Showing posts with label Magelang. Show all posts
Showing posts with label Magelang. Show all posts

Sunday, July 5, 2020

Masjid Agung Magelang

Masjid Agung Kota Magelang berada di sebelah barat Alun-alun Kota Magelang. Di wilayah Kauman, tepatnya. Berada di jantung Kota Magelang. Usianya telah ratusan tahun. Awalnya hanya berupa mushola (langgar) kecil, didirikan pada tahun 1650 oleh seorang Ulama dari Jawa Timur bernama Kyai Mudzakir. Makam beliau ada di sebelah barat masjid ini.

Pertama kali berdiri hanya ada fasilitas yang sangat sederhana. Bahkan tempat wudlu pun belum ada. Baru tahun 1779 dibangun sumur untuk berwudlu. Tahun 1797 dipugar dengan penambahan mimbar untuk khotbah dan tiang dari kayu jati yang didatangkan dari Bojonegoro. Pemugaran ini tertulis dalam prasasti yang ada di dalam masjid.


Seorang Doktor dari UGM, menyebut bahwa Raden Danoeningrat I, Bupati Magelang pertamalah yang merenovasi langgar ini menjadi masjid pada tahun 1810. Bangunan dengan arsitektur Belanda. Pada tahun 1871 masjid ditambahkan menara kecil dan serambi oleh RAA Danoeningrat III (Bupati III Magelang). Kemudian pada 1934 atas prakarsa Bupati V Magelang, RAA Danoesoegondo, dilakukan pemugaran besar-besaran. 

Bangunan yang kita lihat saat ini adalah hasil pemugaran tahun 1934, namun tanpa menara. Menara masjid setinggi 24 meter tersebut, baru dibangun pada tahun 1991 atas prakarsa Walikota Magelang, Bagus Panuntun.

Menurut penuturan Ketua Takmir Masjid, H. Djauhari, pada masa perang kemerdekaan, masjid ini digunakan sebagai markas tentara yang berperang melawan Belanda. Banyak tentara yang singgah di masjid ini saat mereka menuju Parakan untuk meminta senjata dan doa ke Kyai Subchi.

H. Djauhari juga menyatakan bahwa Kiblat masjid ini telah lurus dengan Makkah, sejak didirikan oleh Kyai Mudzakir. Ini adalah salah satu dari 3 (tiga) Masjid Agung di Jawa Tengah yang kiblatnya telah lurus, dua yang lain adalah Masjid di Grobogan dan Masjid Agung Jawa Tengah.





Foto dan Video adalah koleksi pribadi, diambil pada 4 Juli 2020

Tuesday, June 5, 2012

Kepel: Parfum Alami dan Anti Kanker

Awalnya saya heran dan takjub ketika pertama kali menginjakkan kaki di Magelang 7 tahun silam. Saya melihat pohon yang buahnya tidak menempel di dahan layaknya pohon-pohon lainnya, namun buahnya menempel pada batangnya. Subhanallah. Buah apakah gerangan ini, gumam saya. Lalu saya bertanya ke sana ke mari serta melakukan pencarian di internet.

Orang Jawa menamainya dengan Kepel (karena besar buahnya sebesar kepalan tangan) dalam bahasa Indonesia disebut dengan Burahol, diambil dari Stelechocarpus burahol (nama ilmiahnya).

Divisi
:
Spermatophyta
Filum (Sub Divisi)
:
Magnoliophyta (nama baru dari Angiospermae) – Tumbuhan berbiji terbuka
Kelas
:
Magnoliopsida (nama baru dari Dicotyledonae) – Tumbuhan berbiji belah/bercabang
Ordo (Bangsa)
:
Fabales – Tumbuhan berbunga
Famili (Suku)
:
Annonaceae
Genus (Marga)
:
Stelechocarpus
Spesies
:
Stelechocarpus burahol (Blume) Hook. & Thomson

Daging buah kepel atau burahol ini mengandung saponin, flavonoida dan polifenol yang berfungsi dapat meluruhkan air seni serta menjadikan keringat tidak berbau. Sehingga selain sebagai parfum alami serta menjadikan air seni tidak berbau juga dapat mengobati radang pada ginjal. Maka tidak mengherankan apabila konon buah ini adalah kesukaan kerabat keraton Jogja dan Solo. Para puteri keraton selalu mengonsumsi buah ini agar keringatnya tidak berbau. Selain itu, buah kepel juga digunakan untuk proses KB alamiah sebab dapat mengurangi kesuburan sementara pada perempuan.

