Friday, October 23, 2015

Mengembalikan Khittah Puskesmas

-->
Puskesmas merupakan tulang punggung pelayanan kesehatan masyarakat tingkat pertama.Konsep puskesmas dilahirkan tahun 1968 saat Rapat Kerja Kesehatan Nasional di Jakarta, dalam upaya mengorganisasi sistem pelayanan kesehatan di tanah air, karena pelayanan kesehatan tingkat pertama pada waktu itu dirasakan kurang menguntungkan.

Sejak diperkenalkannya konsep puskesmas tersebut, berbagai hasil kinerja Puskesmas dalam mengawal kesehatan masyarakat telah banyak dicapai diantaranya adalah dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan kematian bayi.
 
Dalam rangka reformasi dan pengotimalisasian kembali peran Puskesmas sebagai wahana menjaga kesehatan masyarakat pada tahun 2014, Kementerian kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Terbitnya peraturan ini telah menggantikan Kepmenkes Nomor 128/MENKES/SK/II/2004.T erbitnya Permenkes tersebut banyak mengatur tentang organisasi, manajemen dan struktur puskesmas.
 
Hanya saja pada bagian pemberdayaan masyarakat secara dalam Permenkes tidak spesifik diatur. Permenkes menekankan enam prinsip penyelenggaraan puskesmas melalui prinsip paradigma sehat, puskesmas diharuskanmendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkomitmen dalam upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Sementara pemberdayaan masyarakat secara spesifik dalam Kemenkes diatur kolaborasi antar stakeholder melalui pembentukan Badan Penyantun Puskesmas (BPP) agar pemberdayaan masyarakat terkordinir guna mendukung pembangunan di bidang kesehatan.

Kolaborasi antar stakeholders inilah yang pada dasarnya menjadi kekuatan Puskesmas dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, karena pada dasarnya Puskesmas memiliki peran promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif (Rokhmad Munawir, 2014)

Namun pada saat sekarang ini peran kuratif dan rehabilitatif memiliki porsi yang lebih besar dari pada preventif dan promotif. Hal ini ditambah dengan kebijakan Kementerian Kesehatan yang menyatakan bahwa Puskesmas harus dapat melayani 155 jenis penyakit, dengan harapan tidak terjadi penumpukan pasien di rumah sakit. 

Peran kuratif dan rehabilitatif telah menjauhkan Puskesmas dari “khitah” awal untuk menjadi penjaga kesehatan masyarakat. Untuk itulah guna mengembalikan khitah tersebut, peran masyarakat dan stakeholders terkait menjadi sangat penting. Puskesmas jelas tidak dapat berdiri dan melakukannya sendiri agar menjadikan upaya promosi kesehatan lebih efektif. Peran serta antarpihak dalam mendorong optimalisasi pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat menjadi sangat penting. Peran multi pihak diharapkan dapat meminimalisir persoalan kesehatan yang terjadi ditengah masyarakat  berbagai aspek sehingga dapat mewujudkan wilayah yang bersih, nyaman, aman dan sehat untuk dihuni oleh warganya.

Melalui Kepmenkes Nomor 1114/Menkes/SK/VII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah yang kemudian dijabarkan melalui Kepmenkes Nomor 585/Menkes/SK/V/2007 tentang Pedoman Promosi Kesehatan Di Puskesmas. Puskesmas mempunyai kewajiban melakukan promosi kesehatan dalam upaya mendorong pemberdayaan dan meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat agar masyarakat dapat menolong dirinya sendiri serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat. Artinya, kehadiran puskesmas berfungsi tidak saja sebagai pusat kesehatan bagi masyarakat namun berfungsi sebagai pusat komunikasi masyarakat. 

