difungsikan sebagai kawasan pariwisata), Dinas Pertanian terkait dengan pemeliharaan dan Perum Perhutani menyangkut pengelolaan hasil hutan tersebut yang berupa kayu, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) dan KNPI, keduanya berperan dalam melakukan sosialisasi pada masyarakat serta PDAM menyangkut pengelolaan dan pemanfaatan air tanah sebagai sumber air bersih di Solo. Pembagian peran yang jelas namun saling terkait antar instansi ini diharapkan hutan kota dapat terkelola dengan baik. Meskipun pengelolaannya menjadi tanggung jawab instansi-instansi pemerintah, akan tetapi peran masyarakat sangat diperlukan dalam hal menjaga kelestarian hutan tersebut. 

Namun harapan hanya akan tinggal harapan apabila tidak pernah ada niatan (political will) dari Pemkot (dalam hal ini Walikota Solo) serta dukungan dan partisipasi penuh elemen dan individu masyarakat. Maka dari itu, marilah kita ber-empati terhadap konservasi lingkungan di Solo terutama udara dan air. Karena semua itu adalah kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia.

catatan:
Tulisan ini saya buat tahun 2005 saat Kota Solo selesai melakukan Pilkada dan Walikota Baru telah terpilih dan pernah dipublikasikan di HU Solopos. Saya kehilangan arsip tulisan ini dan ternyata ada menyimpannya di blognya. Saya berterima kasih kepada bung Hendrik Bobi Hertanto pemilik Blog geoenviron.blogspot.co.id 

Monday, March 7, 2016

Kenali Tanda Segitiga Dalam Kemasan Botol Plastik

Dalam kemasan plastik, ada kode tertentu yang menjadi petunjuk mengenai karakteristik atau sifat dan juga asal kemasan plastik tersebut. Kode ini dikeluarkan oleh The Society of Plastic Industry pada tahun 1998 di Amerika Serikat dan diadopsi oleh lembaga pengembang sistem kode seluruh dunia.

Secara umum tanda pengenal plastik tersebut:
1. Berada atau terletak di bagian bawah
2. Berbentuk segitiga
3. Di dalam segitiga tersebut terdapat angka 

4. Serta nama jenis plastik di bawah segitiga 


Tanda pengenal plastik itu dibagi menjadi 7 buah kelompok. Serta 3 tambahan sehingga totalnya ada 10 buah. 


Tanda ini biasanya tertera logo daur ulang dengan angka 1 di tengahnya serta tulisan PETE atau PET (polyethylene terephthalate) di bawah segitiga. 

Biasa dipakai untuk botol plastik, berwarna jernih/transparan/tembus pandang seperti botol air mineral, botol jus, dan hampir semua botol minuman lainnya. 

BOTOL JENIS PET/PETE ini direkomendasikan HANYA SEKALI PAKAI. Bila terlalu sering dipakai, apalagi digunakan untuk menyimpan air hangat apalagi panas, akan mengakibatkan lapisan polimer pada botol tersebut akan meleleh dan mengeluarkan zat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker) dalam jangka panjang. 


Umumnya, pada bagian bawah kemasan botol plastik, tertera logo daur ulang dengan angka 2 di tengahnya, serta tulisan HDPE (high density polyethylene) di bawah segitiga. 

Biasa dipakai untuk botol susu yang berwarna putih susu, tupperware, galon air minum, kursi lipat, dan lain-lain.  

HDPE memiliki sifat bahan yang lebih kuat, keras, buram dan lebih tahan terhadap suhu tinggi.  
HDPE merupakan salah satu bahan plastik yang aman untuk digunakan karena kemampuan untuk mencegah reaksi kimia antara kemasan plastik berbahan HDPE dengan makanan/minuman yang dikemasnya. 

Sama seperti PET, HDPE juga direkomendasikan hanya untuk sekali pemakaian karena pelepasan senyawa antimoni trioksida terus meningkat seiring waktu. 


Tertera logo daur ulang (terkadang berwarna merah) dengan angka 3 di tengahnya, serta tulisan V atau PVC. V itu berarti PVC (polyvinyl chloride), yaitu jenis plastik yang paling sulit didaur ulang.  
Plastik ini bisa ditemukan pada plastik pembungkus (cling wrap), dan botol-botol. Reaksi yang terjadi antara PVC dengan makanan yang dikemas dengan plastik ini berpotensi berbahaya untuk ginjal, hati dan berat badan.  

