Saturday, November 16, 2019

Masjid Al Azhar, Masjid Tertua di Sumba

Masjid Al Azhar berada di Kabupaten Sumba Barat, tepatnya di Waikabubak. Masjid ini dibangun pada tahun 1911. Bahan yang digunakan dari bambu yang dibelah dan dipipihkan sebagai dindingnya. Atapnya dengan alang-alang yang dikeringkan. Bentuk awal bangunan masjid ini seperti Uma Bakolu, rumah khas Sumba.

Dalam berbagai literatur dan sumber yang dicari, tidak dapat ditemukan siapa yang memprakarsai pembangunan masjid ini dulunya. Dalam sumber Kementerian Agama dan Takmir Masjid juga tidak dapat diketahui siapa pemrakarsanya. Foto atau lukisan lama juga tidak temukan, hanya ada foto tahun 1937 yang dapat dirujuk sebagai sumber sejarah.

Namun sayangnya kini, bentuk asli masjid ini sudah tidak nampak lagi. Setelah mengalami rehab beberapa kali, bangunan masjid ini diubah dengan batu bata. Rehab pertama di tahun 1937 yang mengganti atap ilalang dengan seng. Tahun 1970 diganti dindingnya dengan batu bata permanen. Kemudian di tahun 1980 direhab kembali, dan ditetapkan sebagai masjid agung Sumba Barat. Penetapan ini diprakarsai oleh Haji MBH Algadri, salah satu tokoh di sana. Dan masjid ini dinamai dengan Al Azhar.

Masjid Al Azhar Sumba Barat, Tahun 1937


Luasan masjid seluas 460M2 dan luas lahan 1.570 M2. Menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti penyaluran zakat, infaq, shodaqoh, penyelenggaraan pengajian, madrasah. Pada saat ini, ketika sholat Jum'at, jalan di depan masjid Al Azhar ditutup untuk parkir kendaraan jamaah.









Foto adalah koleksi pribadi, diambil pada 15 dan 16 November 2019


Friday, November 15, 2019

Uma Leme, Rumah Adat Suku Mbojo, Bima


Uma Leme, atau Rumah Runcing adalah rumah adat Suku Mbojo, Bima. Disebut Uma Leme karena atapnya berbentuk runcing mirip dengan puncak gunung yang berbentuk limas. Biasanya dulu di sisi rumah tersimpan alat-alat persembahan dan kesenian. 

Keunikan Uma Leme adalah atap dan dinding rumah menjadi satu kesatuan. Atapnya sekaligus berfungsi sebagai dinding rumah. Dibuat dari alang-alang yang dirajut tebal, sehingga tidak akan berasa dingin dan panas ketika berada di dalamnya. Bagian rumah sebagai tempat tidur, ukurannya 2x2 meter. Rumah juga juga sebagai tempat memasak, menyimpan padi dan segala jenis bahan makanan seperti palawija dan padi. Bagian bawah digunakan sebagai tempat musyarawah dan upacara adat serta upacara ketika ada keluaga yang meninggal.

Keunikan lain adalah pintu rumah di bagian yang tersembunyi, yakni di pojok atau sudut ruang atas. Tangga untuk naik ke rumah tidak selalu terpasang. Dalam kebiasaan masyarakat Donggo ada tanda yang hanya diketahui oleh keluarga saja dimana tangga ini disimpan. Ini demi keamanan dan juga tanda bahwa pemilik rumah sedang pergi atau berada di rumah. Jenazah keluarga yang meninggal akan diturunkan melalui atap rumah dan ada batu sebagai tempat tinggal roh leluhur yang akan dilakukan upacara pemujaan pada waktu tertentu yang disebut Toho Dore.



Saat ini sudah tidak banyak rumah ini. Salah satu daerah yang masih terdapat Uma Leme ini di Desa Mbaja, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima.







Di Desa Mbaja ini para warga desanya beragama Islam, Katolik dan Kristen. Mereka berdampingan hidup rukun dalam satu komunitas. Jika ada masalah keagamaan, maka di Uma Leme inilah dilakukan musyawarah untuk membahas hal tersebut.




