Wednesday, January 9, 2013

Sejarah Industri Gula di Jawa

Di Jawa, tanaman tebu diperkirakan sudah sejak lama dibudidayakan, yaitu pada zaman Aji Saka sekitar tahun 75 M. Perantau China, I Tsing, mencatat bahwa tahun 895 M gula yang berasal dari tebu dan nira kelapa telah diperdagangkan di Nusantara. 

Namun, berdasarkan catatan Marcopolo hingga abad ke-12 di Jawa belum berkembang industri gula seperti yang ada di Cina dan India. Kedatangan orang Eropa, terutama orang Belanda, pada abad 17 membawa perubahan pada perkembangan tanaman tebu dan industri gula di Jawa.

Pada  awal  abad  ke-17  industri  gula  berdiri  di sekitar  selatan Batavia, yang dikelola oleh orang-orang China bersama para pejabat VOC. Pengolahan gula saat itu berjalan dengan proses yang sederhana. Sebagai gilingan digunakan dua buah selinder kayu yang diletakkan berhimpitan kemudian diputar dengan tenaga hewan (kerbau) atau manusia. Tebu dimasukkan diantara kedua selinder, kemudian nira yang keluar ditampung dalam suatu bejana besar yang terdapat di bawah gilingan. Pada saat panen tebu, “PG sederhana” ini bisa dipindahkan mendekati kebun.

Pada pertengahan abad XVII telah dilakukan ekspor gula ke Eropa yang berasal dari 130 pengolahan gula (PG tradisional) di Jawa. Seiring dengan perjalanan sejarah, jumlah PG di Jawa turun naik berfluktuasi. Ketika India mulai melakukan ekspor gula ke Eropa, industri gula di Jawa mengalami persaingan ketat sehingga beberapa diantaranya tutup. 

Pada tahun 1745 di Jawa tersisa 65 PG, tahun 1750 bertambah menjadi 80 PG, kemudian akhir abad XVIII menyusut kembali menjadi 55 PG. Fluktuasi ini diduga berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan sekitar Batavia yang tidak lagi kondusif untuk budidaya tebu atau mungkin berkaitan dengan kesulitan permodalan.

Pada awal abad XIX, industri gula yang lebih modern yang dikelola orang-orang Eropa mulai bermunculan. PG modern pertama didirikan di daerah Pamanukan (Subang) dan Besuki (Jawa Timur). Akan tetapi, PG tersebut tidak bertahan lama dan mengalami kebangkrutan yang diduga akibat masalah perburuhan dan ketersediaan lahan sawah untuk tebu yang terbatas. Di Pamanukan, investor gula harus membuka lahan-lahan sawah baru yang butuh modal besar karena lahan sawah yang sudah ada diprioritaskan untuk padi.

Kurun waktu berikutnya industri gula di Jawa mulai menggeliat bangkit seiring dengan diberlakukannya Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa oleh van den Bosch. Liberalisasi industri gula di Jawa dipasung. Semua aktivitas ekonomi (perdagangan gula) swasta dilarang dan dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Belanda. 

Pada tahun 1830 Bosch mengembangkan penanaman tebu di daerah pantura Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang dikelola secara profesional. Sebagian besar perusahaan keluarga diserahkan kepada para manajer profesional. Modal didukung oleh Javasche Bank, sedangkan manajemen inti dipegang orang-orang Eropa. Usaha-usaha penetrasi pasar dilakukan pemerintah Belanda melalui regulasi impor gula dengan memberikan potongan 15 gulden untuk setiap pembayaran cukai sebanyak 100 gulden. Tenaga kerja hampir sepenuhnya tidak dibayar alias gratis karena unsur paksaan oleh para penguasa bumiputra yang berkolaborasi dengan para penjajah.

Perubahan kebijakan ini berhasil baik, dimana 10 tahun kemudian gula dari Jawa mampu mendominasi pasar dunia. Perkembangan berikutnya, beberapa PG mulai bermunculan di Jawa dengan dukungan pembangunan infrastruktur besar-besaran terutama dalam penyediaan sarana irigasi.

Kebangkitan industri gula di Jawa pada masa itu sebenarnya terkait juga dengan perubahan teknologi. Margarete Leidelmeijer dalam studi Doktornya di Universitas Teknologi Eindhoven, Belanda, tahun 1995 menulis disertasi tentang industri gula di Jawa berjudul Van suikermolen tot grootbedrift. Technische vernieuwing in de Java-suikerindustrie in de negentiende eeuw atau dalam terjemahan bebas kira-kira artinya “dari pengolahan gula sederhana ke pabrik-inovasi teknik pada industri gula Jawa abad sembilan belas” (No. 25 dalam seri NEHA 111, Dutch Guilders).