Sebaiknya kita mencari alternatif pembungkus makanan lain (bukan bertanda 3 dan V) seperti plastik yang terbuat dari polietilena atau bahan alami (daun pisang misalnya). 


Tertera logo daur ulang dengan angka 4 di tengahnya, serta tulisan LDPE. LDPE (low density polyethylene) yaitu plastik tipe cokelat (thermoplastic/dibuat dari minyak bumi), biasa dipakai untuk tempat makanan, plastik kemasan, dan botol-botol yang lembek.
 

Sifat mekanis jenis plastik LDPE adalah Kuat; Agak tembus cahaya; Fleksibel dan permukaan agak berlemak; Pada suhu 60 derajat Celcius sangat resisten dengan senyawa kimia; Daya proteksi terhadap uap air tergolong baik; Kurang baik bagi gas seperti Oksigen; Plastik ini dapat didaur ulang

Baik untuk barang- barang yang memerlukan fleksibilitas tetapi kuat, dan memiliki resistensi yang baik terhadap reaksi kimia. Barang berbahan LDPE ini sulit dihancurkan, tetapi tetap baik untuk tempat makanan karena sulit bereaksi secara kimiawi dengan makanan yang dikemas dengan bahan ini. 

Tertera logo daur ulang dengan angka 5 di tengahnya, serta tulisan PP. Karakteristik adalah biasa botol transparan yang tidak jernih atau berawan.  

Polipropilen lebih kuat dan ringan dengan daya tembus uap yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi dan cukup mengkilap. 

Jenis PP (polypropylene) ini adalah pilihan bahan plastik terbaik, terutama untuk tempat makanan dan minuman seperti tempat menyimpan makanan, botol minum dan terpenting botol minum untuk bayi.  

Carilah dengan kode angka 5 bila membeli barang berbahan plastik untuk menyimpan kemasan berbagai makanan dan minuman. 


Tertera logo daur ulang dengan angka 6 di tengahnya, serta tulisan PS. PS (polystyrene) ditemukan tahun 1839, oleh Eduard Simon, seorang apoteker dari Jerman, secara tidak sengaja. 

PS biasa dipakai sebagai bahan tempat makan styrofoam, tempat minum sekali pakai, dan lain-lain. Polystyrene merupakan polimer aromatik yang dapat mengeluarkan bahan styrene ke dalam makanan ketika makanan tersebut bersentuhan.  

Selain tempat makanan, styrene juga bisa didapatkan dari asap rokok, asap kendaraan dan bahan konstruksi gedung.  

Bahan ini harus dihindari, karena selain berbahaya untuk kesehatan otak, mengganggu hormon estrogen pada wanita yang berakibat pada masalah reproduksi, dan pertumbuhan dan sistem syaraf, juga karena bahan ini sulit didaur ulang. 

Pun bila didaur ulang, bahan ini memerlukan proses yang sangat panjang dan lama. Bahan ini dapat dikenali dengan kode angka 6, namun bila tidak tertera kode angka tersebut pada kemasan plastik, bahan ini dapat dikenali dengan cara dibakar (cara terakhir dan sebaiknya dihindari). Ketika dibakar, bahan ini akan mengeluarkan api berwarna kuning- jingga, dan meninggalkan jelaga. 


Tertera logo daur ulang dengan angka 7 di tengahnya, serta tulisan O atau OTHER

Untuk jenis plastik 7 Other ini ada 4 jenis, yaitu :
1. SAN – styrene acrylonitrile,
2. ABS - acrylonitrile butadiene styrene,

3. PC - polycarbonate,
4. Nylon
 

Dapat ditemukan pada tempat makanan dan minuman seperti botol minum olahraga, suku cadang mobil, alat-alat rumah tangga, komputer, alat-alat elektronik, dan plastik kemasan. 

SAN dan ABS memiliki resistensi yang tinggi terhadap reaksi kimia dan suhu, kekuatan, kekakuan, dan tingkat kekerasan yang telah ditingkatkan. Biasanya terdapat pada mangkuk mixer, pembungkus termos, piring,  alat makan, penyaring kopi, dan sikat gigi, sedangkan ABS biasanya digunakan sebagai bahan mainan lego dan pipa.

Plastik dengan jenis 7 yaitu SAN dan ABS merupakan salah satu bahan plastik yang sangat baik untuk digunakan dalam kemasan makanan ataupun minuman.  


