Saturday, December 3, 2011

Berfikir Sederhana, tapi Hasil Optimal

Kisah-kisah inspiratif bagaimana kita berfikir sederhana untuk mendapatkan hasil optimal seperti ini sebenarnya sudah beredar cukup lama di dunia internet, dari era milis, friendster, facebook hingga dunia blog (salah satu media yang eksis dari dulu hingga sekarang). Di belahan dunia yang lain, dikenal dengan istilah Keep It Simple Stupid (KISS) yang bila diartikan secara bebas adalah berfikir sederhana untuk memecahkan masalah yang sebenarnya juga bisa dilakukan oleh orang-orang bodoh.

Kisah I

Di salah satu perusahaan kosmetik, suatu saat mendapat keluhan dari seorang pelanggan yang mengatakan bahwa ia telah membeli sabun yang ternyata kosong. Dengan segera, para pimpinan perusahaan menceritakan masalah tersebut ke bagian pengepakan yang bertugas memindahkan semua kotak sabun yang telah di pak ke depatermen pengiriman.

Manajemen meminta para teknisi utk memecahkan masalah tersebut dan dengan segera para teknisi bekerja keras utk membuat mesin sinar X dgn monitor resolusi tinggi yg dioperasikan oleh 2 orang utk melihat semua kotak sabun yang melewati sinar tersebut. Kedua orang tersebut ditugaskan untuk memastikan bahwa kotak sabun yang lewat tidak kosong. Tak diragukan lagi, mereka bekerja keras dgn cepat, dan biaya yang dikeluarkan pun tidaklah sedikit.

Akan tetapi, pada saat yang sama ada seorang karyawan di sebuah perusahaan kecil dihadapkan pada permasalahan yang sama pula. Dia tidak berpikir ttg hal-hal yang rumit. Dia muncul dengan solusi yang berbeda. dengan membeli sebuah kipas angin listrik utk industri yang memiliki tenaga cukup besar dan mengarahkannya ke garis pengepakan. Kemudian kipas itu dinyalakan, sehingga meniup kotak sabun yang kosong keluar dari jalur pengepakan.

 

Kisah II

Pada suatu hari, seorang pemilik apartemen menerima komplai dari pelanggannya. Para pelanggan mulai merasa bahwa waktu tunggu mereka di pintu lift terasa lama seiring bertambahnya penghuni di apartemen itu. Sang pemilik apartemen mengundang sejumlah pakar utk memecahkan masalah tersebut.

Seorang pakar menyarankan agara menambah sejumlah lift, sedangkan pakar kedua meminta pemilik utk mengganti lift dengan yang lebih cepat dengan asumsi bahwa semakin cepat lift, orang yang terlayani akan banyak. Kedua saran tersebut tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Namun, pakar ketiga hanya menyarankan satu hal bahwa inti dari komplain pelanggan adalah mereka merasa menunggu terlalu lama. pakar tadi hanya menyarankan kepada sang pemilik apartemen utk menginvestasikan kaca cermin di depan lift, supaya perhatian para pelanggan teralihkan dari pekerjaan "menunggu" agar merasa "tidak menunggu lift". Dan ternyata...berhasil....

 

Kisah III

Pada saat NASA mulai mengirimkan astronot ke luar angkasa mereka menemukan bahwa pulpen mereka tidak bisa berfungsi di gravitasi nol karena tinta pulpen tersebut tidak akan mengalir ke mata pena. Untuk memecahkan masalah tersebut, mereka menghabiskan waktu satu dekade dan 12 juta dolar. 

Mereka mengembangkan sebuah pulpen yang dapat berfungsi pada keadaan-keadaan seperti gravitasi nol, terbalik dalam air, dalam berbagai permukaan termasuk kristal, dan dalam derajat temperatur, mulai dari di bawah titik beku sampai lebih dari 300 derajat celcius.

Dan apakah yang dilakukan para orang Rusia untuk mengatasi permasalahan tersebut? Mereka hanya menggunakan pensil!!

Disadur dari berbagai sumber

Friday, November 11, 2011

Petani dan Subsidi Pupuk


Sektor pertanian adalah sektor yang cukup dominan di Indonesia. Setidaknya ada 38 juta jiwa penduduk yang berusia produktif adalah berprofesi sebagai petani, demikian data yang dilansir oleh Kementrian Pertanian. Tidak kurang dari 57 persen penduduk Indonesia yang menggantungkan kahidupannya pada sektor ini.

