Thursday, April 21, 2011

Emansipasi dan Kisah Laksamana Malahayati


Beliau adalah seorang perempuan yang agung (grande dame), yang memimpin sebuah laskar pejuang yang berisi para perempuan dan kebanyakan adalah janda yang ditinggal wafat suami mereka dalam perjuangan melawan penjajah. Termasuk suaminya saat berperang melawan Portugis sewaktu akan menguasai selat Malaka. Laskar tersebut dinamai Laskar Inong Balee atau yang bermakna Laskar para Janda pahlawan. Beranggotakan 2000 orang prajurit perempuan.

Emansipasi perempuan selalu dikaitkan dengan keberadaan RA Kartini. Menurut saya, bahwa yang namanya pejuang emansipasi perempuan atau kesetaraan gender ada jalan dan strategi serta taktik masing-masing pejuangnya. Model dan cara berjuangnya juga berbeda. Laksamana Malahayati, menurut saya juga adalah seorang pejuang emansipasi perempuan. Mosok sih? Lha sakjane sopo tho Malahayati kuwi???

Malahayati, nama aslinya adalah Keumala Hayati, hidup di masa Kerajaan (Kesultanan) Atjeh dipimpin oleh Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV yang memerintah antara tahun 1589-1604 M. Malahayati pada awalnya adalah dipercaya sebagai kepala pengawal dan protokol di dalam dan luar istana. Karir militernya menanjak setelah kesuksesannya "menghajar" kapal perang Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Cornelis de Houtman yang terkenal kejam. Bahkan Cornelis de Houtman tewas ditangan Malahayati pada pertempuran satu lawan satu di geladak kapal pada 11 September 1599. Akhirnya beliau diberi anugerah gelar Laksamana. Dan beliaulah Laksamana Perempuan Pertama Di Dunia. Beliau juga sukses menghalau Portugis dan Inggris masuk ke Aceh.

Selain itu, beliau juga mendirikan sebuah benteng yang dikenal dengan Benteng Inong Balee di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Benteng tersebut menghadap ke barat, ke arah Selat Malaka. Benteng ini merupakan benteng pertahanan sekaligus sebagai asrama penampungan janda-janda yang suaminya gugur dalam pertempuran. Selain itu juga digunakan sebagai sarana pelatihan militer dan penempatan logistik keperluan perang.

Setelah wafat Malahayati dimakamkan tidak jauh dari Benteng Inong Balee, sekitar 3 Km dari benteng berada diatas bukit. Lokasi makam pada puncak bukit, merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap tokoh yang dimakamkan. Penempatan makam di puncak bukit kemungkinan dikaitkan dengan anggapan bahwa tempat yang tinggi itu suci. Beberapa kompleks makam di daerah lain yang terdapat di puncak bukit antara lain: Kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri Yogyakarta, makam Sunan Giri di Giri Gresik, Sunan Muria di Kudus, dan Gunung Jati di Cirebon.

Nama Malahayati saat ini terserak di mana-mana, sebagai nama jalan, pelabuhan, rumah sakit, sebuah universitas di Bandar Lampung, Akademi Maritim di banda Aceh serta kapal perang, KRI Malahayati, satu dari tiga fregat berpeluru kendali MM-38 Exocet.

Itulah profil singkat salah seorang pahlawan Aceh. Jika selama di sekolah dulu kita hanya diajarkan bahwa pahlawan Aceh hanya ada Cut Nya' Dien maupun Cut Meutia saja, ternyata ada pahlawan perempuan yang lain juga.
Para pahlawan tersebut, menurut saya, tidak bisa dibanding-bandingkan. Tidak bisa disama-atau dibedakan. Mereka memiliki karakteristik masing-masing, punya keahlian dan jalannya masing-masing untuk memperjuangkan cita-citanya. Jadi saya ndak sepakat jika Malahayati lebih heroik dibanding RA Kartini atau Cut Nyak Dien atau sebaliknya.
Beda karakter, beda waktu, dan beda jalan yang harus dilalui untuk menjadi pahlawan. Jika RA Kartini berjuang dengan pena untuk sebuah emansiapasi, sementara Malahayati berjuang dengan pedang. Yang jelas kesemuanya berjuang dengan fikiran dan tenaga serta taktik masing-masing. Semuanya, menurut saya adalah para pejuang emansipasi perempuan yang bergerak dengan caranya masing-masing.

