Wednesday, March 7, 2018

Rel Kereta Api Membelah Kota Solo

Ini merupakan satu-satunya di Indonesia. Kendaraan (mobil dan motor bahkan sepeda) dapat berjalan berdampingan dengan kereta api tanpa jarak dan batas. Bener-benar dekat jaraknya. Adalah rel kereta api yang membelah kota Solo, menghubungkan Stasiun Purwosari (Solo) dengan Stasiun Wonogiri.


Jalur kereta api ini dibangun pada 1922 oleh pemerintahan kolonial Belanda, menghubungkan Solo sampai Baturetno. Namun semenjak, Waduk Gajah Mungkur beroperasi, rel kereta hanya sampai di Wonogiri saja.



Saat ini rel kerata api ini difungsikan untuk feeder kereta Senja Bengawan dari Wonogiri dan Kereta Batara Kresna jurusan Solo-Wonogiri. Dulu pada tahun 2000 pernah dioperasikan kereta wisata Punakawan dan pada tahun 2008 pernah dioperasikan Kereta Uap Jaladara dengan sistem sewa untuk rombongan.




Wednesday, January 31, 2018

Masjid Agung Baiturrahman, Ngawi

Masjid Agung Baiturahman, Ngawi ini didirikan pada 1879 M atau tanggal 10 Besar Tahun Be atau tanggal 10 Dzulhijah 1296 H oleh Raden Mas Tumenggung Brotodiningrat, Bupati Ngawi VI. Data-data menyebutkan, sebagaimana bersumber pada prasasti yang terukir pada bagian atas pintu masuk dari ruang serambi ke ruang utama yang menghadap ke timur dalam tulisan huruf Arab berbahasa Jawa. Prasasti ini terbuat dari papan kayu jati.

Masjid yang berada di pusat kota Ngawi, di sebelah barat alun-alun ini telah beberapa kali mengalami renovasi, hingga bentuknya yang seperti sekarang ini. Salah satunya adalah pada tahun 1986 yang merenovasi besar-besaran oleh Bupati Ngawi, Soelardjo. Pada masa Soelardjo pula, masjid ini diberikan nama Baiturrahman.

Di Masjid Agung Baiturrahman Ngawi ini banyak ditemukan prasasti. Ditengarai, selain sebagai pengingat, prasasti ini juga sebagai hiasan sebagaimana ketika melihat gaya simetris yang tertuang dalam pahatan berlubang untuk lafadz “Bismillahirrahmanirrahiim” berupa unggas di kanan dan kiri bagian pinggir yang tentu saja menjadikan tulisannya yang satu terbalik, begitu juga halnya dengan tulisan “Muhammad” pada bagian tengah kanan dan kiri.



Kecuali prasasti yang menyatakan oleh siapa dan kapan masjid didirikan, terdapat pula prasasti yang terukir pada papan tebal kayu jati di atas lengkung gawang masuk ke Mimbar yang juga berukir dan terbuat dari kayu jati. Prasasti yang bertuliskan huruf Arab dan menghadap ke timur ini merupakan ‘pengingatan pembuatan mimbar pada Sabtu Pon tanggal 17 Jumadil awal 1810, bertepatan dengan tanggal 16 April 1881 Masehi atau tanggal 16 Jumadil awal 1298 Hijriah.
Masih pada mimbar ini, di bagian belakang menghadap ke barat di belakang tempat duduk, tertulis prasasti yang terukir dengan huruf Arab berbahasa Jawa yang berarti Pengingatan penyelesaian pembuatan mimbar pada hari Sabtu Pahing tanggal 18 bulan Romadhon tahun Jimakhir 1298 tanggal 12/13 Agustus 1881.
Masih ada lagi satu prasasti pada logam tembaga yang berada di mustaka masjid atau hiasan yang dipasang dpuncak paling tinggi atap masjid. Tulisan yang juga merupakan ukiran dengan huruf Arab dan berbahasa Jawa itu terdapat pada bagian dalam dari Mustaka Tulisan itu bermakna “Pengingatan dinaikannya mustaka hari Jumat Kliwon saat jam 4 sore tanggal 1 Syawal tahun Jimakhir 1298 atau tanggal 26 Agustus 1881. Yang membuat mustaka Kanjeng Brotodiningrat. Urunan dari parandawa 1421 kurang dari 155). Lengkapnya tanggal/bulan dan tahunnya adalah 26 Agustus 1881 Masehi; 30 Romadhon 1298 H; 1 Syawal 1810 tahun Jawa Jimakir”.