Dalam upaya memaksimalkan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan khususnya di puskesmas Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Dan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2005 dan Nomor 1138/MENKES/PB/VIII/2005 tentang Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat. Peraturan bersama tersebut guna mendukung terwujudnya kualitas lingkungan fisik, sosial, perubahan perilaku masyarakat melalui peran aktif masyarakat dan swasta serta pemerintah dan pemerintah daerah secara terarah, terkoordinasi, terpadu dan berkesinambungan.

Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat dilakukan melalui berbagai kegiatan dengan memberdayakan forum-forum masyarakat ditingkat kelurahan/desa dan kecamatan yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, dan peran Puskesmas menjadi aktor utama dalam forum kota sehat menjadi sangat penting dan strategis. Sebab secara substansi kesehatan dan merupakan domain utama. 

Dalam sebuah penelitian singkat yang dilakukan oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) pada tahun 2014/2015 di Kota Surakarta, Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Semarang dan Kota Semarang serta penelitian yang dilakukan oleh Frontier for Health (F2H) Bandung di kabupaten Sumedang dan Kabupaten Cirebon, bahwa dalam rangka menjalankan promosi kesehatan, Puskesmas memiliki irisan dengan instansi lain diantaranya adalah Dinas Pendidikan, Bapermas dan BKKBN. 

Disamping itu peran masyarakat seperti kader kesehatan dan posyandu menjadi sangat vital. Selain itu, dana promosi kesehatan hanya 10% jika dibandingkan dengan dana kuratif yang disediakan oleh Pemerintah Daerah melalui Puskesmas. Tenaga promosi kesehatan pada Puskesmas rata-rata juga hanya diampu oleh seorang tenaga promkes. 

Jika melihat hal ini, guna mengembalikan paradigma bahwa mandat Puskesmas adalah untuk menjaga kesehatan maka perlu dilakukan reformasi oleh semua pihak yakni peningkatan alokasi anggaran menjadi penting, penyediaan tenaga promkes dan keberfungsian forum kolaborasi multi pihak harus dilakukan. [*]

Gambar dari internet (datariau.com)

Friday, November 14, 2014

Sejarah dan Pengertian Posyandu

SEJARAH POSYANDU
Dalam rangka menjalankan amanat yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yakni kesejahteraan umum, Departemen Kesehatan RI pada tahun 1975 menetapkan kebijakan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD).

Kebijakan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) ialah strategi pembangunan kesehatan yang menerapkan prinsip gotong royong dan swadaya masyarakat, dengan tujuan agar masyarakat dapat menolong dirinya sendiri, melalui pengenalan dan penyelesaian masalah kesehatan yang dilakukan bersama petugas kesehatan secara lintas program dan lintas sektor terkait.  Kebijakan PKMD pertama kali diujicobakan pada tahun 1976 di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Setelah masa ujicoba, awal, kegiatan PKMD yang pertama kali diperkenalkan di Kabupaten  Banjarnegara, Jawa Tengah melalui berbagai bentuk kegiatan. Kegiatan PKMD untuk perbaikan gizi, dilaksanakan melalui Karang Balita, sedangkan untuk penanggulangan diare, dilaksanakan melalui Pos Penanggulangan Diare, untuk  pengobatan masyarakat di perdesaan melalui Pos Kesehatan, serta untuk imunisasi dan keluarga berencana, melalui Pos Imunisasi dan Pos KB Desa. 

Dalam perkembangnya, upaya kesehatan masyarakat ini menguntungkan karena memberikan kemudahan masyarakat dalam pelayanan kesehatan. Namun ternyata ada beberapa masalah, antara lain pelayanan kesehatan menjadi terkotak-kotak, menyulitkan koordinasi, serta memerlukan lebih banyak sumber daya. Untuk mengatasinya, pada tahun 1984 dikeluarkanlah Instruksi Bersama antara Menteri Kesehatan, Kepala BKKBN dan  Menteri Dalam Negeri, yang mengintegrasikan berbagai kegiatan yang ada di masyarakat ke dalam satu wadah yang disebut dengan nama Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dengan kegiatan yang dilakukan  yaitu (1) Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), (2) Keluarga Berencana (KB), (3) Imunisasi, (4) Gizi dan (5) Penanggulangan Diare. 