Monumen Pers Nasional

Bagi insan pers sungguh tidak asing lagi dengan nama ini. Buat warga Solo Raya juga sudah akrab dengannya. Monumen Pers Nasional atau orang sering menyebut dengan Monumen Pers saja atau Monumen Pers Solo, adalah sebuah bangunan bersejarah yang berdiri megah di tengah kota Solo tepatnya di Jalan Gadjah Mada 59 Solo. Monumen ini didirikan guna mengenang jasa-jasa para tokoh pers nasional. Mengapa dipilih kota Solo, menurut beberapa penulusuran pustaka para tokoh-tokoh pers nasional tersebut memulai gerakan menentang Belanda melalui media massa [pers] diawali dari kota ini. Di Kota inilah tempat berkumpulnya tokoh-tokoh tersebut guna membahas agenda strategis dalam melawan pemberitaan Belanda pada waktu itu. Di kota Solo-lah sebagian besar tokoh pers nasional juga dibesarkan.

Monumen Pers Nasional memiliki sebuah bangunan induk [bagian tengah] yang berfungsi sebagai hall atau aula atau convention hall bahasa kerennya. Selain itu, disini juga dilengkapi dengan ruang perpustakaan, ruang pameran, museum dan ruang konservasi dan koleksi arsip kuno. Dan yang menarik Monumen Pers Nasional telah dilengkapi dengan hellipad.

Koleksi perpustakaannya lumayan lengkap. Saya bilang lumayan karena disini relatif komplit jika dibandingkan dengan perpustakaan daerah namun kalah lengkap dengan perpustakaan kampus. Buku-buku koleksinya seputar media massa, komunikasi, penerbitan, jurnalisme, serta beberapa koleksi skripsi dan majalah.

Di ruang koleksi arsip kuno, kita dapat menjumpai berbagai koleksi koran kuno. Di museumnya kita akan menemukan berbagai benda-benda yang berkaitan dengan jurnalistik seperti mesin ketik kuno milik Bakrie Soeraatmadja, beliau adalah pemimpin redaksi surat kabar “Sipatahoenan” sebuah koran berbahasa Soenda. Selain itu ada diorama perjuangan bangsa dan patung para tokoh pers nasional serta peninggalan-peninggalan yang lain. Monumen Pers Nasional dulu dinaungi oleh Departemen Penerangan. Pasca departemen ini dilikuidasi oleh Presiden Abdurrahman Wahid, kemudian diubah sebagai UPT pada Lembaga Informasi Nasional. Kemudian, pada saat ini berada dibawah naungan Departemen Komunikasi dan Informasi dibawah Dirjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi. Berkunjung kesini pokoknya menyenangkan dan mengasyikkan dech… Banyak referensi dan catatan sejarah Indonesia ada disini.


Monday, October 18, 2010

Kayana Putri Az-Zahirul Haq

Minggu, 17 Oktober 2010 tepat bersamaan dengan kumandang adzan Maghrib, di sebuah Rumah Bersalin di kawasan njero mbeteng Kraton Surakarta Hadiningrat, seorang bayi perempuan lahir. Bayi perempuan dengan berat 3,2 Kg dan panjang 48 cm itu adalah puteri ke-2 seorang kaumbiasa ini. Sujud syukur kehadirat Gusti ALLAH SWT Sang Maha Segalanya, penantian panjang selama 9 bulan lebih 12 hari akhirnya usai sudah.