Catatan: Foto adalah koleksi pribadi, diambil pada 21 September 2017

Friday, December 1, 2017

Rumah Betang Desa Benua Tengah Kapuas Hulu

Rumah Betang atau rumah panjang atau dalam bahasa Dayak Sub Suku Dayak Tamambaloh Apalin disebut dengan Sao Langke. Suku Dayak Sub Suku Tamambaloh Apalin adalah Sub Suku Dayak yang bermukim di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Merupakan bagian rumpun Banuaka. Wilayah adatnya meliputi sepanjang aliran sungai dan anak sungai Labian Batang Lupar di sepanjang perairan sungai Embaloh (Kecamatan Embaloh Hulu) dan disepanjang aliran sungai dan anak sungai Palin (Kecmatan Embaloh Hilir). Sub Suku Dayak ini memang kurang dikenal karena keberadaan mereka yang tinggal di ujung utara Kapuas Hulu. Orang lebih mengenal Suku Dayak yang berada di bagian utara Kapuas Hulu adalah Dayak Iban, padahal Sub Suku Dayak ini sejarahnya adalah pendatang dari Serawak, Malaysia.

Sampai saat ini masyarakat Tamambaloh dipimpin oleh seorang Tamanggung, yang dipilih dari kalangan samagat (bangsawan dalam bahasa Dayak Tamambaloh). Masa jabatannya tidak ditentukan, selama yang bersangkutan masih mampu dan tidak mengundurkan diri.

salah satu tiang penyangga rumah betang 
Salah satu ciri khas masyarakat Dayak adalah agraris dan rumah betang. Namun seiring perkembangan zaman kini mulai memudar. Banyak rumah betang yang telah hilang atau ditinggalkan. Kini hanya tinggal beberapa yang masih tersisa dan digunakan. Dan sentuhan modern juga telah ditemukan, seperti keberadaan listrik, alat elektronik atau perubahan bentuk maupun material yang digunakan. 

Salah satu rumah betang yang masih tersisa adalah Rumah Betang di Dusun Benua Tengah Hilir, Desa Benua Tengah, Kecamatan Putussibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu. Rumah betang ini merupakan rumah betang tertua yang ada di Kapuas Hulu, bahkan Kalimantan Barat. Rumah betang ini diperkirakan dibangun pada tahun 1864 oleh Bakik Layo. Rumah Betang yang disebut Sao Langke Dai Bolong Pambean ini telah mengalami beberapa kali renovasi (pada tahun 1940 dan 2005) dan telah ditetapkan menjadi cagar budaya pada tahun 2009.

Pada awal dibangun, rumah betang ini tingginya mencapai 9 meter. Namun kini tinggal 4 meter karena banyak kayu yang lapuk dan susah mencari pengganti kayu yang panjangnya hingga 9 meter maka ketinggiannya diturunkan. Atapnya pun sudah tidak menggunakan sirap atau rumbia namun telah berubah menjadi atap seng. Sentuhan modern telah hadir dengan keberadaan jaringan listrik dengan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) pada tiap-tiap bilik dan keberadaan televisi yang digunakan secara bersama-sama.

Bilik di dalam Rumah Betang Dai Bolong Pambean
tangga untuk akses naik ke rumah betang
salah satu panel PLTS di depan rumah betang
rumah betang Dai Bolong Pambean

Lokasi rumah betang (Sao Langke) Dai Bolong Pambean sekitar 50 Km dari Putussibau ke arah utara. Menuju lokasi ini dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat dan roda dua. Jalan menuju desa Benua Tengah telah beraspal dan berada di Jalan Poros Putussibau - Badau yang menuju perbatasan Indonesia - Malaysia. Dari jalan poros menuju lokasi rumah betang sekitar 5 Km melalui jalan tanah dan sebagian telah ada pengerasan.

Perjalanan dan rumah betang (Sao Langke) Dai Bolong Pambean dapat juga disaksikan dalam video berikut ini.



Catatan: foto dan video adalah koleksi pribadi. diambil dengan iPhone 6

Wednesday, November 29, 2017

Penerbangan Pontianak ke Putussibau

Guna menuju ke Kapuas Hulu, selain dengan jalur darat dan sungai, dapat juga melalui jalur udara. Ada penerbangan dari Pontianak menuju Bandara Pangsuma, Putussibau, Kapuas Hulu. Penerbangan dari Pontianak ke Putussibau ditempuh selama 1 jam 5 menit dengan menggunakan pesawat jenis ATR.

Ketika kita melakukan perjalanan melalui udara dari Pontianak ke Putussibau kita dapat menikmati pemandangan yang SUBHANALLAH... Indahnya... Gumpalan awan berjajar dan juga sungai Kapuas yang meliak-liuk akan sangat indah dilihat dari udara karena pesawat terbang tidak terlalu tinggi. Sehingga kita dapat melihat daratan dengan cukup jelas.

