Thursday, January 12, 2012

Wedang Tape Bojonegoro


Salah satu yang cukup melegenda dari Bojonegoro adalah wedang tapenya. Wedang tape yang terbuat dari tape ketan hitam disajikan dengan santan panas ini benar-benar mak nyuusss….. 

Warung wedang tape di Jalan KH Maskur Bojonegoro ini memang legendaris dan sudah ada sejak dekade 1950-an, penjual yang sekarang ini adalah generasi ketiga. Maka tak heran jika yang berkunjung selalu ramai, apalagi pada momen-momen seperti mudik lebaran. Mereka-mereka yang sudah jadi langganan tetap selalu menyempatkan mampir kesini, termasuk saya yang kini jadi pelanggan tetap kalau pas mudik ke Bojonegoro. 

Silahkan kalau pas maen-maen ke Bojonegoro, monggo mampir di Warung Wedang Tape di Jalan KH Maskur Bojonegoro ini. Dijamin ketagian dehh…. 

Disini, kita bisa menikmati wedang tape dan juga ada rujak cingur, lontong kikil serta yang pasti bagi saya adalah ada rambak kulit sapi goreng. Pokoknya mak nyuusss dech..

Thursday, December 22, 2011

Konservasi Air yang Sederhana tapi Efektif


Apa itu Konservasi Air?
Konservasi air adalah sebuah perilaku yang disengaja dengan tujuan pengurangan penggunaan air segar melalui metode tekonologi ataupun perilaku sosial. (Wikipedia). Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin dan mengatur aliran agar tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau (Prof. Sitanala Arsyad, IPB, 2006). Sementara itu Prof. Kartasapoetra mendefinisikan konservasi air adalah sebuah usaha untuk menjaga kualitas dan kuantitas air.

Berdasarkan ketiga referensi diatas maka saya menyimpulkan bahwa konservasi air pada hakikatnya adalah tindakan atau upaya yang diperlukan dalam rangka melestarikan sumber daya air, dengan menggunakan teknologi serta perilaku sosial manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan.

Mengapa Perlu Melakukan Konservasi Air?
Air adalah kebutuhan yang sangat vital bagi manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, untuk mencukupi kebutuhan memasak, mencuci, minum dan kebutuhan lainnya kita membutuhkan air setidaknya 2600 liter per kapita per hari demikian data yang dilansir oleh Kementrian Pertanian.

Sebuah hasil kajian dari Depkimpraswil, 2003 menyebutkan bahwa ketersediaan air di Pulau Jawa yang sebesar 30.569 juta meter kubik diperkirakan akan terus menyusut dan akan defisit pada tahun 2015 mendatang dalam menyukupi kebutuhan air bagi seluruh penduduk Pulau Jawa.

Data yang dikeluarkan oleh BMKG menyebutkan curah hujan rata-rata di Indonesia adalah 1000-4000 mm/tahun dengan rata-rata 6 bulan basah. Hal ini tentunya merupakan potensi besar bagi ketersediaan air di Indonesia.

Namun mengapa di banyak tempat di Indonesia ini selalu terdengar berita kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan? Sebuah pernyataan yang menurut saya, jawabannya adalah karena kita tidak dapat mengelola air. Potensi ketersediaan air yang kita punya ketika hujan tiba tidak terkelola dengan baik (hanya dibuang ke sungai dan laut) dan pada saat kemarau datang kekeringan melanda.

Melihat data dan fakta di atas, maka sudah bukan waktunya berdebat lagi mengenai penyebab semakin menipisnya sumber daya air. Akan tetapi pada saat sekarang ini kita harus segera bergerak, kita harus berkarya nyata dalam mengupayakan konservasi sumber daya air ini. Dan hal itu harus dimulai dari diri sendiri. Membuat hal besar akan nihil hasilnya tanpa dimulai dari hal kecil.

Hal sederhana apa yang dapat kita lakukan dalam upaya konservasi sumber daya air?
Beberapa hal yang menurut saya cukup sederhana namun efektif sebagai upaya konservasi air, dan mudah dilaksanakan oleh kita masing-masing; diantaranya adalah:

Pertama, kita harus mulai berhemat. Gunakan air seperlunya, jangan menghamburkan air hanya untuk aktivitas yang kurang bermanfaat. Contoh kecil yang dapat kita lakukan adalah menutup kran air sewaku kita sedang menggosok gigi atau tampunglah air untuk membilas cucian, jangan membilasnya langsung dari kran, lebih baik mandi dengan gayung daripada dengan shower sebab dengan shower air akan terus mengalir dan masih banyak lagi aktivitas kita yang dapat kita lakukan demi berhemat air.

