Thursday, March 11, 2010

ACFTA dan Dampak Lingkungan Hidup

Disepakatinya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada Januari 2010 lalu setidaknya membuat banyak pihak khawatir. Para pengusaha mulai khawatir produk-produknya tidak bisa bersaing dengan produk-produk dari China. Lha wong belum ada ACFTA saja produk China telah membanjiri pasar Indonesia. Sedikit namun pasti menggeser dan menyingkirkan produk-produk lokal. Murahnya harga adalah alasan orang memilih produk dari China.

Jangankan para pengusaha yang bermodal besar dengan jaringan yang luar serta memiliki pasar yang lebih tertata, para petani pun merasakan dampaknya. Buah lokal lebih mahal dari buah impor. Apalagi jika ACFTA benar-benar mulai diberlakukan. Sudah dapat dipastikan semakin banyak produk-produk China membanjiri pasaran Indonesia. Ditambah dengan perilaku konsumen kita yang mementingkan gengsi daripada gizi jelas akan memilih buah dan makanan impor karena dianggap lebih bergengsi. Maka semakin terpuruklah pedagang kecil dan produsen pangan alias petani kita.

Dampak ACFTA bagi perekonomian bangsa ini memang luar biasa. Efek dominonya akan membuat gonjang-ganjing perekonomian nasional secara makro maupun mikro. Namun karena saya bukanlah pakar ekonomi maka saya tidak akan membahas hal itu. Saya hanya mengingatkan bahwa ada dampak yang lebih besar dan kompleks ketika ACFTA berlaku, yakni dampaknya terhadap lingkungan.

Ketika persaingan bebas digelar maka para produsen akan berlomba-lomba menekan biaya produksi demi mendapatkan harga murah. Biaya produksi dipangkas baik dari ongkos buruh, mengurangi bahan baku dan menurunkan kwalitas barang. Maka logis apa kata orang Jawa ana rega ana rupa, semakin murah harga barang maka semakin rendah kwalitas. Semakin rendah kwalitas maka semakin cepat rusak. Semakin rusak maka semakin banyak sampah menumpuk.

Ambil contoh kasus barang elektronik. Ketika barang dijual dengan harga murah dan kwalitas rendah maka hampir pasti tidak ada suku cadang alias spare part. Maka bisa dibayangkan ketika barang-barang elektronik yang rusak dan menjadi sampah, berapa banyak gunung-gunung sampah yang akan terbentuk? Bukankah ketika sebelum ACFTA saja sudah banyak barang elektronik dari China menjadi barang sekali pakai. Begitu rusak maka yo diguwak (dibuang – Ind). Ditambah ketika ACFTA benar-benar dilaksanakan. Artinya, lingkungan hidup menjadi terancam. Jangan kaget dan jangan heran ketika suatu saat akan ada tumpukan rongsokan kulkas, TiPi, HP, atau rongsokan sepeda motor yang menggunung karena sudah tidak bisa digunakan lagi.

Itu baru satu jenis barang, elektronik. Lha, ada juga pakaian, ada produk-produk pertanian seperti buah dan sayur maupun makanan siap saji alias instan. Semua berpotensi menumpuk sampah. Saat Apel Malang kalah dengan Apel Shangdong atau ketika Jeruk Medan tidak laku dibanding Jeruk Shanghai maka selain petani kita makin merugi, sampah juga semakin banyak.


Dalam pandangan saya sebagai kaumbiasa ini, bahwa ACFTA sebenarnya hanyalah memindahkan sampah dari negeri orang ke negeri kita. Dan itu ancaman serius yang paling nyata terhadap lingkungan hidup bangsa ini. Maka tiada kata lain adalah melawan ACFTA tersebut dengan tetap menggunakan produk-produk bangsa ini.