Akan tetapi,  kenyataan menunjukkan bahwa kesejahteraan petani masih jauh dari yang diharapkan dan dibayangkan. Naiknya harga beras di pasaran tidak serta merta membuat petani meningkat kesejahteraannya. Hasil studi singkat Pattiro Surakarta pada pertengahan 2011 lalu di kawasan Polanharjo, salah satu sentra penghasil padi di Kabupaten Klaten, menunjukkan bahwa pendapatan petani di kawasan tersebut rata-rata berkisar Rp. 500.000 per bulan ketika hasil panen bagus. Sungguh ironis memang, jika ditinjau bahwa sektor pertanian adalah sektor penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar kedua setelah sektor industri olahan, yakni sebesar 15,61%, sebagaimana data yang dilansir BPS pada triwulan pertama 2011 ini. 

Sektor pertanian sebenarnya merupakan sektor paling prospektif dalam menopang perekonomian nasional. Sektor ini tidak mendapatkan efek domino secara signifikan dari gejolak ekonomi (krisis) global. Bahwa sektor pertanian memang sektor yang cukup bergantung pada iklim dan cuaca adalah benar adanya. Akan tetapi sebenarnya bukan sekedar itu saja. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satu faktor yang tak kalah penting adalah berkenaan dengan kebijakan atau regulasi. Ketidaktepatan kebijakan yang dibuat akan membuat sektor ini menjadi sektor yang tidak prospektif.

Bukti bahwa sektor pertanian adalah sektor yang prospektif adalah bahwa  sebenarnya kebutuhan akan pangan di dalam negeri semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring peningkatan jumlah penduduk. Sejatinya, sebagian besar kebutuhan pangan tersebut dapat ditopang oleh produk pertanian kita. Namun, yang terjadi adalah hasil pertanian kita kalah bersaing dengan produk-produk negara lain baik secara kualitas,  produktivitas, kuantitas maupun harga. 

Langkah kebijakan yang diambil pemerintah kemudian lebih memilih melakukan impor produk pertanian untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhan pangan bagi masyarakat di dalam negeri adalah salah satu contoh konkret ketidakberpihakan kebijakan pemerintah pada sektor pertanian kita. Akibatnya, banyak petani yang mengalihfungsikan lahan yang dimilikinya dengan menjual pada para pemodal untuk diubah menjadi perumahan ataupun pabrik. Sehingga, para petani tersebut akhirnya hanya menjadi buruh tani di lahan orang lain atau beralih profesi menjadi pedagang, kuli bangunan bahkan pindah ke kota untuk mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan keahlian yang mereka miliki. 

Itulah sekilas potret kebijakan pertanian kita yang ambigu atau berstandar ganda dimana tidak menjadikan petani dan sektor pertanian kita sebagai landasan pijak dalam pengambilan kebijakan. Disamping itu, implementasi kebijakan yang digulirkan juga cenderung masih jauh dari harapan regulasi yang ada.

Kebijakan Pupuk Bersubsidi
Dari berbagai kebijakan pertanian yang digulirkan pemerintah, salah satunya adalah kebijakan pemberian subsidi pada pupuk. Kebijakan ini digulirkan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian. Secara filosofis, subsidi pupuk dilakukan untuk meringankan beban petani dalam pembiayaan usaha taninya. Meskipun kebijakan subsidi pupuk mengalami reorientasi pada tahun 2003, namun konsep dasar pemberian subsidi terhadap pupuk yang digunakan oleh petani sebenarnya telah digagas sejak dekade 1970an.

Kebijakan pupuk bersubsidi sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri Pertanian No.06/Permentan/SR.130/2/2011, adalah diperuntukkan bagi sektor yang berkaitan dengan budidaya tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, hijauan pakan ternak, dan budidaya ikan dan/atau udang. Dengan sasaran bagi petani, pekebun, peternak yang mengusahakan lahan paling luas 2 (dua) hektar setiap musim tanam per keluarga petani kecuali pembudidaya ikan dan/atau udang paling luas 1 (satu) hektar.