Berbeda dengan anak pertama saya, Rama Maheswara Az-Zahirul Haq, yang pada hari 3 sudah diberi nama, puteri ke-2 saya ini baru saya kasih nama pada hari 5 dia terlahir di dunia ini. Bukan apa-apa sih, sebab selain rada bingung mau ngasih nama siapa,  juga adat di Solo beda dengan di Bojonegoro. Di Bojonegoro adatnya adalah bayi harus sudah dinamai tiga hari setelah kelahirannya, sementara di Solo adatnya beda, bayi dinamai biasanya setelah sepasar atau lima hari.

Setelah bermeditasi sejenak akhirnya saya dan isteri saya sepakat memberinya nama Kayana Putri Az-Zahirul Haq. Sebuah nama diambil dari perpaduan bahasa Sansekerta, Jawa dan Arab.
Kayana [Sansekerta] : dermawan, baik hati
Putri [Jawa] : perempuan, wanita
Az-Zahirul Haq [Arab] : pendukung dan pembela kebenaran

Kami berharap kelak anak ini menjadi seorang perempuan yang dermawan dan selalu membela kebenaran.
Doa kami, sebagai orang tua, nantinya kau bisa menjadi apa yang kami idamkan nak. Sesuai dengan namamu, bahwa kamu akan menjadi seorang dermawan yang selalu berbaik hati dalam berbagi dengan sesama serta senantiasa membela kebenaran dan akhirnya mencapai kemuliaan. Dan tulisan ini semoga akan menjadi pengingatmu di kemuadian hari kelak.
Terima kasih Tuhan atas anugrahMu , terima kasih untuk istriku tercinta, Afrik Febiantanti, yang telah menjaga benih yang kutabur, mari kita rawat dan besarkan sang Putri guna menjadi apa yang kita cita-citakan.

Thursday, June 10, 2010

Candi Asu

Candi Asu Sengi adalah sebuah candi peninggalan Mataram Kuno dari trah Wangsa Sanjaya (Mataram Hindu). Berada di lereng Gunung Merapi sebelah barat di tepian Sungai Pabelan, tepatnya di desa Sengi, Kec. Dukun Kab Magelang, atau sekitar 5 Km dari Ketep Pass ke arah selatan (menuju arah kota Muntilan), tidak jauh dari Jalur SSB (Solo Selo Borobudur).
Nama Candi Asu sebenarnya baru diberikan oleh masyarakat sekitar sewaktu candi ini pertama kali ditemukan. Nama sebenarnya (nama waktu dulu dibangun) belum diketahui secara pasti.

Nama Candi Asu diberikan karena sewaktu pertama kali ditemukan ada sebuah patung Lembu Nandhi yang wujudnya telah rusak dan lebih mirip menyerupai Asu [Anjing] maka warga menyebutnya dengan Candi Asu. Dari beberapa prasasti yang ditemukan di candi tersebut, diantaranya Prasasti Sri Manggal I (874 M) dan Sri Manggala II (876 M) serta Prasasti Kurambitan maka diperkirakan candi ini dibangun pada sekitar tahun 869 Masehi (semasa Rakai Kayuwangi).

Candi Asu berdiri menghadap ke arah barat, berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Atap candi sudah tidak ada, dan dibagian dalam candi ada sebuah sumur yang kedalamannya mencapai 3 meter. Tak banyak memang informasi mengenai candi Asu ini. Mungkin karena dirasa hanya sebuah candi kecil maka sangat sedikit yang berminat menelitinya.

Wednesday, June 2, 2010

Sejarah Magelang

Seperti kita ketahui bersama saat ini, bahwa Magelang terdapat dua wilayah administratif, yakni Kota Magelang dan Kabupaten Magelang. Banyak timbul pertanyaan, sebenarnya lebih dahulu mana antara kota atau kabupaten Magelang? Dan lebih tua mana diantara keduanya? Dan mengapa kok bisa sampai ada dua seperti itu?

Berikut ini adalah sedikit mengenai pengetahuan saya terkait sejarah Magelang, berikut ini adalah sedikit hasil investigasi saya. Ada beberapa sumber dan argumentasi yang dapat digunakan untuk menelusurinya.