Bagaimana jenis plastik dengan kode 7 serta tulisan PC? 
PC – atau nama Polycarbonate dapat ditemukan pada botol susu bayi, gelas anak batita (sippy cup), botol minum polikarbonat, dan kaleng kemasan makanan dan minuman, termasuk kaleng susu formula. Dapat mengeluarkan bahan utamanya yaitu Bisphenol-A ke dalam makanan dan minuman yang berpotensi merusak sistem hormon, kromosom pada ovarium, penurunan produksi sperma, dan mengubah fungsi imunitas. Dianjurkan tidak digunakan untuk tempat makanan ataupun minuman. Ironisnya botol susu sangat mungkin mengalami proses pemanasan, entah itu untuk tujuan sterilisasi dengan cara merebus, dipanaskan dengan microwave, atau dituangi air mendidih atau air panas

Apakah yang Dapat Kita Peroleh dari Informasi SIMBOL PLASTIK Tersebut?
1. Harus bijak dalam menggunakan plastik, khususnya kode 1, 3, 6, dan 7 (PC), seluruhnya memiliki bahaya secara kimiawi. Gunakan hanya sekali pakai!
2.
Akan aman bila menggunakan plastik dengan kode 2, 4, 5, dan 7 (SAN atau ABS) 


Satu lagi yang perlu diwaspadai dari penggunaan plastik dalam industri makanan adalah kontaminasi zat warna plastik dalam makanan contohnya kita sering membeli gorengan di pinggir jalan, suka minta sama penjualnya yang panas lalu setelah digoreng dimasukkan ke kantong kresek hitam. Ternyata zat pewarna hitam ini kalau terkena panas, bisa terurai, terdegradasi menjadi bentuk zat radikal beracun yang berbahaya bagi kesehatan terutama dapat menyebabkan sel tubuh berkembang tidak terkontrol seperti pada penyakit kanker. Makanya mulai sekarang sebisa mungkin hindari membungkus makanan dengan tas kresek ya! Terutama makanan yang masih panas. 


Buat kita semua bagi para orang tua yang masih memerlukan botol susu untuk putra-putrinya:  
1. Pilih dan gunakan botol susu bayi berbahan kaca, atau plastik jenis 4 atau 5.
2. Gunakanlah cangkir bayi berbahan stainless steel, atau plastik jenis 4 atau 5.

3. Untuk dot, gunakanlah yang berbahan silikon, karena tidak akan mengeluarkan zat karsinogenik sebagaimana pada dot berbahan latex.
4. Cegah penggunaan botol susu bayi dan cangkir bayi (dengan lubang penghisapnya) berbahan jenis 7 PC (polycarbonate),
5. Jika penggunaan plastik berbahan polycarbonate tidak dapat dicegah, janganlah menyimpan air minum ataupun makanan dalam keadaan panas.



Hindari penggunaan botol plastik untuk menyimpan air minum (biasa digunakan untuk tempat air putih didalam kulkas). Jika penggunaan botol plastik berbahan PET (kode 1) dan HDPE (kode 2), tidak dapat dicegah, gunakanlah hanya sekali pakai dan segera dihabiskan. Gantilah dengan botol stainless steel atau gelas/kaca.

Cegahlah memanaskan makanan yang dikemas dalam plastik, khususnya pada microwave oven
, bungkuslah terlebih dahulu makanan dengan daun pisang atau kertas sebelum dibungkus dengan plastik pembungkus ketika akan dipanaskan di mocrowave oven.


Cegah menggunakan kemasan plastik untuk mengemas makanan berminyak atau berlemak. Cobalah untuk mulai menggunakan kemasan berbahan kain untuk membawa sayuran, makanan, ataupun belanjaan.  


Cegah penggunaan piring dan alat makan plastik untuk masakan. Gunakanlah alat makan berbahan stainless steel, kaca, keramik, dan kayu.
 
Diolah dari berbagai Sumber


Thursday, December 22, 2011

Konservasi Air yang Sederhana tapi Efektif


Apa itu Konservasi Air?
Konservasi air adalah sebuah perilaku yang disengaja dengan tujuan pengurangan penggunaan air segar melalui metode tekonologi ataupun perilaku sosial. (Wikipedia). Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin dan mengatur aliran agar tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau (Prof. Sitanala Arsyad, IPB, 2006). Sementara itu Prof. Kartasapoetra mendefinisikan konservasi air adalah sebuah usaha untuk menjaga kualitas dan kuantitas air.