Jenis pupuk yang disubsidi adalah meliputi : Pupuk Urea, SP-36/Superphospat, ZA, NPK, dan Pupuk Organik. Pemberian subsidi dilaksanakan melalui produsen pupuk. Produsen pupuk adalah perusahaan yang memproduksi pupuk anorganik dan pupuk organik di dalam negeri sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Untuk wilayah Jawa Tengah adalah PT Pupuk Sriwijaya (Pusri).

Jika dilihat, kebijakan ini cukup menarik guna menstimulasi produksi pertanian. Akan tetapi jika diselami ternyata kebijakan pemberian subsidi pupuk hingga saat ini ternyata masih menghadapi kendala dan masalah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) pada sepuluh wilayah di Indonesia yakni Kab. Aceh Besar, Kota Serang (Banten), Kab. Bandung Barat (Jabar), Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surakarta (Jateng), Kab. Gresik (Jatim), Kab. Lombok Barat (NTB), Kab. Jeneponto (Sulsel) dan Kota Jayapura (Papua). 

Pertama, ternyata masih saja terjadi kelangkaan pupuk di banyak daerah. Ini mengherankan sebab kuota pupuk bersubsidi disusun berdasarkan pengajuan secara bottom up mulai dari level Kelompok Tani dan kemudian ditetapkan oleh Kementerian Pertanian.  Kedua, harga pupuk yang dijual di atas HET yang ditetapkan. Banyak petani menyebutkan bahwa mereka membeli pupuk Urea seharga Rp. 85.000 dari harga seharusnya Rp. 60.000. ini menunjukkan bahwa ada oknum dalam sistem distribusi yang mengambil keuntungan dari kebijakan tersebut. Ketiga, penggantian kemasan dan penjualan pupuk bersubsidi kepada yang tidak berhak seperti industri perkebunan besar. 

Akibatnya, petani juga yang dirugikan. Sehingga, tujuan program subsidi pupuk untuk meringankan beban petani justru sebaliknya, petani semakin sementara segelintir orang justru diuntungkan. Hal tersebut baru sedikit masalah yang hanya terjadi pada tingkat implementasi lapangan. Kita belum berbicara pada proses pengambilan kebijakan maupun proses produksi pupuk. Ada berapa banyak oknum yang bermain dalam proses tersebut demi keuntungan mereka. Artinya, sebenarnya bungkusnya adalah kebijakan untuk petani akan tetapi justru yang menikmati hasilnya secara lebih besar bukanlah petani.

Monday, October 10, 2011

yang Terhempas, yang Tertindas

Selalu ada peminggiran kaum diffabel dalam wujud kehidupa sehari-hari dengan berbagai bentuk dan ranah, namun seolah-olah ini sudah dianggarp sebagai sesuatu yang pantas diterima diffabel. Sungguh ironis. Penderitaan yang dialami kaum diffabel sungguh rumit. Di satu sisi, mereka tidak dapat melakukan gugatan kepada Tuhan atas keadaan dirinya, dan di sisi lain sebagian masyarakat memperlakukan dan memandangnya secara berbeda bahkan semena-mena. 

Pada ranah sumber sosial (pendidikan, ekonomi, kependudukan, sumber daya manusia serta teknologi) kaum difabel seringkali tidak mendapatkan kesempatan yang setara. Pendidikan kaum difabel di negeri ini disendirikan, akan tetapi sarana penunjangnya sangatlah kurang. Akibatnya pengembangan kemampuan akademik dan non-akademik minim sekali, juga interaksi dengan orang non-difabel juga relatif terbatas, Teknologi yang dikembangkanpun juga sangat jarang yang diarah untuk membantu keterbatasan mereka.

Pada ranah sistem sosial (norma, hukum, sosial, politik), kaum difabel secara politik diragukan kemampuannya karena keterbatasan fisik untuk menjadi pimpinan lembaga pemerintahan maupun non-pemerintahan. Sarana prasarana umum juga sangat jarang memperhatikan aksessibilitas kaum difabel. Seakan-akan hanya disediakan bagi orang non-difabel, akibatnya sarana prasarana umum tersebut tidak mempersatukan individu atau kelompok di masyarakat namun justru cenderung memecah belah yang berakibat pada kecemburuan dan pada akhirnya memicu konflik.