Pencanangan Posyandu yang merupakan bentuk baru ini, dilakukan secara massal untuk pertama kali oleh Presiden Republik Indonesia pada tahun 1986 di Yogyakarta, bertepatan dengan peringatan Hari Kesehatan Nasional. Sejak saat itu Posyandu tumbuh dengan pesat.

Pada tahun 1990, terjadi perkembangan yang sangat luar biasa, yakni dengan keluarnya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1990 tentang Peningkatan Pembinaan Mutu Posyandu, yang memandatkan kepada seluruh kepala daerah untuk meningkatkan pengelolaan mutu Posyandu. Pengelolaan Posyandu dilakukan oleh satu Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) Posyandu yang merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah (Pemda).

Sejak dicanangkannya Posyandu pada tahun 1986, berbagai hasil telah banyak dicapai. Angka kematian ibu dan kematian bayi telah berhasil diturunkan serta umur harapan hidup rata-rata bangsa Indonesia telah meningkat cukup signifikan.

PENGERTIAN POSYANDU
--> Posyandu merupakan kegiatan nyata yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam upaya pelayanan kesehatan dari, oleh, dan untuk masyarakat yang dilaksanakan oleh kader (Meilani, dkk, 2009) 
Kementrian Kesehatan RI (2011) mendefinisikan Posyandu sebagai salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama  masyarakat   dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat  dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi. 
Tujuan Umum dibentuknya Posyandu adalah Menunjang percepatan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Anak Balita (AKABA) di Indonesia melalui upaya pemberdayaan masyarakat. 
Pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitasi yang bersifat non instruktif, guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat, agar mampu mengidentifikasi masalah yang dihadapi, potensi yang  dimiliki, merencanakan dan melakukan pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat.  
Sementara Kader Kesehatan atau Kader Posyandu yang selanjutnya disebut kader adalah anggota masyarakat yang bersedia, mampu dan memiliki waktu untuk menyelenggarakan kegiatan Posyandu secara sukarela (Kemenkes RI, 2011).  
Syafrudin & Hamidah (2009), mendefinisikan Kader kesehatan masyarakat adalah laki-laki atau wanita yang dipilih oleh masyarakat dan dilatih untuk menangani masalah-masalah kesehatan perseorangan maupun masyarakat serta untuk bekerja dalam hubungan yang amat dekat dengan tempat-tempat pemberian pelayanan kesehatan. 
Sedangkan sasaran Posyandu adalah seluruh masyarakat, utamanya adalah (1) Bayi, (2) Anak Balita, (3) Ibu hamil, nifas dan menyusui, (4) Pasangan Usia Subur.  

disarikan dari berbagai sumber

Monday, May 27, 2013

Informasi Publik, Hak Anda untuk Tahu

Video berikut berisikan apa itu informasi publik dan mengapa kita semua berhak tahu tentang informasi publik. Juga bagaimana cara kita dapat mengakses informasi publik tersebut. Selain itu juga langkah kita harus bagaimana ketika informasi yang kita minta tidak diberikan oleh badan publik.
Semua ada di video ini. Simak dan pelajari. Semoga bermanfaat.

Wednesday, January 9, 2013

Sejarah Industri Gula di Jawa

Di Jawa, tanaman tebu diperkirakan sudah sejak lama dibudidayakan, yaitu pada zaman Aji Saka sekitar tahun 75 M. Perantau China, I Tsing, mencatat bahwa tahun 895 M gula yang berasal dari tebu dan nira kelapa telah diperdagangkan di Nusantara. 

Namun, berdasarkan catatan Marcopolo hingga abad ke-12 di Jawa belum berkembang industri gula seperti yang ada di Cina dan India. Kedatangan orang Eropa, terutama orang Belanda, pada abad 17 membawa perubahan pada perkembangan tanaman tebu dan industri gula di Jawa.