Wednesday, November 13, 2019

Sanolo, Sentra Garam di Bima

Apabila kita menuju Bima, Nusa Tenggara Barat dengan menggunakan pesawat, pada saat akan mendarat, kita akan melihat hamparan tambak garam yang luas sepanjang mata memadang. Itulah tambak garam milik warga di kawasan Sanolo.

Sanolo adalah sebuah Desa di Kabupaten Bima. Lokasinya secara administratif berada di Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima. Desa Sanolo adalah sentra garam di Kabupaten Bima. Mayoritas warga desa ini adalah petani garam. Garam adalah andalan penghasilan bagi warga desa ini.

Pada saat musim kemarau seperti ini, hamparan tambak garam sungguh indah disaksikan, baik dari udara maupun saat kita mendatangi lokasi ini. Saya berkesempatan mendatangi lokasi ini pada tanggal 10 November 2019 lalu. 



Hamparan tambak sungguh memanjakan mata. Angin kencang di tambak tidak membuat terasa panas, walaupun matahari masih bersinar terik pada saat menjelang sore. Pukul setengah 5 sore. Berikut ini sedikit yang berhasil direkam kamera handphone saya.


Petani sedang melakukan Panen Garam












Foto dan Video adalah koleksi pribadi







Sunday, April 21, 2019

Rumah Betang di Sungai Utik, Kapuas Hulu

Sungai Utik adalah salah satu dusun di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Di kawasan ini terdapat sebuah rumah betang yang dibangun sekitar tahun 1930an, dan telah mengalami renovasi pada 1970. 

Rumah Betang Sungai Utik, Kapuas Hulu ini didirikan oleh Suku Dayak Iban. Dayak Iban adalah bagian dari suku Ibanik grup yang tersebar di Serawak, Malaysia. Mereka datang ke Kapuas Hulu yang mayoritas dihuni oleh subsuku Dayak Tamambaloh. Kedua suku ini membuat perjanjian damai dan hidup rukun. Menurut beberapa sumber, bahwa oleh para tokoh adat Tamambaloh, masyarakat Iban diberikan tanah di beberapa hulu anak sungai untuk ditempati, dijaga dan dirawat. 

Banyak yang bertanya, mengapa masyarakat Dayak (hampir) selalu tinggal di rumah betang dulunya.

Dalam beberapa catatan dan sumber disebut bahwa rumah betang ini adalah bentuk konkret tentang tata pamong desa, organisasi sosial dan sistem kemasyarakatan. Mereka yang tinggal di rumah betang adalah mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dalam marga atau suku. Sistem nilai budaya yang dibangun dalam kehidupan rumah batang itu menyangkut soal makna kehidupan, pekerjaan, karya dan amal perbuatan bahkan juga hubungan manusia dengan alam dan relasi dengan sesama.

Hal ini sama dan masih berlaku di rumah betang Sungai Utik ini. Rumah Betang Sungai Utik ini terdapat 28 Bilik yang dihuni oleh masing-masing keluarga. Dalam satu bilik dapat terdiri dari beberapa keluarga.

Rumah betang Sungai Utik dikelilingi oleh hutan adat yang masih terjaga yang luasnya lebih dari 9.000 hektar. Masyarakat di sini mengandalkan air yang mengalir di Sungai Utik untuk penghidupan mereka. Maka dari itu mereka sangat berkepentingan menjaga kelestarian hutan, karena tanpa hutan maka sungai akan hilang airnya. Hutan adalah supermarket kehidupan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sumber ketahanan pangan.

Masyarakat Iban di Sungai Utik menetapkan pembatasan penebangan kayu dan hanya diperuntukan untuk membangun rumah. Satu kepala keluarga hanya diizinkan menebang maksimal 30 batang kayu dalam satu tahun. Sanksi adat akan dikenakan bagi siapa saja yang melanggar, termasuk mengusik satwa juga akan dikenakan sanksi adat.