Menurut Leidelmeijer, sejak Cultuurstelsel diberlakukan teknologi industri gula Jawa sebagian mengadopsi teknologi pengolahan gula bit di Eropa, salah satunya dengan menggunakan pan masak vacuum. Selain itu, dukungan para insinyur dan peneliti di Belanda yang difasilitasi kantor Kementrian Pemerintahan Kolonial ikut terlibat dalam pengembangan industri gula di Jawa. Kontak antara para pelaku industri gula di Jawa dan Eropa saat itu cukup intensif. Mereka saling bertukar informasi tentang teknologi prosesing gula tebu dan gula bit. 

Industri gula di Jawa pada akhirnya berkembang cukup pesat dan bahkan menjadi acuan bagi industri gula tebu dunia lainnya. Inovasi teknologi prosesing gula tebu yang dimulai abad XIX tersebut, kemudian disempurnakan dengan berbagai inovasi teknologi di abad XX hingga saat ini masih bertahan dan dipakai oleh sebagian besar PG di Jawa.

Disarikan dari berbagai sumber
Gambar dari internet

Tuesday, December 18, 2012

Angkernya Pelayanan Publik


Setiap warga negara selalu memerlukan beragam pelayanan (barang dan jasa) baik yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta. Produk layanan yang disediakan pemerintah (public goods) diantaranya adalah pelayanan atas keamanan, pelayanan identitas diri seperti KTP, SIM maupun akta tanah, pelayanan listrik, pelayanan pendidikan maupun kesehatan. Meskipun untuk yang dua hal terakhir (pelayanan pendidikan dan kesehatan), pihak swasta juga menyediakannya. Masyarakat berhak memilihnya, sebab penyediaan layanan pendidikan maupun kesehatan tergolong pada substitute public goods (penyediaan pelayanan atas barang dan/atau jasa yang dilakukan lembaga pemerintah dan juga lembaga swasta).

Dengan merujuk uraian di atas, maka pelayanan publik dapat didefinisikan sebagai sebuah bentuk pelayanan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar warga negara yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik pada tingkat pusat maupun daerah serta oleh BUMN maupun BUMD. Disamping itu, pelayanan publik bersifat ekonomis, artinya biaya yang dibebankan harus terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat.

Akan tetapi, hingga saat ini banyak kalangan menilai dan menyatakan bahwa pelayanan publik kita masih saja angker terhadap masyarakat, sebab seringkali membuat frustasi dan kecewa dikarenakan selalu saja dibayang-bayangi dengan realita penyediaan layanan yang cenderung tidak transparan, mahal (banyaknya pungli) maupun kualitas/mutu rendah serta petugas pelayanan yang dianggap kurang ramah dalam melayani, dan masih banyak lagi hal-hal yang merujuk pada kurang akuntabelnya pelayanan publik kita.

Sistem dan perilaku birokrasi pelayanan publik lebih pada mencerminkan model organisasi yang tidak efisien dan tidak efektif, minim akuntabilitas, tidak transparan serta tidak berorientasi kepada masyarakat sebagai konsumen yang dilayaninya adalah hal-hal yang acapkali menjadikan pelayanan publik kita jauh dari berkualitas dan akuntabel.

Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Tiga tahun sudah UU Pelayanan Publik diundangkan, namun masih belum dapat menjadikan pelayanan publik kita sesuai dengan harapan. Masih banyak warga masyarakat yang mengeluhkan praktik-praktik penyelenggaraan pelayanan publik yang belum berkualitas. Padahal dengan disahkannya Undang-undang Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik ini merupakan harapan baru guna mendobrak sistem dan perilaku birokrasi pelayanan publik kita menjadi lebih berkualitas dan akuntabel. Sebab, selain membuka keterlibatan masyarakat dalam pengawasan maupun penyusunan standar pelayanan, Undang-undang ini juga mengatur mengenai kewajiban penyelenggara layanan dan bahkan mengenai sanksi bagi penyelenggara layanan juga diatur.

Pengakuan atas hak-hak masyarakat untuk dapat berperan aktif dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah menjadi entry point perbaikan pelayanan publik kita. Pasal 18 dan 39 UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik secara tegas menyatakan mengenai hak dan kewajiban serta hal tersebut.