Daunnya adalah penangkap radikal bebas (anti-kanker) karena mengandung zat sitotoksik antara lain acetogenin, styryl lactons dan isoflavon. Dimana acetogenin berperan dalam mengganggu permeabilitas mitokondria sel kanker dan pengaturan apoptosis sel kanker. Styryl lactons berperan dalam peningkatan tumor supressor gene (anti tumor genesis), dan isoflavon berperan dalam pengendalian sifat estrogenik sel kanker.

Namun tanaman ini sudah cukup langka. Hanya sedikit yang tersisa di kawasan keraton Jogja dan Solo. Sebenarnya tanaman Kepel dapat tumbuh subur pada tanah lembab dataran rendah hingga sedang (100-610 m dpl). Dan ini banyak dijumpai di Pulau Jawa dan Semenanjung Malaya. Perkembangbikannya hanya dengan biji. Proses cangkok dan stek (vegetatif) tidak berhasil, maka saat ini sedang dicoba dikembangbiakan dengan metode kultur in vitro atau kultur jaringan. Tanaman kepel relatif kebal penyakit (sampai saat ini belum ada laporan tentang jenis penyakitnya) sementara hama tanaman ini adalah kelelawar dan binatang pengerat (misal: tikus).

Ciri-ciri pohon Kepel adalah pohonnya tegak dengan tinggi mencapai 25 M. Daunnya berwana hijau gelap berbentuk lanset (bulat telor), tidak berbulu dan merotal tipis dengan pangkal daun panjangnya mencapai 1,5 cm. Tajuk atau kanopinya berbentuk kubah meruncing (layaknya pohon cemara). Cabang-cabangnya mendatar, sementara batangnya berwarna coklat cenderung hitam dengan diameter berkisar 40 cm.

Bunganya muncul pada tonjolan-tonjolan batang adalah bunga yang berkelamin tunggal, mula-mula berwarna hijau kemudian berubah menjadi keputih-putihan. Bunga jantannya terletak di batang sebelah atas dan di cabang-cabang yang lebih tua, berkumpul sebanyak 8-16 kuntum berdiameter 1 cm. Sementara bunga betinanya hanya berada di pangkal batang, diameternya mencapai 3 cm.

Buahnya bergerombol antara 1-13 buah. Panjang tangkai buahnya mencapai 8 cm; buah yang matang hampir bulat bentuknya, berwarna kecoklat-coklatan, diameternya 5-6 cm, dan berisi sari buah yang dapat dimakan. Bijinya berbentuk menjorong, berjumlah 4-6 butir, panjangnya sekitar 3 cm. Berat segar buah antara 62-105 g, dengan bagian yang dapat dimakan sebanyak 49% dan bijinya 27% dari berat buah segar. Buah kepel dianggap matang jika digores kulit buahnya terlihat berwarna kuning atau coklat muda.

Sumber referensi:
Potensi In Vitro Zat Sitotoksik Anti Kanker Daun Kepel terhadap Carcinoma Colrectal (Makalah, Fak. Kedokteran UNS, 2008)
Anatomi Tumbuhan dan Botani Umum (Buku Pegangan Kuliah, Fak. Pertanian UNS, 1999)

Wednesday, April 18, 2012

Gunung Pring

Gunung Pring, adalah sebuah desa yang terletak di kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang dan sejauh 1 Km dari ibukota Kec Muntilan. Desa ini dinamakan Gunung Pring karena di ditengah-tengah desa ada sebuah bukit yang banyak ditumbuhi pring (pohon bambu) yang sangat rimbun. Gunung Pring memiliki ketinggian 400 m diatas permukaan laut.

Di puncak Gunung Pring terdapat sebuah kompleks makam milik Kraton Yogyakarta. Di sini dimakamkan salah seorang wali tanah Jawa, yakni Kyai Raden Santri (Pangeran Singosari Mataram), salah seorang putra Ki Ageng Pemanahan, dan juga merupakan keturunan Prabu Brawijaya V. Di dalam kompleks makam tersebut terdapat sebuah Mushala yang diberi nama Mushala Pangeran Singasari.