Keindahan itu dapat disaksikan dalam video berikut ini.



Catatan: foto dan video adalah koleksi pribadi. diambil dengan iPhone 6

Monday, October 30, 2017

Masjid Agung Pondok Tinggi, Sungai Penuh, Kerinci


Masjid Agung Pondok Tinggi adalah salah satu masjid tertua di kawasan Kerinci, Provinsi Jambi. Masjid ini dibangun pada tahun 1874 Masehi dan menjadi saksi penyebaran agama Islam di kawasan Kerinci dan sekitarnya. Ukuran masjid adalah 30 x 30 Meter dengan tinggi 30,5 Meter (100 kaki). Dinding Masjid terbuat dari kayu dan dihiasi dengan ukiran motif tumbuhan dan hiasan motif geometris. Lantai masjid dibuat dari ubin dan masjid ini memiliki pintu ganda dengan motif tumpal dan sulur-suluran sebagaimana motif hiasan pada setiap sudut masjid.
motif hiasan ukiran

Masjid Agung Pondok Tinggi berada di Jalan Soekarno-Hatta, Sungai Ning, Kecamatan Sungai Penuh, Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi. Masjid Agung Pondok Tinggi merupakan warisan cagar budaya dan dilindungi oleh UU 5/1990 tentang Cagar Budaya. 

Kota Sungai Penuh sebelumnya adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Kerinci dan menjadi ibukota Kabupaten Kerinci, kemudian pada tahun 2008 dengan keluarnya UU No. 25/2008 tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh, maka resmi terlepas secara administrasi dari Kabupaten Kerinci dan menjadi wilayah otonom sendiri. Sebagian kecil kawasan kota Sungai Penuh adalah Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Menurut penuturan salah satu warga yang juga pengurus masjid, masjid ini selesai dibangun pada tahun 1902 Masehi. Dan di atas masjid ini pula, Sang Saka Merah Putih Berkibar pertama kalinya di wilayah Kerinci.

Arsitektur masjid ini sama dengan arsitektur masjid di Nusantara, yakni dengan atap limas tiga tingkat. Menurut masyarakat Kerinci, 3 tingkat atap tersebut adalah lambang filosofis hidup yang mereka lakukan sehari-hari, yaitu Bapucak satu (berpucuk satu); Berempe Jurai (menjurai empat) dan Batingkat Tigae (bertingkat tiga). Bapucak Satu maknanya bahwa masyarakat mempunyai satu kepala adat dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berempe Jurai adalah 4 jurai yang ada di kawasan Pondok Tinggi. Batingkat Tigae adalah simbol keteguhan masyarakat Kerinci menjaga 3 (tiga) pusaka yang diwariskan turun temurun yakni Pusaka Tegenai, Pusaka Ninik Mamak dan Pusaka Depati.

Masjid Agung Pondok Tinggi disangga dengan 36 tiang, terbagi dalam 3 kelompok. Kelompok pertama adalah Tiang Panjang Sembilan (tiang tuo) sebanyak 4 buah; Tiang Panjang Limau (panjang lima) sebanyak 8 buah yang tertata di ruangan bagian tengah dan Tiang Panjang Duea (panjang dua) sebanyak 24 buah yang terletak di ruangan bagian luar.

Beduk atau Tabuh di Masjid Agung Pondok Tinggi
Masjid Agung Pondok Tinggi memiliki 2 (dua) Beduk. Beduk pertama dengan ukuran panjang 7,5 meter dan garis tengah bagian pukul 1,115 meter serta garis tengah bagian belakang 1,10 meter dibuat dari kayu disebut dengan Tabuh Larangan. Sementara beduk kecil dengan ukuran panjang 4,25 meter dan garis tengah depan 75 cm serta bagian belakang 69 cm dan terbuat dari kayu.

Menara tempat mengumandangkan Adzan yang berada di dalam masjid
Menara Masjid yang berbentuk Anjungan Mangkuk Besar yang digunakan untuk mengumandangkan adzan berada di dalam masjid. Untuk naik ke menara ini harus melalui tangga yang terbuta dari kayu yang berjumlah 17 anak tangga. Jumlah ini adalah simbol atas jumlah rakaat shalat wajib lima waktu. 

Mihrab dan Mimbar Khotbah

Di sisi utara bangunan masjid terdapat makam tua. Warga juga tidak banyak yang tahu itu makam siapa karena tidak ada tulisan atau identitas di batu nisannya. Mereka hanya menyebut sebagai makam para tokoh dan tetua dulu.

Catatan: Foto adalah koleksi pribadi, diambil dengan iPhone 6