Rumah Betang Sungai Utik hingga sekarang masih dihuni dan telah ditetapkan sebagai cagar budaya dengan SK Bupati Kapuas Hulu Nomor 212/2012. Rumah Betang Sungai Utik adalah merupakan salah satu contoh kebudayaan hutan hujan tropis yang tersisa.

Untuk mendatangi lokasi ini, bagi yang berasal dari luar Kalimantan Barat, dapat melakukan penerbangan dari Pontianak ke Putussibau. Dari Putussibau dilanjutkan dengan moda transportasi darat sejauh 75 Km ke arah utara. 

Disarikan dari berbagai sumber
Foto adalah koleksi pribadi

Tuesday, March 19, 2019

Masjid Raya Senapelan, Pekanbaru

Masjid Raya Senapelan, Pekanbaru adalah masjid tertua di Pekanbaru. Masjid ini dibangun pada tahun 1762 Masehi oleh Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, Sultan IV Kerajaan Siak Sri Indrapura. Proses pembangunan diteruskan oleh puteranya, Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah, Sultan V Kerajaan Siak Sri Indrapura.

Masjid Raya Senapelan terletak di Jalan Senapelan, Kecamatan Senapelan, Kota Pekanbaru atau orang sering menyebut kawasan ini dengan sebutan pasar bawah. Orang juga sering menyebut masjid ini dengan Masjid Raya Pekanbaru. Masjid ini awalnya bernama Masjid Alam, sesuai dengan nama kecil Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah.

Keberadaan masjid ini membuktikan bahwa pusat pemerintahan Kerajaan Siak Sri Indrapura pernah dipindahkan dari Mempura Besar ke Bukit Senapelan (Kampung Bukit). Dalam pemindahan pusat kerajaan, dalam adat Melayu, selalu diikuti dengan pembangunan Istana Raja, Balai Kerapatan Adat dan Masjid. Ketiganya wajib dibangun sebagai representasi dari unsur pemerintahan, adat dan ulama (agama). Hal ini sering disebut dengan Tali Berpilin Tiga atau Tungku Tiga Sejarangan.






Masjid ini telah mengalami beberapa kali renovasi. Pada 1755 dilakukan pelebaran daya tampung masjid. Tahun 1810 pada saat Sultan Assaidis Syarif Ali Abdul Jalil Saifuddin berkuasa dilakukan penambahan fasilitas tempat berteduh untuk para peziarah makam di sekitar masjid. Pada tahun 1940, dibuat pintu gerbang yang menghadap ke timur. 

Sumber: http://www.lam-pekanbaru.org/2019/01/01/sejarah-kota-pekanbaru/

Pada tahun 2009, bangunan masjid diratakan dengan tanah, dan dibangun ulang. Dari proyek Pemerintah Provinsi Riau ini hanya ada tersisa 26 tiang di sisi timur, selatan, barat dan utara serta ada 6 (enam) tiang penyangga tengah yang kini dijadikan bentuk menara. Jadi kita akan mendapati menara sejumlah 6 di dalam masjid Senapelan ini. Bentuk asli bangunan sudah sangat berbeda dengan yang kita lihat sekarang ini. Dulunya bangunan masjid berarsitektur melayu kuno.




Tidak hanya fisik bangunan yang dibongkar, termasuk ornamen hiasannya juga dibongkar. Proyek ini benar-benar tidak mempertimbangkan bahwa ini adalah bangunan cagar budaya. Arsitektur melayu kuno dengan ornamen yang terpengaruh timur tengah, kini tinggal kenangan.

Dengan kondisi ini maka Masjid Raya Senapelan, Pekanbaru berubah statusnya dari Bangunan Cagar Budaya menjadi Struktur Cagar Budaya. Ini sesuai dengan rekomendasi para ahli cagar budaya nasional. Ini telah tertuang dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 209/M/2017 tentang Status Bangunan Cagar Budaya Masjid Raya Pekanbaru tertanggal 3 Agustus 2017.

Disarikan dari berbagai sumber
Foto Adalah Koleksi Pribadi