Pada  awal  abad  ke-17  industri  gula  berdiri  di sekitar  selatan Batavia, yang dikelola oleh orang-orang China bersama para pejabat VOC. Pengolahan gula saat itu berjalan dengan proses yang sederhana. Sebagai gilingan digunakan dua buah selinder kayu yang diletakkan berhimpitan kemudian diputar dengan tenaga hewan (kerbau) atau manusia. Tebu dimasukkan diantara kedua selinder, kemudian nira yang keluar ditampung dalam suatu bejana besar yang terdapat di bawah gilingan. Pada saat panen tebu, “PG sederhana” ini bisa dipindahkan mendekati kebun.

Pada pertengahan abad XVII telah dilakukan ekspor gula ke Eropa yang berasal dari 130 pengolahan gula (PG tradisional) di Jawa. Seiring dengan perjalanan sejarah, jumlah PG di Jawa turun naik berfluktuasi. Ketika India mulai melakukan ekspor gula ke Eropa, industri gula di Jawa mengalami persaingan ketat sehingga beberapa diantaranya tutup. 

Pada tahun 1745 di Jawa tersisa 65 PG, tahun 1750 bertambah menjadi 80 PG, kemudian akhir abad XVIII menyusut kembali menjadi 55 PG. Fluktuasi ini diduga berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan sekitar Batavia yang tidak lagi kondusif untuk budidaya tebu atau mungkin berkaitan dengan kesulitan permodalan.

Pada awal abad XIX, industri gula yang lebih modern yang dikelola orang-orang Eropa mulai bermunculan. PG modern pertama didirikan di daerah Pamanukan (Subang) dan Besuki (Jawa Timur). Akan tetapi, PG tersebut tidak bertahan lama dan mengalami kebangkrutan yang diduga akibat masalah perburuhan dan ketersediaan lahan sawah untuk tebu yang terbatas. Di Pamanukan, investor gula harus membuka lahan-lahan sawah baru yang butuh modal besar karena lahan sawah yang sudah ada diprioritaskan untuk padi.

Kurun waktu berikutnya industri gula di Jawa mulai menggeliat bangkit seiring dengan diberlakukannya Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa oleh van den Bosch. Liberalisasi industri gula di Jawa dipasung. Semua aktivitas ekonomi (perdagangan gula) swasta dilarang dan dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Belanda. 

Pada tahun 1830 Bosch mengembangkan penanaman tebu di daerah pantura Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang dikelola secara profesional. Sebagian besar perusahaan keluarga diserahkan kepada para manajer profesional. Modal didukung oleh Javasche Bank, sedangkan manajemen inti dipegang orang-orang Eropa. Usaha-usaha penetrasi pasar dilakukan pemerintah Belanda melalui regulasi impor gula dengan memberikan potongan 15 gulden untuk setiap pembayaran cukai sebanyak 100 gulden. Tenaga kerja hampir sepenuhnya tidak dibayar alias gratis karena unsur paksaan oleh para penguasa bumiputra yang berkolaborasi dengan para penjajah.

Perubahan kebijakan ini berhasil baik, dimana 10 tahun kemudian gula dari Jawa mampu mendominasi pasar dunia. Perkembangan berikutnya, beberapa PG mulai bermunculan di Jawa dengan dukungan pembangunan infrastruktur besar-besaran terutama dalam penyediaan sarana irigasi.

Kebangkitan industri gula di Jawa pada masa itu sebenarnya terkait juga dengan perubahan teknologi. Margarete Leidelmeijer dalam studi Doktornya di Universitas Teknologi Eindhoven, Belanda, tahun 1995 menulis disertasi tentang industri gula di Jawa berjudul Van suikermolen tot grootbedrift. Technische vernieuwing in de Java-suikerindustrie in de negentiende eeuw atau dalam terjemahan bebas kira-kira artinya “dari pengolahan gula sederhana ke pabrik-inovasi teknik pada industri gula Jawa abad sembilan belas” (No. 25 dalam seri NEHA 111, Dutch Guilders).