Untuk mencapai kompleks pemakaman tersebut para pengunjung harus berjalan kurang lebih sekitar 1 km dengan melalui anak tangga yang sudah ada. Sepanjang perjalanan banyak bertebaran kios-kios yang menjual pakaian maupun makanan serta buah-buahan. Dari atas gunung Pring kita dapat memandang Pegunungan Menoreh yang gagah menjulang.

Selain itu, di kawasan desa Gunung Pring terdapat sebuah Pondok Pesantren salaf yang sudah sangat tua, yakni Pesantren Watu Congol yang didirikan oleh Kyai Nahrowi Dalhar. Mbah Dalhar begitu panggilan akrabnya adalah mursyid tarekat Syadziliyah dan dikenal sebagai seorang yang wara’ dan menjadi teladan masyarakat.
Kiai Haji Dalhar , Watucongol, Magelang dikenal sebagai salah satu guru para ulama. Kharisma dan ketinggian ilmunya menjadikan rujukan umat Islam untuk menimba ilmu. Mbah Dalhar , begitu panggilan akrabnya adalah sosok yang disegani sekaligus panutan umat Islam, terutama di Jawa Tengah. Salah satu mursyid tarekat Syadziliyah ini dikenal juga menelorkan banyak ulama yang mumpuni.

Mbah Dalhar dilahirkan pada 10 Syawal 1286 H atau 10 Sawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M) di Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Lahir dalam lingkungan keluarga santri  yang taat. Sang ayah yang bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo adalah cucu dari  Kyai Abdurrauf. Kekeknya mbah Dalhar dikenal sebagai salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Adapun nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.


Saturday, June 4, 2011

Nasi Godog Magelang

Jika Anda bertandang ke daerah Magelang, maka sempatkan untuk mencicipi kuliner khas Magelang. Selain terkenal dengan gethuk-nya, Magelang juga kondang dengan keberadaan nasi godong atau nasi rebus.

Proses pembuatan nasi godog adalah kuah yang dimasukkan bersama bumbu rempah-rempah dipanaskan diatas bara arang, setelah itu dimasukkan nasi putih dan mie kemudian dimasak dengan kuah yang sudah diberikan bumbu-bumbu rempah-rempah tadi hingga matang, setelah matang ditambahkan potongan daging ayam dan telor. Kadang-kadang ditambahkan dengan rempelo ati serta ceker. Semua tergantung permintaan pembeli.

Para penjual nasi godog dapat ditemui di warung-warung tenda kaki lima yang tersebar di seantero Magelang; diantaranya di sekitar alun-alun Kota Magelang, pusat jajanan Muntilan, sekitar Candi Borobudur dan banyak tempat lainnya. Mereka buka pada sore hingga malam hari. Harganya pun tak mahal yakni berkisar antara Rp. 5.000 hingga Rp. 8.000 saja.

Tuesday, April 26, 2011

Sub Terminal Agribisnis

Indonesia adalah negara agraris. Setidaknya ada 51% atau sekitar 26 juta KK adalah petani, demikian data Deptan menyebutkan. Sektor pertanian adalah sektor penyumbang PDRB terbesar ketiga di Indonesia, setelah sektor industri pengolahan dan sektor jasa hotel-restoran. Sektor ini merupakan penopang dan penyumbang PDRB terbesar di Kabupaten Magelang yakni mencapai 30,82% pada tahun 2007.
Meski demikian, keadaan ini belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Sebagian besar petani kita adalah petani gurem yang mendiami kawasan pedesaan dataran rendah dan tinggi. Permasalahan utamanya adalah terkendala pada proses pemasaran.

Pemasaran hasil sebagai faktor penentu keberhasilan sebuah usaha masih menjadi kendala utama bagi petani kita. Posisi petani dalam rantai tata niaga (pemasaran) sangat lemah.
Beberapa sebab yang menjadikan lemahnya posisi petani dalam rantai tata niaga adalah pertama, market share (pangsa pasar) petani relatif terbatas, sehingga petani hanya akan bertindak sebagai penerima harga, bukan penentu harga. Kedua, komoditas yang dihasilkan umumnya cepat rusak, sehingga mengharuskan untuk menjualnya secepat mungkin. Ketiga, lokasi produksi yang relatif terpencil sehingga kesulitan akses transportasi pengangkutan hasil produksi.