Berdasarkan ketiga referensi diatas maka saya menyimpulkan bahwa konservasi air pada hakikatnya adalah tindakan atau upaya yang diperlukan dalam rangka melestarikan sumber daya air, dengan menggunakan teknologi serta perilaku sosial manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan.

Mengapa Perlu Melakukan Konservasi Air?
Air adalah kebutuhan yang sangat vital bagi manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, untuk mencukupi kebutuhan memasak, mencuci, minum dan kebutuhan lainnya kita membutuhkan air setidaknya 2600 liter per kapita per hari demikian data yang dilansir oleh Kementrian Pertanian.

Sebuah hasil kajian dari Depkimpraswil, 2003 menyebutkan bahwa ketersediaan air di Pulau Jawa yang sebesar 30.569 juta meter kubik diperkirakan akan terus menyusut dan akan defisit pada tahun 2015 mendatang dalam menyukupi kebutuhan air bagi seluruh penduduk Pulau Jawa.

Data yang dikeluarkan oleh BMKG menyebutkan curah hujan rata-rata di Indonesia adalah 1000-4000 mm/tahun dengan rata-rata 6 bulan basah. Hal ini tentunya merupakan potensi besar bagi ketersediaan air di Indonesia.

Namun mengapa di banyak tempat di Indonesia ini selalu terdengar berita kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan? Sebuah pernyataan yang menurut saya, jawabannya adalah karena kita tidak dapat mengelola air. Potensi ketersediaan air yang kita punya ketika hujan tiba tidak terkelola dengan baik (hanya dibuang ke sungai dan laut) dan pada saat kemarau datang kekeringan melanda.

Melihat data dan fakta di atas, maka sudah bukan waktunya berdebat lagi mengenai penyebab semakin menipisnya sumber daya air. Akan tetapi pada saat sekarang ini kita harus segera bergerak, kita harus berkarya nyata dalam mengupayakan konservasi sumber daya air ini. Dan hal itu harus dimulai dari diri sendiri. Membuat hal besar akan nihil hasilnya tanpa dimulai dari hal kecil.

Hal sederhana apa yang dapat kita lakukan dalam upaya konservasi sumber daya air?
Beberapa hal yang menurut saya cukup sederhana namun efektif sebagai upaya konservasi air, dan mudah dilaksanakan oleh kita masing-masing; diantaranya adalah:

Pertama, kita harus mulai berhemat. Gunakan air seperlunya, jangan menghamburkan air hanya untuk aktivitas yang kurang bermanfaat. Contoh kecil yang dapat kita lakukan adalah menutup kran air sewaku kita sedang menggosok gigi atau tampunglah air untuk membilas cucian, jangan membilasnya langsung dari kran, lebih baik mandi dengan gayung daripada dengan shower sebab dengan shower air akan terus mengalir dan masih banyak lagi aktivitas kita yang dapat kita lakukan demi berhemat air.

Kedua, kita dapat membuat biopori di halaman rumah kita. Sebenarnya biopori  ini secara alamiah dapat terbentuk karena aktivitas mikroorganisme tanah, perakaran tanaman, rayap dan fauna tanah lainnya. Lubang-lubang tersebut akan berisi udara dan akan menjadi tempat lewatnya air. Seringkali karena kendala berbagai hal seperti sudah rusaknya struktur tanah maka biopori alamiah ini tidak banyak terdapat di tanah, maka kita dapat membuatnya.

Kita dapat membuatnya di halaman atau kebun rumah dengan melubangi tanah setidaknya berdiameter 10-15 cm dengan kedalaman lubang 50-100 cm dan jarak antar lubang 50-100 cm. Dapat pula ditambahkan sampah organik untuk membantu percepatan pembentukan serta menghidupi mikroorganisme atau fauna tanah yang seterusnya dapat menciptakan biopori-biopori baru secara alamiah, dan sampah organik tersebut nantinya dapat diambil untuk pupuk kompos kemudian diganti yang baru.

Ini merupakan teknologi konservasi air yang sederhana dan murah sebab mempercepat penyerapan air ke dalam tanah sehingga mampu meningkatkan cadangan air tanah dan juga dapat mengendalikan banjir.

Teknologi ini sampai sekarang masih terapkan di rumah dan juga pernah saya lakukan di hutan buatan dan taman kampus, dimana kami (saya dan beberapa teman) membuat puluhan biopori yang kami beri sampah organik dari dedaunan yang banyak berserakan di kampus. Hasil komposnya (setelah berproses dalam biopori selama kurang lebih 2 bulan) kemudian dipakai untuk media tanam tanaman hias dan media percobaan/penelitian teman-teman saat praktikum dan skripsi serta jika ada sisanya dijual. Artinya, sekali merengkuh dayung mendapatkan beberapa manfaat sekaligus.