Menurut Leidelmeijer, sejak Cultuurstelsel diberlakukan teknologi industri gula Jawa sebagian mengadopsi teknologi pengolahan gula bit di Eropa, salah satunya dengan menggunakan pan masak vacuum. Selain itu, dukungan para insinyur dan peneliti di Belanda yang difasilitasi kantor Kementrian Pemerintahan Kolonial ikut terlibat dalam pengembangan industri gula di Jawa. Kontak antara para pelaku industri gula di Jawa dan Eropa saat itu cukup intensif. Mereka saling bertukar informasi tentang teknologi prosesing gula tebu dan gula bit. 

Industri gula di Jawa pada akhirnya berkembang cukup pesat dan bahkan menjadi acuan bagi industri gula tebu dunia lainnya. Inovasi teknologi prosesing gula tebu yang dimulai abad XIX tersebut, kemudian disempurnakan dengan berbagai inovasi teknologi di abad XX hingga saat ini masih bertahan dan dipakai oleh sebagian besar PG di Jawa.

Disarikan dari berbagai sumber
Gambar dari internet

Tuesday, December 18, 2012

Angkernya Pelayanan Publik


Setiap warga negara selalu memerlukan beragam pelayanan (barang dan jasa) baik yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta. Produk layanan yang disediakan pemerintah (public goods) diantaranya adalah pelayanan atas keamanan, pelayanan identitas diri seperti KTP, SIM maupun akta tanah, pelayanan listrik, pelayanan pendidikan maupun kesehatan. Meskipun untuk yang dua hal terakhir (pelayanan pendidikan dan kesehatan), pihak swasta juga menyediakannya. Masyarakat berhak memilihnya, sebab penyediaan layanan pendidikan maupun kesehatan tergolong pada substitute public goods (penyediaan pelayanan atas barang dan/atau jasa yang dilakukan lembaga pemerintah dan juga lembaga swasta).

Dengan merujuk uraian di atas, maka pelayanan publik dapat didefinisikan sebagai sebuah bentuk pelayanan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar warga negara yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik pada tingkat pusat maupun daerah serta oleh BUMN maupun BUMD. Disamping itu, pelayanan publik bersifat ekonomis, artinya biaya yang dibebankan harus terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat.

Akan tetapi, hingga saat ini banyak kalangan menilai dan menyatakan bahwa pelayanan publik kita masih saja angker terhadap masyarakat, sebab seringkali membuat frustasi dan kecewa dikarenakan selalu saja dibayang-bayangi dengan realita penyediaan layanan yang cenderung tidak transparan, mahal (banyaknya pungli) maupun kualitas/mutu rendah serta petugas pelayanan yang dianggap kurang ramah dalam melayani, dan masih banyak lagi hal-hal yang merujuk pada kurang akuntabelnya pelayanan publik kita.

Sistem dan perilaku birokrasi pelayanan publik lebih pada mencerminkan model organisasi yang tidak efisien dan tidak efektif, minim akuntabilitas, tidak transparan serta tidak berorientasi kepada masyarakat sebagai konsumen yang dilayaninya adalah hal-hal yang acapkali menjadikan pelayanan publik kita jauh dari berkualitas dan akuntabel.

Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Tiga tahun sudah UU Pelayanan Publik diundangkan, namun masih belum dapat menjadikan pelayanan publik kita sesuai dengan harapan. Masih banyak warga masyarakat yang mengeluhkan praktik-praktik penyelenggaraan pelayanan publik yang belum berkualitas. Padahal dengan disahkannya Undang-undang Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik ini merupakan harapan baru guna mendobrak sistem dan perilaku birokrasi pelayanan publik kita menjadi lebih berkualitas dan akuntabel. Sebab, selain membuka keterlibatan masyarakat dalam pengawasan maupun penyusunan standar pelayanan, Undang-undang ini juga mengatur mengenai kewajiban penyelenggara layanan dan bahkan mengenai sanksi bagi penyelenggara layanan juga diatur.