Pada ranah budaya, bagi sebagian masyarakat, kaum difabel, dianggap rendah dan bahkan ada yang menganggapnya sebagai karma atau kutukan. ALLAH SWT pernah menegur Kanjeng Nabi Muhammad SAW karena bermuka masam dan memalingkan muka dari orang buta yang menghampirinya (sebagaimana dimaktub dalam QS AbBassa). Dalam bahasa Indonesia, kata cacat seringkali dikonotasikan dengan ejekan atau peyoratif dan selalu dikaitkan dengan hal-hal yang tidak baik, misalnya orang yang berkelakuan buruk disebut dengan cacat moral atau orang yang pernah berbuat makar pada negara dikatakan cacat politik.

Manusia memang dilahirkan dalam keadaan berbeda, namun berhak mendapatkan hak asasi yang sama. Setiap orang memiliki keterbatasan dan jangkauan yang berbeda namun dalam kehidupan bersama semua orang harus memperoleh perlakuan yang setara. Kaum difabel memiliki keterbatasan fisik namun bisa jadi memiliki jangkauan lebih dalam hal lain.

Bagaimana dengan kaum difabel di Indonesia? Di negeri ini telah banyak kebijakan yang digulirkan untuk 'mencoba' melindungi dan berpihak serta mengakui hak-hak kaum difabel, diantaranya adalah:
  • Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
  • Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
  • Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.
  • Keputusan Presiden No. 82 Tahun 1999 tentang Lembaga Koordinasi Dan Pengendalian Peningkatan Sosial Penyandang Cacat.
  • Peraturan Menteri PU No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan
  • Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas bagi penyandang cacat dan orang sakit pada sarana dan prasarana perhubungan
Akan tetapi masih saja jauh dari implementasi. Kaum difabel di negeri ini masih saja sulit mengakses pekerjaan formal baik sebagai pegawai negeri maupun swasta. Jikapun ada hanya satu dari seribu difabel yang berhasil mengaksesnya. Aksessibilitas pada sarana prasarana umum seperti gedung, jalan, halte masih tidak mencerminkan pengakuan keberadaan mereka, sangat banyak yang tidak menyediakan kemudahan akses bagi difabel. Bahkan Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN) yang dicanangkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000 hanya tinggal nama dan kenangan sebab aksesibilitas pada bangunan dan transportasi publik kita masih jauh dari standar aksesibilitas.

Bahwa perjuangan kaum difabel Indonesia memang tidak pernah berhenti. Namun seolah-olah masih saja terbentur pada sebuah tembok besar yang kokoh. Dan perjuangan tersebut memang tidak akan pernah berhasil jika tanpa didukung organisasi serta sumber daya manusia difabel yang kuat serta oleh kalangan non-difabel yang memiliki empati kepada mereka. Tanpa itu, sekuat apapun gerakan dan teriakan kaum difabel memperjuangkan hak-haknya maka akan nihil. Pemerintah sebagai wujud dari pelaksanaan tata kelola negara harus terus didesak, sebab kemauan pemerintah untuk menjalankan peraturan perundangan yang telah dibuat tersebut masih nihil. Hampir selalu retorika belaka. Bahkan jika memang diperlukan untuk melakukan class action ataupun gugutan pra peradilan atas tidak aksesibelnya sarana prasarana umum yang dibangun oleh negara menjadi hal dapat dilakukan.

Tulisan ini diolah dari hasil diskusi bersama dengan Organisasi Difabel "Warsa Mundung" Magelang
Gambar ilustrasi dari sini

Friday, September 30, 2011

Sekolah Transparan Kelola BOS?

Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah berjalan sejak tahun 2004 lalu dengan mekanisme penyaluran langsung dari pemerintah (pusat) ke masing-masing sekolah (SD dan SMP) seantero Indonesia. Pada tahun 2011 ini, penyaluran dana BOS dilakukan melalui kas daerah. Kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah pusat pada akhir 2010 tersebut ternyata memiliki konsekuensi logis terhadap mekanisme penyaluran dan pertanggungjawaban yang digunakan oleh pihak sekolah.
Perubahan kebijakan tersebut memang ada nilai positif dan negatifnya. Nilai positif perubahan kebijakan ini adalah pengawasan terhadap penggunaan dana BOS dilakukan secara berlapis. Jelas, Inspektorat akan turut serta mengawasi demikian juga BPK dan BPKP pasti akan melakukan pemeriksaan pula. Disamping itu, peran masyarakat mengawasi juga menjadi semakin mudah sebab besaran alokasi dana BOS masuk dalam dokumen APBD yang dapat diakses oleh publik.