Ketiga, membuat sumur resapan. Selain biopori yang kita buat di kebun atau halaman, kita dapat juga membuat sumur resapan. Teknologi ini cukup murah, dan saya baru membuatnya sekitar 4 bulan lalu di kebun rumah saya.

Prinsip kerja sumur resapan adalah dalam rangka menampung air hujan dan mempercepat penyerapan air hujan ke dalam tanah sehingga bencana banjir dapat dikendalikan serta cadangan air tanah meningkat. Kedalaman sumur resapan sebenarnya bervariasi tergantung pada situasi dan kondisi daerah masing-masing.

Untuk sumur resapan yang saya buat sedalam 5 meter dengan diameter 1 meter. Dindingnya diberikan bis beton dan bagian atasnya (tutupnya) dicor semen (beton) setebal 10 cm, dalamnya saya isi dengan arang dan ijuk setinggi kira-kira 1 m. Air hujan mengalir masuk melalui parit dan lubang kontrol berbentuk bujursangkar yang berada sejajar dengan bagian atas sumur resapan. Dan biaya yang saya keluarkan untuk membuat dua buah sumur resapan di kebun rumah saya tersebut tidaklah mahal, namun manfaatnya sangat berharga, setidaknya dalam 3 bulan terakhir sudah tidak digenangi air, yang dulunya ketika hujan ketinggian genangan sekitar 10 cm karena luapan air dari jalan dan pekarangan tetangga.

Selain itu sebagai pertimbangan dan perlu diperhatikan dalam membuat sumur resapan (sesuai dengan Standar Nasional Indonesia Nomor SNI 03-2453-2002 serta Peraturan DPU No. 29/PRT/M/2006 tentang Tata Cara Pembuatan Sumur Resapan pada Pekarangan) , diantaranya adalah (1) sumur resapan harus berada di lahan datar, tidak miring atau labil; (2) jauh dari tempat penimbunan sampah, septi- tank dan minimal 1 meter dari pondasi rumah; (3) kedalaman sumur resapan dapat sampai tanah berpasir atau maksimal 2 meter di bawah permukaan air tanah; (4) struktur tanah harus mempunyai permeabilitas (kemampuan tanah menyerap air) lebih besar atau sama dengan 2 cm per jam (artinya genangan air setinggi 2 cm akan terserap habis dalam satu jam).


Ketiga hal itu adalah hal sederhana, mudah dan murah namun efektif yang dapat kita lakukan dalam mengupayakan konservasi sumber daya air, sebab untuk membuat biopori maupun membangun sumur resapan tidak memerlukan lahan yang harus luas. Lahan pekarangan sempit pun dapat dimanfaatkan untuk menerapkan model teknologi sederhana ini.

Dengan tidak mengesampingkan agenda dan aktivitas konservasi skala makro (besar), seperti membuat waduk, memperbaiki pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), memperbanyak ruang terbuka hijau di kota-kota serta reboisasi; maka ketika hal-hal kecil (skala mikro) ini kemudian dilakukan oleh banyak orang di banyak tempat maka tentu hasilnya akan luar biasa. Sehingga kualitas dan kuantitas air bersih dapat terjaga, dan akan benar-benar lestari airku. Tidak ada hal besar yang dapat dihasilkan jika dan hanya jika tidak dimulai dari hal kecil.Untuk itulah mari kita mulai konservasi air sekarang dari diri sendiri. Blogger juga punya tanggungjawab sosial pula, sehingga selain mewacanakan gerakan konservasi air ini juga harus segera berkarya nyata.

Sumber Gambar :
- Gambar ilustrasi Biopori dari sini
- Gambar ilustrasi Sumur Resapan
di rumah saya

Sumber Referensi:














Wednesday, June 1, 2011

Kertas dan Penebangan Hutan

Dalam beraktivitas, salah satu yang dibutuhkan manusia adalah kertas. Kertas dibutuhkan untuk menulis, menggambar, ngeprint dan lain-lain. Dari waktu ke waktu permintaan kebutuhan akan kertas semakin meningkat seiring makin bertambahnya jumlah penduduk dan beragamnya aktivitas manusia.

Bahwa sampai saat ini kebutuhan akan kertas dipasok oleh pabrik-pabrik kertas yang tersebar seantero jagad dengan mengandalkan bahan baku dari pulp yang dibuat dari kayu cemara maupun kayu pinnus.