Akan tetapi, masih minimnya sosialisasi menjadikan masyarakat belum banyak yang memahami bahwa hak mereka telah dijamin oleh undang-undang. Sehingga masyarakat masih belum banyak yang mau melibatkan diri dalam pengawasan dan mengadvokasi dirinya dengan bersama-sama penyedia layanan membuat sebuah standar pelayanan yang partisipatif. Hal ini setidaknya tercermin dari penelitian yang dilakukan oleh PATTIRO Surakarta pada pertengahan tahun 2012 ini, dimana 85% responden masyarakat Surakarta menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui keberadaan UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik maupun mengenai hak-haknya dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang diatur dalam undang-undang tersebut.

Dengan ketidaktahuannya tersebut maka masyarakat tidak dapat berperan aktif dalam mengawasi penyelengaraan pelayanan publik. Di sisi lain, masyarakat juga masih enggan untuk memberikan kritik saran maupun pengaduan ketika mendapatkan pelayanan yang tidak semestinya.

Keengganan masyarakat dalam memberikan kritik saran atau bahkan pengaduan dapat dipahami, sebab sampai saat ini masih sangat banyak unit penyedia layanan yang belum memiliki sistem pengelolaan pengaduan. Pengaduan hanya akan berhenti di dalam kotak saran atau tulisan dalam website tanpa pernah disampaikan sampai sejauhmana pengelolaannya. Dalam membongkar inilah, peran aktif masyarakat dalam penyusunan standar pelayanan menjadi penting, sehingga apa yang menjadi kebutuhan masyarakat selaku pengguna layanan dapat terwadahi serta telah menjadi kesepahaman bersama masyarakat dengan unit penyedia layanan.

Selain itu, dalam UU Pelayanan Publik juga termaktub mengenai sanksi bagi penyelenggara pelayanan publik ketika tidak menyediakan layanan sesuai dengan standar pelayanan yang ada. Dalam pasal 54 sampai dengan pasal 58 menyebutkan hal tersebut secara gamblang, yakni mulai dari ganti rugi, sanksi administratif hingga sanksi pidana.

Artinya, ketika masyarakat merasa tidak puas dan kecewa dengan pelayanan yang diberikan maka dapat melakukan pengaduan. Pengaduan dapat dilakukan kepada atasan petugas pemberi layanan dalam unit pelayanan tersebut maupun atasan dari unit layanan. Juga dapat mengadukan ke Ombudsman selaku lembaga Negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik.

Jika melihat pada perangkat peraturan perundangan yang ada, maka sudah seharusnya perbaikan pelayanan publik bukan lagi sekedar mimpi.
Apalagi di Kota Surakarta saat ini sedang dibahas Raperda Pelayanan Publik yang tentunya akan menjadi pelengkap perangkat hukum yang menangungi penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Surakarta.

Dalam draft Raperda yang dikonsultasi-publikan oleh DPRD pada pertengahan November 2012 ini ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan, terutama mengenai ruang partisipasi dalam pengaduan perlu dipertegas pada mekanisme dan unit khusus yang menangani serta mengelola pengaduan pada setiap unit layanan. Hal ini menjadi penting mengingat bahwa keengganan masyarakat memberikan kritik dan pengaduan karena ketidakpastian mengenai pengaduan mereka.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Joglosemar, 29 November 2012


*) Hak Cipta gambar ada di pattiro surakarta

Saturday, August 4, 2012

Manfaat Air Kelapa

Salah satu manfaat kesehatan air kelapa adalah kemampuannya menghidrasi tubuh. Air kelapa mengandung semua elektrolit yang dibutuhkan tubuh seperti sodium, potasium, klorida, kalsium, dan magnesium. Elektrolit ini bersama air minum memegang peran penting untuk menjaga tubuh tetap terhidrasi terutama selama dan setelah kegiatan olahraga yang menguras keringat.