Dalam 4 bulan ini, PATTIRO Surakarta melakukan riset dan juga investigasi lapangan mengenai penyaluran dana BOS tersebut di Kota Surakarta. Diantara temuan lapangan tersebut adalah bahwa Sekolah belum transparan dalam pengelolaan dana BOS.

Sekolah sebagaimana termaktub dalam UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi adalah termasuk dalam kategori badan publik yang memiliki kewajiban untuk mempublikasikan anggaran yang dikelolanya baik yang berasal dari APBD, APBN dan swadaya masyarakat. Sampai saat ini sekolah masih tertutup dalam hal tersebut.

Dalam Permendiknas No 37/2010 tentang Juknis Dana BOS 2011 secara jelas menyebutkan bahwa sekolah harus mempublikasikan dana BOS yang dikelolanya beserta peruntukannya (RKAS). Namun pada kenyataannya sebagaimana temuan lapangan PATTIRO Surakarta sampai saat ini belum ada sekolah yang mempublikasikan RKAS-nya di papan informasi sekolah. Jangankan yang keseluruhan APBS atau RKAS beserta dana yang dihimpun dari orang tua siswa, untuk dana BOS saja tidak dipublikasikan, padahal peraturan perundangan secara jelas telah mengatur dan mewajibkannya.

Ini artinya sekolah belum mau membuka diri, sekolah masih belum mau transparan. Disamping itu, jelas sekolah telah menyalahi peraturan perundangan. Sekolah seharusnya bukan hanya sekedar menuntut haknya, seperti ketepatan waktu pencairan dana BOS dan sumbangan dari orang tua siswa, namun kewajibannya juga harus dipenuhi.

Sekolah harus mawas diri dan harus mau membuka diri berkenaan dengan keuangan yang dikelolanya dan juga harus mawas diri untuk menyelesaikan kewajibannya. Pemerintah kota juga harus tegas dalam mengambil tindakan apabila ada sekolah yang menyalahi atau tidak melaksanakan amanat peraturan perundangan yang ada. Selain itu, masyarakat dalam hal ini orang tua siswa juga harus berani dan mampu mengungkapkan permasalahan yang terjadi di sekolah.

Friday, September 9, 2011

9 September

Bagi kebanyakan orang dinilai sebagai angka keramat, karena 9 adalah bilangan tertinggi dalam deret bilangan asli. Ada yang bilang ini angka hoki, ada yang berkata ini angka keren, ada pula yang memastikan bahwa ini angka mistik. Namun menurut saya ini angka sembilan.


Dari penerawangan saya ternyata ada yang menarik dan unik dari 9 September berkenaan dengan Agenda Pekan Olahraga Nasional (PON) I dilaksanakan di Kota Solo.
Bahwa upacara pembukaan oleh Presiden Soekarno dilakukan pada 9 September [kemudian ditetapkan sebagai Hari Olahraga Nasional]. Pekan Olahraga Nasional I ini diikuti oleh sekitar 600 atlet yang bertanding pada 9 cabang olahraga yakni : Atletik, Lempar Cakram, Bulutangkis, Sepakbola, Tennis, Renang, Pencak silat, Panahan dan Bola Basket. Dengan jumlah total medali (emas, perak, perunggu) yang diperebutkan sebanyak 108 (1+0+8=9).

Pesertanya bukan tingkat propinsi melainkan tingkat Kota dan Karesidenan. Ada 13 partisipan yakni Surakarta, Yogyakarta, Bandung, Madiun, Magelang, Malang, Semarang, Pati, Jakarta, Kedu, Banyuwangi, Surabaya. Juaranya adalah kota Solo dengan total medali sebanyak 36 medali (3+6=9). Kok ngepasi ya?

Lebih ngepasi lagi adalah 9 hari setelah pembukaan PON I tersebut adalah peristiwa berdarah pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948, (1+8=9). Dimana para korbannya adalah para kyai dan ulama yang banyak berasal dari Ormas bernama NU yang lambangnya ada bintangnya sejumlah 9.

Kabeh-kabeh kok 9 ya? (thinking)