Faktor keempat adalah kurangnya informasi harga, kualitas dan kuantitas yang diinginkan oleh konsumen, sehingga membuat petani dengan mudah diperdaya oleh lembaga-lembaga pemasaran yang berhubungan langsung dengan petani. Kelima, kebijakan pemerintah masih jauh dari menguntungkan petani. Kebijakan-kebijakan yang ada lebih menguntungkan mereka-mereka yang terlibat dalam rantai tata niaga ketimbang petani. Dan faktor kelima inilah yang selalu dipandang menjadi biang keladi miskinnya kaum tani.

Melihat hal demikian itu, banyak kalangan yang terus mendesak pemerintah agar membuat kebijakan yang dapat menguntungkan petani. Dan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, pendekatan kebijakan berupa kelembagaan pasar lelang mulai digunakan sebagai sebuah upaya pengembangan produsen (petani), yakni dengan Sub Terminal Agribisnis (STA). Pemasaran yang terjadi di STA diharapkan lebih efisien dibandingkan dengan pemasaran di pasar-pasar biasa. Kegiatan jual beli yang berlangsung di STA terjadi antara penjual produk hortikultura sayuran dataran tinggi dalam hal ini produsen (petani) atau pedagang pengumpul dengan pembeli baik pedagang besar maupun konsumen dengan cara negosiasi (tawar menawar)dengan patokan harga dari petani, sehingga diharapkan petani tidak dirugikan.

Pola pendekatan kebijakan ini memang cukup signifikan bagi pengembangan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan petani. Kebutuhan pasar bagi produk-produk pertanian (holtikultura) akan tertampung dan terpasarkan. Lokasi STA yang relatif strategis dan dapat dijangkau dengan mudah bagi penjual (petani) dan pembeli. Dengan sistem pengelolaan yang sederhana dan tanpa campur tangan pihak luar, menjadikan mata rantai birokrasi menjadi efisien.

Selain itu, dengan model STA ini petani selaku penjual dapat membuat margin (patokan) harga terhadap produk mereka. Sehingga, kesejahteraan petani akan lebih meningkat.
Tulisan ini merupakan cuplikan dari tulisan saya di HU Suara Merdeka, 23 April 2009, pada kolom Wacana Lokal

Thursday, June 10, 2010

Candi Asu

Candi Asu Sengi adalah sebuah candi peninggalan Mataram Kuno dari trah Wangsa Sanjaya (Mataram Hindu). Berada di lereng Gunung Merapi sebelah barat di tepian Sungai Pabelan, tepatnya di desa Sengi, Kec. Dukun Kab Magelang, atau sekitar 5 Km dari Ketep Pass ke arah selatan (menuju arah kota Muntilan), tidak jauh dari Jalur SSB (Solo Selo Borobudur).
Nama Candi Asu sebenarnya baru diberikan oleh masyarakat sekitar sewaktu candi ini pertama kali ditemukan. Nama sebenarnya (nama waktu dulu dibangun) belum diketahui secara pasti.

Nama Candi Asu diberikan karena sewaktu pertama kali ditemukan ada sebuah patung Lembu Nandhi yang wujudnya telah rusak dan lebih mirip menyerupai Asu [Anjing] maka warga menyebutnya dengan Candi Asu. Dari beberapa prasasti yang ditemukan di candi tersebut, diantaranya Prasasti Sri Manggal I (874 M) dan Sri Manggala II (876 M) serta Prasasti Kurambitan maka diperkirakan candi ini dibangun pada sekitar tahun 869 Masehi (semasa Rakai Kayuwangi).

Candi Asu berdiri menghadap ke arah barat, berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Atap candi sudah tidak ada, dan dibagian dalam candi ada sebuah sumur yang kedalamannya mencapai 3 meter. Tak banyak memang informasi mengenai candi Asu ini. Mungkin karena dirasa hanya sebuah candi kecil maka sangat sedikit yang berminat menelitinya.

Wednesday, June 2, 2010

Sejarah Magelang

Seperti kita ketahui bersama saat ini, bahwa Magelang terdapat dua wilayah administratif, yakni Kota Magelang dan Kabupaten Magelang. Banyak timbul pertanyaan, sebenarnya lebih dahulu mana antara kota atau kabupaten Magelang? Dan lebih tua mana diantara keduanya? Dan mengapa kok bisa sampai ada dua seperti itu?