  • Air kelapa terkenal akan kandungan kalorinya yang rendah. Karena itu, jika Anda ingin menurunkan berat badan, gantilah kebiasaan mengonsumsi minuman berkalori tinggi seperti soda, kafein, atau jus buah dengan air kelapa.
  • Air kelapa ternyata juga mengandung asam lauric yang juga ditemukan pada ASI. Fungsi asam ini adalah antimikroba, antibakteri, serta antijamur. Air kelapa yang diminum secara teratur sangat baik untuk meningkatkan sistem imun tubuh untuk melawan berbagai virus dan penyakit.
  • Air kelapa membantu membawa nutrisi dan oksigen ke dalam sel darah dan meningkatkan metabolisme. Selain itu, air kelapa juga bisa membantu membersihkan saluran pencernaan.
  • Penderita demam tifoid, malaria, atau penyakit lain yang menimbulkan rasa mual bisa mencoba mengonsumsi air kelapa untuk mengurangi rasa mual.
  • Air kelapa mengandung albumen alami sehingga cocok menjadi minuman darurat pada pasien yang terinfeksi kolera.
  • Komponen air kelapa mengandung berbagai enzim bioaktif yang bisa membantu mengatasi masalah pencernaan dan metabolisme. Konsumsi air kelapa secara teratur efektif untuk mengatasi rasa tidak nyaman di perut.
  • Air kelapa merupakan sumber potasium yang baik. Dalam satu sajian air kelapa terkandung 220 mg potasium. Elektrolit ini dibutuhkan tubuh setiap hari untuk menjaga fungsi kontraksi jantung
  • Air kelapa sangat disarankan untuk mereka yang menderita batu ginjal dan saluran kemih. Minum air kelapa secara teratur disebutkan membantu memecah batu ginjal sehingga lebih mudah untuk dikeluarkan.
  • Air kelapa bekerja seperti halnya pelembab ringan dan juga mengurangi kelebihan minyak di kulit. Manfaat lainnya adalah melembutkan kulit bertipe kombinasi. Anda bisa menggunakan air kelapa untuk mandi atau memilih lotion kulit yang terbuat dari kelapa. Air kelapa juga bisa dipakai untuk membasuh wajah setelah mengenakan masker, terutama untuk mereka yang memiliki jenis kulit berminyak.
Disarikan dari berbagai sumber
Gambar dari internet

Tuesday, July 17, 2012

Sang Mediator Raskin

Kebijakan Raskin dari Pemerintah yang diperuntukkan bagi warga miskin, di banyak daerah hampir pasti terjadi persoalan. Terutama masalah pembagian karena ada warga miskin yang dapat dan ada juga yang tidak dapat.

Hal tersebut seringkali menjadikan gejolah sosial. Pihak RT (Rukun Tetangga) yang menjadi ujung tombak pemerintahan terendah pada tingkat masyarakat akrab kali menjadi sasaran kemarahan warga yang tidak dapat padahal merasa berhak. Itulah yang terjadi realitas di lapangan karena masih kurang tepatnya proses dan sistem pendataan.

Dengan adanya fenomena tersebut maka sangat diperlukan ketegasan dan keberpihakan serta kejelian dari seorang Ketua atau Pengurus RT dalam mendistribusikan beras raskin tersebut. Dalam film pendek dengan judul "Sang Mediator Raskin" yang dibuat oleh anak-anak muda pegiat sosial atas dampingan dari PATTIRO Surakarta berikut adalah salah satu bentuk model penyaluran raskin yang terjadi di RT 03 RW XIV Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta. Ada hikmah dan hal menarik dari proses penyaluran raskin tersebut.





Film tersebut memenangkan Lomba Video "Yuk AWASI" yang diselenggarakan oleh PATTIRO dan Wide Shot Metro TV

Monday, June 18, 2012

Apa Itu APBD?

Anggaran adalah pernyataan tentang perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan terjadi dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang serta realisasinya di masa yang lalu. Anggaran diperlukan disemua tingkatan, baik secara sederhananya di keluarga atau lebih luasnya lagi di daerah kabupaten/kota maupun nasional. Dalam lingkup keluarga, sumber penerimaan berasal dari hasil kerja beberapa anggota keluarga yang kemudian dibelanjakan kembali dalam rangka memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga. Inilah yang dinamakan APBK (Anggaran Pendapatan dan Belanja Keluarga).

Di tingkat kabupaten atau kota, anggaran itu berbentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD diperlukan untuk menciptakan keteraturan sosial, menjamin hak-hak masyarakat, dan terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, APBD hendaknya disusun berdasarkan prioritas kebutuhan masyarakat dan mengakomodasi perbedaaan kebutuhan antar kelompok dalam masyarakat.

