Friday, November 11, 2011

Petani dan Subsidi Pupuk


Sektor pertanian adalah sektor yang cukup dominan di Indonesia. Setidaknya ada 38 juta jiwa penduduk yang berusia produktif adalah berprofesi sebagai petani, demikian data yang dilansir oleh Kementrian Pertanian. Tidak kurang dari 57 persen penduduk Indonesia yang menggantungkan kahidupannya pada sektor ini.

Akan tetapi,  kenyataan menunjukkan bahwa kesejahteraan petani masih jauh dari yang diharapkan dan dibayangkan. Naiknya harga beras di pasaran tidak serta merta membuat petani meningkat kesejahteraannya. Hasil studi singkat Pattiro Surakarta pada pertengahan 2011 lalu di kawasan Polanharjo, salah satu sentra penghasil padi di Kabupaten Klaten, menunjukkan bahwa pendapatan petani di kawasan tersebut rata-rata berkisar Rp. 500.000 per bulan ketika hasil panen bagus. Sungguh ironis memang, jika ditinjau bahwa sektor pertanian adalah sektor penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar kedua setelah sektor industri olahan, yakni sebesar 15,61%, sebagaimana data yang dilansir BPS pada triwulan pertama 2011 ini. 

Sektor pertanian sebenarnya merupakan sektor paling prospektif dalam menopang perekonomian nasional. Sektor ini tidak mendapatkan efek domino secara signifikan dari gejolak ekonomi (krisis) global. Bahwa sektor pertanian memang sektor yang cukup bergantung pada iklim dan cuaca adalah benar adanya. Akan tetapi sebenarnya bukan sekedar itu saja. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satu faktor yang tak kalah penting adalah berkenaan dengan kebijakan atau regulasi. Ketidaktepatan kebijakan yang dibuat akan membuat sektor ini menjadi sektor yang tidak prospektif.

Bukti bahwa sektor pertanian adalah sektor yang prospektif adalah bahwa  sebenarnya kebutuhan akan pangan di dalam negeri semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring peningkatan jumlah penduduk. Sejatinya, sebagian besar kebutuhan pangan tersebut dapat ditopang oleh produk pertanian kita. Namun, yang terjadi adalah hasil pertanian kita kalah bersaing dengan produk-produk negara lain baik secara kualitas,  produktivitas, kuantitas maupun harga. 

Langkah kebijakan yang diambil pemerintah kemudian lebih memilih melakukan impor produk pertanian untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhan pangan bagi masyarakat di dalam negeri adalah salah satu contoh konkret ketidakberpihakan kebijakan pemerintah pada sektor pertanian kita. Akibatnya, banyak petani yang mengalihfungsikan lahan yang dimilikinya dengan menjual pada para pemodal untuk diubah menjadi perumahan ataupun pabrik. Sehingga, para petani tersebut akhirnya hanya menjadi buruh tani di lahan orang lain atau beralih profesi menjadi pedagang, kuli bangunan bahkan pindah ke kota untuk mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan keahlian yang mereka miliki. 

Itulah sekilas potret kebijakan pertanian kita yang ambigu atau berstandar ganda dimana tidak menjadikan petani dan sektor pertanian kita sebagai landasan pijak dalam pengambilan kebijakan. Disamping itu, implementasi kebijakan yang digulirkan juga cenderung masih jauh dari harapan regulasi yang ada.

Kebijakan Pupuk Bersubsidi
Dari berbagai kebijakan pertanian yang digulirkan pemerintah, salah satunya adalah kebijakan pemberian subsidi pada pupuk. Kebijakan ini digulirkan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian. Secara filosofis, subsidi pupuk dilakukan untuk meringankan beban petani dalam pembiayaan usaha taninya. Meskipun kebijakan subsidi pupuk mengalami reorientasi pada tahun 2003, namun konsep dasar pemberian subsidi terhadap pupuk yang digunakan oleh petani sebenarnya telah digagas sejak dekade 1970an.

Kebijakan pupuk bersubsidi sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri Pertanian No.06/Permentan/SR.130/2/2011, adalah diperuntukkan bagi sektor yang berkaitan dengan budidaya tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, hijauan pakan ternak, dan budidaya ikan dan/atau udang. Dengan sasaran bagi petani, pekebun, peternak yang mengusahakan lahan paling luas 2 (dua) hektar setiap musim tanam per keluarga petani kecuali pembudidaya ikan dan/atau udang paling luas 1 (satu) hektar.

Jenis pupuk yang disubsidi adalah meliputi : Pupuk Urea, SP-36/Superphospat, ZA, NPK, dan Pupuk Organik. Pemberian subsidi dilaksanakan melalui produsen pupuk. Produsen pupuk adalah perusahaan yang memproduksi pupuk anorganik dan pupuk organik di dalam negeri sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Untuk wilayah Jawa Tengah adalah PT Pupuk Sriwijaya (Pusri).

Jika dilihat, kebijakan ini cukup menarik guna menstimulasi produksi pertanian. Akan tetapi jika diselami ternyata kebijakan pemberian subsidi pupuk hingga saat ini ternyata masih menghadapi kendala dan masalah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) pada sepuluh wilayah di Indonesia yakni Kab. Aceh Besar, Kota Serang (Banten), Kab. Bandung Barat (Jabar), Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surakarta (Jateng), Kab. Gresik (Jatim), Kab. Lombok Barat (NTB), Kab. Jeneponto (Sulsel) dan Kota Jayapura (Papua). 

Pertama, ternyata masih saja terjadi kelangkaan pupuk di banyak daerah. Ini mengherankan sebab kuota pupuk bersubsidi disusun berdasarkan pengajuan secara bottom up mulai dari level Kelompok Tani dan kemudian ditetapkan oleh Kementerian Pertanian.  Kedua, harga pupuk yang dijual di atas HET yang ditetapkan. Banyak petani menyebutkan bahwa mereka membeli pupuk Urea seharga Rp. 85.000 dari harga seharusnya Rp. 60.000. ini menunjukkan bahwa ada oknum dalam sistem distribusi yang mengambil keuntungan dari kebijakan tersebut. Ketiga, penggantian kemasan dan penjualan pupuk bersubsidi kepada yang tidak berhak seperti industri perkebunan besar. 

Akibatnya, petani juga yang dirugikan. Sehingga, tujuan program subsidi pupuk untuk meringankan beban petani justru sebaliknya, petani semakin sementara segelintir orang justru diuntungkan. Hal tersebut baru sedikit masalah yang hanya terjadi pada tingkat implementasi lapangan. Kita belum berbicara pada proses pengambilan kebijakan maupun proses produksi pupuk. Ada berapa banyak oknum yang bermain dalam proses tersebut demi keuntungan mereka. Artinya, sebenarnya bungkusnya adalah kebijakan untuk petani akan tetapi justru yang menikmati hasilnya secara lebih besar bukanlah petani.