Proses pembuatan pulp dan perubahan pulp menjadi kertas memerlukan berbagai proses kimiawi dan mekanik, antara lain proses sulfit (dengan pemberian H2SO4, Na2SO4) dan proses alkali (penambahan NaOH maupun Na2S)) yang kesemuanya dalam rangka mencerna kayu sehingga menjadi pulp. Selain itu juga ada proses pemutihan (kelantang) dengan menggunakan klorin.

Proses tersebut adalah sarat dengan efek kerusakan lingkungan hidup (penebangan hutan) dan bahan kimia serta pasti menghasilkan senyawa limbah yang bersifat kimiawi pula, seperti hidrogen sulfida (H2S), dimetil sulfida (CH3SH3) serta senyawa kimia lain yang racun dan berbau tidak sedap (menyengat).

Inilah yang menjadikan pembuatan kertas berbenturan dengan kelestarian lingkungan hidup. Selain masalah penebangan pohon sebagai bahan baku juga efek kimia yang ditimbulkan tersebut. Sebab dalam memproduksi kertas dari kayu terdapat fakta dan data antara lain sebagai berikut (yang dikutip dari berbagi sumber literatur) :

  • Satu Batang pohon dapat menghasilkan oksigen yang dibutuhkan untuk 3 orang bernapas
  • Untuk memproduksi 1 ton kertas, dibutuhkan 3 ton kayu dan 98 ton bahan baku lainnya
  • Untuk memproduksi 1 Kilogram kertas dibutuhkan 324 liter air
  • Untuk memproduksi 1 ton kertas, dihasilkan gas karbondioksida (CO2) sebanyak kurang lebih 2,6 ton atau sama dengan emisi gas buang yang dihasilkan oleh mobil selama 6 bulan.
  • Untuk memproduksi 1 ton kertas, dihasilkan kurang lebih 72.200 liter limbah cair dan 1 ton limbah padat
  • Industri kertas adalah pemakai energi bahan bakar ke-3 terbesar di dunia

Menjawab hal tersebut, berbagai riset mulai dilakukan pada sekitar 2006-an lalu. Dan hasilnya, beberapa penelitian tersebut menyatakan bahwa dalam rangka mengurangi penebangan pohon dan efek limbah kimia, ada sebuah alternatif bahan baku kertas yakni dari Alga Merah (Gelidium amansii). Dalam prosesnya pun nyaris tidak bersentuhan dengan bahan kimia, hanya diperlukan bahan kimia netral seperti kaporit serta sewaktu proses pemutihan dengan menggunakan klorin.

Ketersediaan bahan baku (Alga Merah) juga relatif aman. Dibutuhkan tahunan bahkan puluhan tahun untuk menumbuhkan pohon, sedangkan Alga Merah hanya perlu waktu dalam hitungan bulan. Dan dapat dibudidayakan dengan mudah yakni pada perairan laut yang tenang. Indonesia memiliki banyak kawasan ini.
Jika telah ditemukan adanya bahan baku alternatif yang lebih ramah lingkungan maka langkah selanjutnya adalah mewujudkannya. Bahwa industri kertas harus beralih dari kayu ke alga merah ini sebagai bahan bakunya. Dan menuju hal ini diperlukan langkah konkret dan kepedulian dari berbagai pihak.

Peran para pihak
Peran pihak menjadi penting, setidaknya dalam pengamatan saya ini, pihak-pihak yang harus berperan serius antara lain : Pertama, jelas Pemerintah. Selaku pengambil kebijakan maka pemerintah harus berani mengambil sikap bahwa produksi kertas harus beralih dari kayu ke alga merah. Serta mengambil langkah guna mensupport produksi serta pengembangan riset Alga Merah ini.

Kedua, produsen kertas harus dengan sadar dan mau berpindah menggunakan Alga merah sebagai bahan baku. Ketiga, masyarakat pantai (nelayan) dapat mengembangkan budidaya Alga Merah ini, sebab ini jelas akan menjadikan peningkatan ekonomi. Keempat, perguruan tinggi dapat mengambil peran dalam pengembangan penelitian lebih mendalam.