Proses perencanaan dan penganggaran perlu dilakukan secara transparan dan partisipatif agar masyarakat mengetahui prioritas pembangunan suatu daerah. Dengan demikian diharapkan tata pemerintahan yang baik dan bersih dapat terwujud.

Secara sederhana, sebuah keluarga dapat disamakan dengan sebuah kabupaten/kota. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, keluarga memiliki sumber penerimaanyang berasal dari hasil kerja beberapa anggota keluarga, misalnya bapak, ibu, anak sulung dan seterusnya. Sumber-sumber penerimaan ini dikumpulkan untuk kemudian dibelanjakan kembali dalam merangka memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga, baik yang menyumbang penerimaan keluarga maupun yang tidak. Agar distribusi sumber daya bisa dilakukan secara adil, orangtua sebagai pembuat keputusan tertinggi harus memiliki kepekaan atas kebutuhan yang khas masing- masing anggota keluarga, termasuk bayi yang belum bisa menyuarakan kebutuhannya sendiri.

Sebuah kota/kabupaten adalah sebuah satu keluarga besar yang terdiri dari berbagi kelompok masyarakat dengan berbagi suku, ras, jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaaan. Pemerintah daerah adalah pihak yang mendapat amanat dari rakyat untuk mengelola sumber daya yang dikumpulkan dari rakyat dalam bentuk pembayaran pajak dan retrebusi. Untuk menjalankan amanat itu, pemerintah perlu menyusun suatu rancangan mengenai perkiraan penerimaan dan pengeluaran dalam jangka waktu tertentu, yang disebut APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).

Secara filosofi, anggaran diperlukan untuk menjamin eksistensi negara dan untuk membiayai pengelolaan negara. Sementara itu, negara diperlukan karena tiga alasan, yaitu : (1) Untuk menciptakan keteraturan sosial; (2) Menjamin hak-hak masyarakat; dan (3) Menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Ketiga alasan itu terkait dengan upaya penyelesaian masalah di masyarakat agar masyarakat bisa hidup, aman, adil dan sejahtera.

Di masa lalu penyusunan APBD lebih bersifat rutinitas. Besaran alokasi APBD tahun berikutnya akan naik secara bertahap (incremental) tanpa ada dasar yang jelas dan tanpa melihat berhasil tidaknya program-program yang dilakukan. Inilah yang dinamakan dengan Sistem Anggaran Tradisional. 

Harapan akan adanya perubahan ditandai dengan dikeluarkannya UU no. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Regulasi tentang pengelolaan keuangan daerah dalam UU tersebut diturunkan dalam Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 2000 tentang pengelolaan Keuangan Daerah yang kemudian diturunkan lagi dalam Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran dan Belanja Daerah. 

Dalam aturan-aturan di atas, pemerintah telah memproklamirkan untuk hijrah ke Sistem Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) yang menekankan pada kejelasan tujuan dan hasil dari program atau kegiatan yang dilaksanakan. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Dalam perjalanannya, UU No 22 Tahun 1999 telah direvisi dengan UU No 32 Tahun 2004. revisi tersebut diikuti dengan dikeluarkannya PP No 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (menggantikan PP No 105 tahun 2000), yang dilanjutkan dengan keluarnya Permendagri no 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (menggantikan Kepmendagri no 29 tahun 2002).

Fungsi APBD
Dalam aturan-aturan di atas disebutkan mengenai enam fungsi anggaran, antara lain terdapat dalam pasal 3 ayat (4) UU no 17 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa APBN/APBD mempunyai fungsi : 
  1. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran harus menjadi dasar dalam melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan; 
  2. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan; 
  3. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan pengelenggaran perintah negara maupun daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan; 
  4. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran harus diarahkan untuak mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian; 
  5. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan; 
  6. Fungsi stabilitasi mengandung arti bahwa anggaran menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental dan perekonomian.

Permasalahan di masyarakat yang perlu diselesaikan dalam bentuk kebijakan (program) yang didukung oleh anggaran yang memadai jauh lebih banyak dibanding jumlah anggaran yang tersedia. Dengan kata lain, ada keterbatasan anggaran. Maka, penyusunan prioritas dalam penyusunan anggaran mutlak harus dilakukan. 

Dalam kenyataannya, proses-proses yang terjadi dalam penyusunan anggaran adalah proses politik karena masing-masing pihak ingin memperjuangkan kepentinganya sendiri. Akibatnya, angka yang tercantum dalam APBD juga merupakan angka politik.

Download Berkenalan dengan APBD