Pertama, Hasil penelitian Museum Nasional dan Museum Radya Pustaka Surakarta Hadiningrat, bahwa keberadaan Magelang diawali dengan desa perdikan (kawasan bebas pajak) bernama Mantyasih (saat ini disebut dengan daerah Mateseh). Mantyasih sendiri memiliki arti Beriman dalam Cinta Kasih. Yang mendasari sumber ini adalah Prasasti POH, Prasasti GILIKAN dan Prasasti MANTYASIH. Ketiganya merupakan prasasti yang ditulis diatas lempengan tembaga, pada zaman Mataram Kuno era Wangsa Sanjaya atau Mataram Hindu saat pemerintahan Raja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910 M). Dimana didalam prasasti ini disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama Desa Glangglang. Mantyasih inilah yang kemudian berubah menjadi Meteseh, sedangkan Glang-glang berubah menjadi Magelang.
Dalam Prasasti Mantyasih berisi antara lain, penyebutan nama Raja Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka 829 Çaka bulan Çaitra tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis hari Senais Sçara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi tanggal 11 April 907. Dalam Prasasti ini disebut pula Desa Mantyasih yang ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung sebagai Desa Perdikan atau daerah bebas pajak yang dipimpin oleh pejabat patih. Juga disebut-sebut Gunung SUSUNDARA dan WUKIR SUMBING yang kini dikenal dengan Gunung SINDORO dan Gunung SUMBING.
Dan tanggal inilah (11 April 907) yang disahkan oleh Pemerintah Kota Magelang sebagai Hari Jadi Kota Magelang (berdasarkan Perda No. 6/1989). Maka usia Kota Magelang adalah 1103 tahun pada 2010 ini.
Kedua, ketika Inggris menguasai Nusantara pada 1801, dijadikanlah Magelang sebagai pusat pemerintahan setingkat Kabupaten dan diangkatlah Mas Ngabehi Danukromo sebagai Bupati pertama. Bupati ini pulalah yang kemudian merintis berdirinya Kota Magelang dengan membangun Alun – alun, bangunan tempat tinggal Bupati serta sebuah masjid. Dalam perkembangan selanjutnya dipilihlah Magelang sebagai Ibukota Karesidenan Kedu pada tahun 1818. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota pada tahun 1918, perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927.

Namun, karena tanggal dan bulannya masih belum diketahui secara pasti maka tahun 1801 tidak ditetapkan menjadi Hari Jadi Kabupaten Magelang. Pada saat ini, di Kabupaten Magelang lebih dikenal adanya Hari Jadi Kota Mungkid dari pada Hari Jadi Kabupaten Magelang. Setidaknya, ini terlihat dari perhelatan peringatan hari bersejarah tersebut oleh Pemerintah Kabupaten Magelang yakni pada tanggal 22 Maret 1984 (merujuk pada PP 21/1982, Kecamatan Mungkid adalah ibukota baru bagi Kabupaten Magelang, diresmikan oleh Gubernur Jawa Tengah pada 22 Maret 1984).

Ketiga, Pasca kemerdekaan berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1948 Kota Magelang berstatus sebagai Ibukota Kabupaten Magelang. Namun berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 1950, tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota Kecil dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat, bahwa Kota Magelang berdiri sendiri sebagai daerah yang diberi hak untuk mengatur Rumah Tangga sendiri. Sehingga ada kebijakasanaan untuk memindahkan Ibukota Kabupaten Magelang ke daerah lain. Selain itu dasar pertimbangan lainnya adalah nantinya pemindahan Ibukota lebih berorientasi pada startegi pengembangan wilayah yang mampu menjadi stimulator bagi pertumbuhan dan perkembangan wilayah.

Selanjutnya dari 4 alternatif Ibukota yang dipersiapkan yaitu Kecamatan Mungkid, Muntilan, Secang dan Mertoyudan, akhirnya Desa Sawitan Kecamatan Mungkid terpilih untuk menjadi Ibukota Kabupaten Magelang dengan nama Kota Mungkid berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 1982.