Dan kelima, adalah MUI (Majelis Ulama Indonesia), sebagai institusi yang mengeluarkan “stempel” halal bagi sebuah produk maka MUI harus berani mengeluarkan “stempel” haram bagi produksi kertas yang berbahan baku dari kayu sebab merusak lingkungan hidup. Bahkan jika perlu semua produk yang dalam prosesnya merusak lingkungan, menindas buruh tidak diberikan label halal tersebut. Kira-kira bagaimana ya jika demikian?


Thursday, March 11, 2010

ACFTA dan Dampak Lingkungan Hidup

Disepakatinya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada Januari 2010 lalu setidaknya membuat banyak pihak khawatir. Para pengusaha mulai khawatir produk-produknya tidak bisa bersaing dengan produk-produk dari China. Lha wong belum ada ACFTA saja produk China telah membanjiri pasar Indonesia. Sedikit namun pasti menggeser dan menyingkirkan produk-produk lokal. Murahnya harga adalah alasan orang memilih produk dari China.

Jangankan para pengusaha yang bermodal besar dengan jaringan yang luar serta memiliki pasar yang lebih tertata, para petani pun merasakan dampaknya. Buah lokal lebih mahal dari buah impor. Apalagi jika ACFTA benar-benar mulai diberlakukan. Sudah dapat dipastikan semakin banyak produk-produk China membanjiri pasaran Indonesia. Ditambah dengan perilaku konsumen kita yang mementingkan gengsi daripada gizi jelas akan memilih buah dan makanan impor karena dianggap lebih bergengsi. Maka semakin terpuruklah pedagang kecil dan produsen pangan alias petani kita.

Dampak ACFTA bagi perekonomian bangsa ini memang luar biasa. Efek dominonya akan membuat gonjang-ganjing perekonomian nasional secara makro maupun mikro. Namun karena saya bukanlah pakar ekonomi maka saya tidak akan membahas hal itu. Saya hanya mengingatkan bahwa ada dampak yang lebih besar dan kompleks ketika ACFTA berlaku, yakni dampaknya terhadap lingkungan.

Ketika persaingan bebas digelar maka para produsen akan berlomba-lomba menekan biaya produksi demi mendapatkan harga murah. Biaya produksi dipangkas baik dari ongkos buruh, mengurangi bahan baku dan menurunkan kwalitas barang. Maka logis apa kata orang Jawa ana rega ana rupa, semakin murah harga barang maka semakin rendah kwalitas. Semakin rendah kwalitas maka semakin cepat rusak. Semakin rusak maka semakin banyak sampah menumpuk.

Ambil contoh kasus barang elektronik. Ketika barang dijual dengan harga murah dan kwalitas rendah maka hampir pasti tidak ada suku cadang alias spare part. Maka bisa dibayangkan ketika barang-barang elektronik yang rusak dan menjadi sampah, berapa banyak gunung-gunung sampah yang akan terbentuk? Bukankah ketika sebelum ACFTA saja sudah banyak barang elektronik dari China menjadi barang sekali pakai. Begitu rusak maka yo diguwak (dibuang – Ind). Ditambah ketika ACFTA benar-benar dilaksanakan. Artinya, lingkungan hidup menjadi terancam. Jangan kaget dan jangan heran ketika suatu saat akan ada tumpukan rongsokan kulkas, TiPi, HP, atau rongsokan sepeda motor yang menggunung karena sudah tidak bisa digunakan lagi.

Itu baru satu jenis barang, elektronik. Lha, ada juga pakaian, ada produk-produk pertanian seperti buah dan sayur maupun makanan siap saji alias instan. Semua berpotensi menumpuk sampah. Saat Apel Malang kalah dengan Apel Shangdong atau ketika Jeruk Medan tidak laku dibanding Jeruk Shanghai maka selain petani kita makin merugi, sampah juga semakin banyak.


Dalam pandangan saya sebagai kaumbiasa ini, bahwa ACFTA sebenarnya hanyalah memindahkan sampah dari negeri orang ke negeri kita. Dan itu ancaman serius yang paling nyata terhadap lingkungan hidup bangsa ini. Maka tiada kata lain adalah melawan ACFTA tersebut dengan tetap menggunakan produk-produk bangsa ini.


Sunday, January 3, 2010

Biopori dan Masalah Banjir

Iklim investasi perdagangan dan jasa serta industrialisasi Indonesia terus tumbuh dan berkembang. Hal ini menjadikan pembangunan sarana pra sarana kota harus terus ditingkatkan. Gedung-gedung perkantoran dan pusat-pusat perbelanjaan menjadi hal wajib yang harus ada terus bertambah. Pengerasan jalan dengan aspal dan beton terus dilakukan seiring meningkatnya volume kendaraan yang melintas.

