Monday, December 5, 2011

Kisah Klasik Raskin


Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di tengahtengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Berbagai teori, konsep dan pendekatan pun terus menerus dikembangkan untuk mengatasi masalah kemiskinan ini. Karena kini gejala kemiskinan semakin meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia. Krisis telah membawa Indonesia pada peningkatan angka kemiskinan. Dalam rangka pengurangan kemiskinan, terutama sebagai efek dari gejolak krisis moneter maka pemerintah menggulirkan berbagai kebijakan. Diantaranya adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kredit Usaha Rakyat, Jamkesmas, Program Keluarga Harapan, Dana BOS serta Raskin (Beras untuk Masyarakat Miskin).

Khusus untuk Raskin, kita sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. Program pemerintah ini mulai digulirkan sejak tahun 1998 dengan nama Operasi Pasar Khusus (OPK) dan berganti nama menjadi Raskin sejak tahun 2002,  sebagai bagian dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Program ini digulirkan bertujuan untuk memperkuat ketahanan rumah tangga miskin. Dan dimaksudkan guna menanggulangi kemiskinan. Sebab secara filosofis, ketika kebutuhan akan pangan sudah terpenuhi maka masyarakat dapat mengalihkan pengeluarannya pada kebutuhan selain bahan pangan.

Akan tetapi setelah 13 tahun program ini berjalan ternyata masih saja selalu menyisakan persoalan-persoalan yang selalu sama dari sejak awal bergulir hingga saat ini. Bagaikan kisah klasik yang selalu berulang dan seolah tanpa ujung penyelesaian. Kendala dan permasalahan masih saja berulang di tahun-tahun berikutnya. Dan apakah program raskin berkontribusi pada penanggulangan kemiskinan?
Beberapa kendala dalam pelaksanaan program raskin yang selama ini terjadi berpangkal pada permasalahan data. Data yang disediakan BPS hampir selalu berbeda dengan data “versi” masyarakat. Perbedaan data inilah yang pada akhirnya akan berdampak pada ketidaktepatan sasaran, tidak tepat jumlah serta tidak tepat harga di masyarakat penerima manfaat.

Data yang keluarkan BPS belum mencakup warga miskin di daerah tersebut.  Masih banyak warga yang seharusnya layak menerima raskin tidak terdata. Hal ini berdampak pada jumlah yang seharusnya diterima oleh masyarakat menjadi berkurang karena harus berbagi dengan mereka yang tidak terdata. Maka muncullah fenomena “warga miskin ikhlas berbagi”. Jika kita melihatnya secara hukum positif maka jelas hal ini melanggar aturan sebab tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang telah ditetapkan. Akan tetapi jika dilihat dari kacamata sosiologis maka hal tersebut ‘terpaksa’ harus dilakukan demi untuk meredam gejolak sosial.

Fenomena ini ternyata berdampak juga pada ketidaktepatan harga. Harga tebus raskin cenderung mengalami peningkatan antara 10-25 persen dari pagu yang ditetapkan (Rp. 1.600/kg) sebab masyarakat penerima masih harus dibebani dengan ongkos pengepakan ulang setelah beras dibagi.
Disamping itu naiknya harga tebus raskin juga disebabkan oleh ongkos angkutan yang harus ditanggung oleh penerima raskin. Dalam Pedoman Umum Raskin yang dikeluarkan oleh Kementrian Koordinator Kesejahteraan Sosial (Menko Kesra) disebutkan bahwa Perum Bulog hanya menanggung biaya operasional dari gudang Bulog sampai ke Titik Distribusi (Kelurahan/desa). Selanjutnya dari Titik Distribusi sampai ke penerima raskin menjadi beban Pemerintah Kabupaten/Kota. Namun hampir semua Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia tidak menyediakan biaya operasional ini, sehingga biaya ini ditanggung penerima Raskin.

Permasalahan lain yang selalu menjadi kisah klasik adalah tentang kualitas raskin. Selalu menjadi cerita dan berita dimana-mana bahwa kualitas raskin tidak layak dikonsumsi. Hal ini kemudian menjadikan mereka para penerima raskin harus mencampurnya dengan beras yang berkualitas bagus. Atau menukar raskin tersebut dengan beras yang layak dikonsumsi. Hal tersebut jika dilihat dari tujuan awal program raskin adalah mengurangi pengeluaran tidak tercapai sebab justru pengeluaran masyarakat menjadi meningkat kerena harus membeli beras lagi untuk campuran atau untuk tambahan konsumsi.

Pertanyaan selanjutnya muncul, kemanakah beras raskin yang dijual tersebut? Beras-beras tersebut ada yang dijual kepada para pengusaha karak maupun pada peternak untuk campuran ransum ternak. Serta ditengarai di beberapa daerah bahwa beras-beras tersebut dibeli lagi oleh Bulog yang kemudian dilaporkan sebagai pembelian dari petani. Dan kemudian didistribusikan sebagai raskin pada saat berikutnya. Sungguh ironis.

Gambar sini