Berikut ini adalah sedikit mengenai pengetahuan saya terkait sejarah Magelang, berikut ini adalah sedikit hasil investigasi saya. Ada beberapa sumber dan argumentasi yang dapat digunakan untuk menelusurinya.

Pertama, Hasil penelitian Museum Nasional dan Museum Radya Pustaka Surakarta Hadiningrat, bahwa keberadaan Magelang diawali dengan desa perdikan (kawasan bebas pajak) bernama Mantyasih (saat ini disebut dengan daerah Mateseh). Mantyasih sendiri memiliki arti Beriman dalam Cinta Kasih. Yang mendasari sumber ini adalah Prasasti POH, Prasasti GILIKAN dan Prasasti MANTYASIH. Ketiganya merupakan prasasti yang ditulis diatas lempengan tembaga, pada zaman Mataram Kuno era Wangsa Sanjaya atau Mataram Hindu saat pemerintahan Raja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910 M). Dimana didalam prasasti ini disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama Desa Glangglang. Mantyasih inilah yang kemudian berubah menjadi Meteseh, sedangkan Glang-glang berubah menjadi Magelang.
Dalam Prasasti Mantyasih berisi antara lain, penyebutan nama Raja Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka 829 Çaka bulan Çaitra tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis hari Senais Sçara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi tanggal 11 April 907. Dalam Prasasti ini disebut pula Desa Mantyasih yang ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung sebagai Desa Perdikan atau daerah bebas pajak yang dipimpin oleh pejabat patih. Juga disebut-sebut Gunung SUSUNDARA dan WUKIR SUMBING yang kini dikenal dengan Gunung SINDORO dan Gunung SUMBING.
Dan tanggal inilah (11 April 907) yang disahkan oleh Pemerintah Kota Magelang sebagai Hari Jadi Kota Magelang (berdasarkan Perda No. 6/1989). Maka usia Kota Magelang adalah 1103 tahun pada 2010 ini.
Kedua, ketika Inggris menguasai Nusantara pada 1801, dijadikanlah Magelang sebagai pusat pemerintahan setingkat Kabupaten dan diangkatlah Mas Ngabehi Danukromo sebagai Bupati pertama. Bupati ini pulalah yang kemudian merintis berdirinya Kota Magelang dengan membangun Alun – alun, bangunan tempat tinggal Bupati serta sebuah masjid. Dalam perkembangan selanjutnya dipilihlah Magelang sebagai Ibukota Karesidenan Kedu pada tahun 1818. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota pada tahun 1918, perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927.

Namun, karena tanggal dan bulannya masih belum diketahui secara pasti maka tahun 1801 tidak ditetapkan menjadi Hari Jadi Kabupaten Magelang. Pada saat ini, di Kabupaten Magelang lebih dikenal adanya Hari Jadi Kota Mungkid dari pada Hari Jadi Kabupaten Magelang. Setidaknya, ini terlihat dari perhelatan peringatan hari bersejarah tersebut oleh Pemerintah Kabupaten Magelang yakni pada tanggal 22 Maret 1984 (merujuk pada PP 21/1982, Kecamatan Mungkid adalah ibukota baru bagi Kabupaten Magelang, diresmikan oleh Gubernur Jawa Tengah pada 22 Maret 1984).

Ketiga, Pasca kemerdekaan berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1948 Kota Magelang berstatus sebagai Ibukota Kabupaten Magelang. Namun berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 1950, tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota Kecil dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat, bahwa Kota Magelang berdiri sendiri sebagai daerah yang diberi hak untuk mengatur Rumah Tangga sendiri. Sehingga ada kebijakasanaan untuk memindahkan Ibukota Kabupaten Magelang ke daerah lain. Selain itu dasar pertimbangan lainnya adalah nantinya pemindahan Ibukota lebih berorientasi pada startegi pengembangan wilayah yang mampu menjadi stimulator bagi pertumbuhan dan perkembangan wilayah.

Selanjutnya dari 4 alternatif Ibukota yang dipersiapkan yaitu Kecamatan Mungkid, Muntilan, Secang dan Mertoyudan, akhirnya Desa Sawitan Kecamatan Mungkid terpilih untuk menjadi Ibukota Kabupaten Magelang dengan nama Kota Mungkid berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 1982.