Akan tetapi hal tersebut bukan tanpa masalah. Masalah yang kerap kali dijumpai di banyak kota (terutama kota besar) adalah terkait dengan air dan sampah serta polusi udara. Air meluap dimana-mana ketika hujan tiba. Sampah makin hari makin meningkat, di kota sekecil Solo saja volume sampahnya saat ini mencapai 250 ton per hari. Kondisi udara juga semakin panas karena polusi dari kendaraan bermotor yang lalu lalang dan kepulan asap industri.

Kondisi ini tercipta karena gencarnya pengerasan jalan dengan beton dan aspal yang berakibat pada tidak dapat meresapnya air ke dalam tanah. Ditambah dengan makin sempitnya drainase (saluran pembuangan) yang mana juga tidak lancar karena banyaknya tumpukan sampah yang dibuang ke sungai dan saluran air, serta makin menipisnya ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai resapan air dan paru-paru kota. Penurunan permukaan tanah karena pembangunan gedung-gedung tinggi juga menjadi salah satu penyebabnya.

Kondisi yang sudah sedemikian itu haruslah segera diantisipasi dan diatasi. Siapa yang harus mengantisipasi? Semua warga, pemerintah dan semua orang harus peduli dan mau memikirkan hal tersebut. Sebab ini adalah tanggung jawab bersama.

Ruang-ruang terbuka hijau harus dikembalikan lagi fungsinya sebagai resapan air dan paru-paru kota. Bersama-sama menyadari bahwa membuang sampah ke sungai adalah menciptakan masalah baru. Serta, dengan penggunaan barang-barang an-organik seperti tas plastik adalah memicu sampah yang tak terurai oleh alam, maka seminimal mungkin dalam penggunaannya. Penggunaan kendaraan bermotor pun harus sadar dan peduli lingkungan dengan berupaya meminimalisir penggunaan kendaraan bermotor atau dengan menggunakan bahan bakar organik atau bio-fuel.

Ada satu hal baru yang menarik dalam mengatasi meluapnya air (banjir) adalah dengan membuat biopori-biopori pada tanah. Biopori adalah lubang-lubang didalam tanah yang tercipta secara alamiah karena aktivitas organisme (fauna tanah), perakaran tanaman, rayap dan fauna tanah lainnya. Lubang-lubang tersebut akan berisi udara dan akan menjadi tempat lewatnya air.

Dan seperti dicetuskan oleh DR. Kamir R Brata (dari IPB) tentang metode lubang resapan biopori yaitu metode resapan air yang ditujukan untuk mengatasi banjir dengan cara meningkatkan daya resap air pada tanah. Peningkatan daya resap air pada tanah dilakukan dengan membuat lubang pada tanah dan menimbunnya dengan sampah organik untuk menghasilkan kompos. Sampah organik yang ditimbunkan pada lubang ini kemudian dapat menghidupi fauna tanah, yang seterusnya mampu menciptakan pori-pori di dalam tanah. Teknologi sederhana ini kemudian disebut dengan nama lubang resapan biopori. (sumber : wikipedia).

Artinya, biopori yang secara alamiah memang dapat terbentuk namun karena kendala berbagai hal seperti sudah rusaknya struktur tanah maka biopori ini dapat dibuat. Ini merupakan teknologi murah dan tepat guna dalam mengendalikan banjir. Dan ini tidak harus langsung dilakukan dalam skala besar. Setiap orang dapat membuatnya di halaman atau kebun rumahnya sebab pembuatannya cukup mudah, yakni dengan melubangi tanah setidaknya berdiameter 10-15 cm dengan kedalaman lubang 50-100 cm dan jarak antar lubang 50-100 cm. Sampah organik dapat selalu ditambah atau diambil dan diganti yang baru.

Metode ini pernah saya praktekan bersama teman-teman kuliah dulu di kampus saya di Solo. Di hutan buatan dan taman kampus Pertanian UNS Solo kami membuat puluhan biopori yang kami timbuni sampah organik dari dedaunan yang banyak berserakan di kampus. Hasil komposnya ada yang dipakai untuk media pertanaman tanaman hias dan media percobaan teman-teman saat penelitian dan skripsi serta ada sisanya dijual.

Bahwa mengubah hal besar harus dumulai dari hal kecil dan haruslah diawali dari diri kita sendiri. Kepedulian kita adalah awal pada perubahan besar terhadap perbaikan lingkungan kita.