Pengakuan atas hak-hak masyarakat untuk dapat berperan aktif dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah menjadi entry point perbaikan pelayanan publik kita. Pasal 18 dan 39 UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik secara tegas menyatakan mengenai hak dan kewajiban serta hal tersebut.

Akan tetapi, masih minimnya sosialisasi menjadikan masyarakat belum banyak yang memahami bahwa hak mereka telah dijamin oleh undang-undang. Sehingga masyarakat masih belum banyak yang mau melibatkan diri dalam pengawasan dan mengadvokasi dirinya dengan bersama-sama penyedia layanan membuat sebuah standar pelayanan yang partisipatif. Hal ini setidaknya tercermin dari penelitian yang dilakukan oleh PATTIRO Surakarta pada pertengahan tahun 2012 ini, dimana 85% responden masyarakat Surakarta menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui keberadaan UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik maupun mengenai hak-haknya dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang diatur dalam undang-undang tersebut.

Dengan ketidaktahuannya tersebut maka masyarakat tidak dapat berperan aktif dalam mengawasi penyelengaraan pelayanan publik. Di sisi lain, masyarakat juga masih enggan untuk memberikan kritik saran maupun pengaduan ketika mendapatkan pelayanan yang tidak semestinya.

Keengganan masyarakat dalam memberikan kritik saran atau bahkan pengaduan dapat dipahami, sebab sampai saat ini masih sangat banyak unit penyedia layanan yang belum memiliki sistem pengelolaan pengaduan. Pengaduan hanya akan berhenti di dalam kotak saran atau tulisan dalam website tanpa pernah disampaikan sampai sejauhmana pengelolaannya. Dalam membongkar inilah, peran aktif masyarakat dalam penyusunan standar pelayanan menjadi penting, sehingga apa yang menjadi kebutuhan masyarakat selaku pengguna layanan dapat terwadahi serta telah menjadi kesepahaman bersama masyarakat dengan unit penyedia layanan.

Selain itu, dalam UU Pelayanan Publik juga termaktub mengenai sanksi bagi penyelenggara pelayanan publik ketika tidak menyediakan layanan sesuai dengan standar pelayanan yang ada. Dalam pasal 54 sampai dengan pasal 58 menyebutkan hal tersebut secara gamblang, yakni mulai dari ganti rugi, sanksi administratif hingga sanksi pidana.

Artinya, ketika masyarakat merasa tidak puas dan kecewa dengan pelayanan yang diberikan maka dapat melakukan pengaduan. Pengaduan dapat dilakukan kepada atasan petugas pemberi layanan dalam unit pelayanan tersebut maupun atasan dari unit layanan. Juga dapat mengadukan ke Ombudsman selaku lembaga Negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik.

Jika melihat pada perangkat peraturan perundangan yang ada, maka sudah seharusnya perbaikan pelayanan publik bukan lagi sekedar mimpi.
Apalagi di Kota Surakarta saat ini sedang dibahas Raperda Pelayanan Publik yang tentunya akan menjadi pelengkap perangkat hukum yang menangungi penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Surakarta.

Dalam draft Raperda yang dikonsultasi-publikan oleh DPRD pada pertengahan November 2012 ini ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan, terutama mengenai ruang partisipasi dalam pengaduan perlu dipertegas pada mekanisme dan unit khusus yang menangani serta mengelola pengaduan pada setiap unit layanan. Hal ini menjadi penting mengingat bahwa keengganan masyarakat memberikan kritik dan pengaduan karena ketidakpastian mengenai pengaduan mereka.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Joglosemar, 29 November 2012


*) Hak Cipta gambar ada di pattiro surakarta