Wednesday, May 25, 2011

Kritik Transparansi Bank Syariah

Saya memang pengguna Bank Syariah sejak sekitaran 5 tahun lalu sewaktu masih mengais rejeki di Batavia karena kata seorang kawan bahwa menabung di bank konvensional itu dosa karena makan riba. Namun setelah saya mencoba menelaah lebih mendalam dari berbagai sumber literatur dan diskusi dengan banyak kalangan, dalam pandangan saya, bahwa sistem dan proses perbankan syariah kita saja masih banyak yang harus dibenahi.


Semoga tulisan ini dapat menjadi catatan bersama para pelaku ekonomi bisnis perbankan syariah di Indonesia untuk menerapkan sistem ekonomi syariah yang sesuai dengan kaidah syariah Islamiyah.

Pertama adalah mengenai transparansi pengelolaan keuangan yang kita simpan dalam bank syariah. Nasabah tidak pernah diberitahu melalui pelaporan keuangan terbuka mengenai perputaran uang kita tersebut. Apakah dimasukkan ke dalam pasar modal alias saham? Apakah disimpan di bank konvensional?

Alur mata rantai perbankan syariah harus benar-benar jelas dan transparan terhadap nasabah. Kemana uang nasabah yang dihimpun tersebut dialirkan. Ketika dana nasabah dialirkan pada pasar modal atau pasar uang maupun disimpan di bank konvensional yang lebih besar maka menurut saya itu tidak syariah lagi.

Pasar saham adalah sebuah sistem yang menjurus pada "judi", bukankah judi itu juga haram??? Dan ketika dana nasabah dialirkan ke bank konvensional yang lebih besar juga sudah tidak syariah lagi. Sebab unsur bunga yang katanya riba dari bank konvensional sudah merasuk ke dalam dana tersebut.

Hal kedua yang menurut saya harus dikritik dari bank syariah adalah transparansi besaran margin dana kredit konsumsi. Ketika ada nasabah akan kredit di bank syariah, semisal untuk kepemilikan rumah, maka bank syariah dalam prosesnya (teori) adalah membeli rumah tersebut kemudian menjualnya ke nasabah dengan mengambil keuntungan. Sehingga yang terjadi adalah akad jual beli. Dan sah-sah saja jika bank syariah mengambil keuntungan (margin), akan tetapi dalam prakteknya kaidah jual beli sedikit dipungkiri, sebab kebanyakan bank syariah telah menetapkan harga jual rumah tersebut ke nasabah tanpa ada proses negosiasi. Jika itu adalah akad jual beli maka akan terjadi negosiasi dan tawar menawar harga.

Ketiga adalah mengenai transparansi margin kredit usaha. Jika seorang nasabah akan melakukan kredit maka seharusnya adalah pihak bank syariah tidak mematok atau menetapkan margin bagi hasilnya, akan tetapi disesuaikan dengan laporan keuangan keuntungan si peminjam. Sehingga setiap bulannya besaran margin profit sharing yang diserahkan si peminjam ke bank syariah adalah bervariasi tidak tetap nominalnya. Kalau tetap apa bedanya dengan bunga bank konvensional. Hal ini lebih menyangkut transparansi dari si peminjam dalam mengelola dana pinjaman tersebut. Bahkan pengalaman beberapa kawan menyatakan margin yang diambil bank syariah lebih besar daripada bunga jika kita menyicil dari bank konvensional.

Itu yang menjadi kritik saya terhadap bank syariah yang saat ini banyak menjamur di negeri ini. Bahkan bukan hanya bank, namun pegadaian syariah juga telah muncul, mungkin finance alias leasing motor berlabel syariah akan segera hadir. Atau bahkan rentenir berlabel syariah juga akan segera unjuk diri.


Gambar dari Internet