Catatan Kritis Penerapan Sistem Kerja pada Pemerintah Daerah: Mewujudkan Birokrasi Lincah dan Berorientasi Hasil
Oleh: Rokhmad Munawir, Head of Programme YAPPIKA (2025)
Pendahuluan
Penerapan Sistem Kerja pada Instansi Pemerintah, sebagaimana diatur dalam PermenPANRB Nomor 7 Tahun 2022, merupakan langkah strategis pasca-penyederhanaan struktur organisasi dan penyetaraan jabatan di lingkungan birokrasi
Namun, transisi menuju sistem kerja berbasis Jabatan Fungsional (JF) dan tim kerja kolaboratif ini tidak luput dari tantangan, yang berpotensi menimbulkan dampak negatif yang perlu dicermati, baik bagi masyarakat penerima layanan maupun bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) itu sendiri.
Dampak Penerapan Sistem Kerja terhadap Masyarakat
Secara umum, sistem kerja yang baru menawarkan dampak positif yang signifikan, terutama dari aspek Kualitas Layanan Publik dan Kecepatan dalam Layanan Publik
Dampak Positif (Potensi Perbaikan Layanan)
Pemanfaatan Teknologi: Pemanfaatan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) dan Mal Pelayanan Publik didorong, seiring dengan optimalnya JF dalam tim lintas fungsi
. Pengambilan Keputusan Cepat: Penghilangan hambatan hirarki struktural yang panjang memungkinkan pengambilan keputusan menjadi lebih cepat di tingkat Pejabat Penilai Kinerja (PPK) atau Pejabat Level I/II
. Hal ini berarti produk kebijakan atau layanan teknis yang dihasilkan berpotensi lebih akurat dan handal bagi masyarakat Fleksibilitas Organisasi: Birokrasi menjadi lebih lincah (agile)
. Penugasan JF lintas unit (sesuai Pasal 10 Permen) memungkinkan Instansi Daerah menangani isu-isu prioritas daerah, seperti pembentukan Tim Percepatan Investasi atau Tim Penanganan Stunting, tanpa perlu mengubah struktur organisasi formal .
Dampak Negatif (Kesenjangan dan Inkonsistensi)
Meskipun demikian, terdapat beberapa risiko dan tantangan yang berpotensi memengaruhi masyarakat:
Akses Digital yang Tidak Merata: Ketergantungan pada sistem digital yang tidak merata berpotensi mengeksklusi kelompok rentan (seperti lansia atau masyarakat tanpa akses internet stabil) karena mengabaikan layanan manual yang memadai
. Kualitas Pengawasan Lapangan Menurun: Di beberapa daerah, bisa terjadi kekosongan fungsi pengawasan di tingkat operasional (Eselon IV dihilangkan), dan peran pengawasan harian belum sepenuhnya diinternalisasi oleh JF
. Ini menyebabkan keluhan teknis tidak terselesaikan dengan baik Inkonsistensi Layanan: Inkonsistensi kualitas dan persyaratan layanan dapat terjadi jika Tim Kerja menafsirkan prosedur secara berbeda karena SOP belum terintegrasi atau tim belum terlatih
Partisipasi Publik Formalitas: Mekanisme kerja yang kolaboratif dapat meningkatkan kualitas produk hukum
. Namun, Pejabat Daerah berisiko memandang masukan masyarakat sebagai tidak relevan, yang dapat mengakibatkan intensitas dialog dengan publik berkurang dan partisipasi menjadi sekadar formalitas . Fokus Karir Mengurangi Pelayanan: Fokus berlebihan ASN pada pengumpulan Angka Kredit atau pengisian Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) demi jenjang karir dapat mengurangi fokus pelayanan masyarakat
Tantangan Internal Birokrasi dan Dampaknya terhadap ASN
Sistem kerja baru ini juga membawa tantangan signifikan di tingkat internal birokrasi dan bagi karir ASN, khususnya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Kultur Kinerja dan Pengelolaan Kinerja
Penerapan sistem kerja yang berfokus pada Pengelolaan Kinerja yang berorientasi hasil, bukan lagi pada kegiatan rutin, mendorong JF untuk berpikir strategis
Tantangan internal juga mencakup perlunya kesamaan persepsi dan penyesuaian budaya kerja
Dampak terhadap PPPK
PermenPANRB No. 7 Tahun 2022 menjadikan peran PPPK strategis sebagai JF dan eksekutor utama program-program teknis pemerintah (Pasal 13)
Namun, beberapa isu kritis muncul:
Ketidakjelasan Penugasan: Pada tahap transisi, banyak PPPK menghadapi ketidakjelasan penugasan, dan penempatan mereka dalam Tim Kerja terkadang tidak didasarkan pada kompetensi murni, melainkan karena kekurangan personel pasca-penyederhanaan
Kompleksitas E-Kinerja: PPPK, yang sebagian besar adalah tenaga teknis lapangan (Guru, Nakes, Penyuluh), menghadapi kesulitan dalam menerjemahkan pekerjaan harian mereka menjadi Rencana Hasil Kerja (RHK) yang terukur dan berdampak
. Hal ini menimbulkan kecemasan karir karena kinerja yang tidak terukur dapat memengaruhi perpanjangan kontrak Disparitas Tugas (PNS vs. PPPK): Meskipun Permen mendorong penugasan berdasarkan kompetensi, di beberapa Instansi Daerah, terdapat kecenderungan untuk memberikan penugasan yang lebih penting atau strategis kepada PNS yang telah disetarakan menjadi JF dibandingkan kepada PPPK, meskipun keduanya memiliki jenjang dan kompetensi yang sama
.
Isu Disparitas Antar Daerah
Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada komitmen Kepala Daerah dan kapasitas SDM lokal
Rekomendasi
Untuk mengoptimalkan penerapan Sistem Kerja ini dan memitigasi dampak negatif yang ada, YAPPIKA merekomendasikan tiga langkah utama:
Mengukur Dampak SPBE Secara Riil: Pemerintah perlu melakukan pemetaan antara kecepatan dan kualitas layanan publik daerah dengan tingkat adopsi dan integrasi SPBE untuk memverifikasi efektivitas sistem kerja karena digitalisasi
Melibatkan Stakeholder dalam Evaluasi Kinerja: Melibatkan organisasi masyarakat sipil, akademisi, media, dan komunitas warga dalam evaluasi kinerja JF di daerah (sebagaimana diamanatkan Permen) untuk menilai dampak kinerja mereka terhadap outcome publik, seperti tingkat kepuasan layanan publik dan kecepatan penanganan pengaduan
. Menyusun Peta Jalan Budaya Kerja: Kementerian PANRB perlu membuat panduan yang fokus pada cara membangun kultur kolaboratif dan orientasi hasil di tingkat daerah pasca-penyetaraan, melengkapi panduan teknis yang sudah ada
.
Penutup
Sistem kerja yang baru memiliki potensi besar untuk mentransformasi birokrasi daerah menjadi lebih responsif dan berorientasi pada hasil. Namun, pemerintah daerah harus memastikan bahwa perubahan ini tidak hanya berhenti pada formalitas struktural, tetapi juga disertai dengan peningkatan kapasitas SDM, pemerataan akses digital, serta komitmen untuk menjaga kualitas pengawasan dan partisipasi publik yang bermakna.