Kedua, kita dapat membuat biopori di halaman rumah kita. Sebenarnya biopori  ini secara alamiah dapat terbentuk karena aktivitas mikroorganisme tanah, perakaran tanaman, rayap dan fauna tanah lainnya. Lubang-lubang tersebut akan berisi udara dan akan menjadi tempat lewatnya air. Seringkali karena kendala berbagai hal seperti sudah rusaknya struktur tanah maka biopori alamiah ini tidak banyak terdapat di tanah, maka kita dapat membuatnya.

Kita dapat membuatnya di halaman atau kebun rumah dengan melubangi tanah setidaknya berdiameter 10-15 cm dengan kedalaman lubang 50-100 cm dan jarak antar lubang 50-100 cm. Dapat pula ditambahkan sampah organik untuk membantu percepatan pembentukan serta menghidupi mikroorganisme atau fauna tanah yang seterusnya dapat menciptakan biopori-biopori baru secara alamiah, dan sampah organik tersebut nantinya dapat diambil untuk pupuk kompos kemudian diganti yang baru.

Ini merupakan teknologi konservasi air yang sederhana dan murah sebab mempercepat penyerapan air ke dalam tanah sehingga mampu meningkatkan cadangan air tanah dan juga dapat mengendalikan banjir.

Teknologi ini sampai sekarang masih terapkan di rumah dan juga pernah saya lakukan di hutan buatan dan taman kampus, dimana kami (saya dan beberapa teman) membuat puluhan biopori yang kami beri sampah organik dari dedaunan yang banyak berserakan di kampus. Hasil komposnya (setelah berproses dalam biopori selama kurang lebih 2 bulan) kemudian dipakai untuk media tanam tanaman hias dan media percobaan/penelitian teman-teman saat praktikum dan skripsi serta jika ada sisanya dijual. Artinya, sekali merengkuh dayung mendapatkan beberapa manfaat sekaligus.

Ketiga, membuat sumur resapan. Selain biopori yang kita buat di kebun atau halaman, kita dapat juga membuat sumur resapan. Teknologi ini cukup murah, dan saya baru membuatnya sekitar 4 bulan lalu di kebun rumah saya.

Prinsip kerja sumur resapan adalah dalam rangka menampung air hujan dan mempercepat penyerapan air hujan ke dalam tanah sehingga bencana banjir dapat dikendalikan serta cadangan air tanah meningkat. Kedalaman sumur resapan sebenarnya bervariasi tergantung pada situasi dan kondisi daerah masing-masing.

Untuk sumur resapan yang saya buat sedalam 5 meter dengan diameter 1 meter. Dindingnya diberikan bis beton dan bagian atasnya (tutupnya) dicor semen (beton) setebal 10 cm, dalamnya saya isi dengan arang dan ijuk setinggi kira-kira 1 m. Air hujan mengalir masuk melalui parit dan lubang kontrol berbentuk bujursangkar yang berada sejajar dengan bagian atas sumur resapan. Dan biaya yang saya keluarkan untuk membuat dua buah sumur resapan di kebun rumah saya tersebut tidaklah mahal, namun manfaatnya sangat berharga, setidaknya dalam 3 bulan terakhir sudah tidak digenangi air, yang dulunya ketika hujan ketinggian genangan sekitar 10 cm karena luapan air dari jalan dan pekarangan tetangga.

Selain itu sebagai pertimbangan dan perlu diperhatikan dalam membuat sumur resapan (sesuai dengan Standar Nasional Indonesia Nomor SNI 03-2453-2002 serta Peraturan DPU No. 29/PRT/M/2006 tentang Tata Cara Pembuatan Sumur Resapan pada Pekarangan) , diantaranya adalah (1) sumur resapan harus berada di lahan datar, tidak miring atau labil; (2) jauh dari tempat penimbunan sampah, septi- tank dan minimal 1 meter dari pondasi rumah; (3) kedalaman sumur resapan dapat sampai tanah berpasir atau maksimal 2 meter di bawah permukaan air tanah; (4) struktur tanah harus mempunyai permeabilitas (kemampuan tanah menyerap air) lebih besar atau sama dengan 2 cm per jam (artinya genangan air setinggi 2 cm akan terserap habis dalam satu jam).


Ketiga hal itu adalah hal sederhana, mudah dan murah namun efektif yang dapat kita lakukan dalam mengupayakan konservasi sumber daya air, sebab untuk membuat biopori maupun membangun sumur resapan tidak memerlukan lahan yang harus luas. Lahan pekarangan sempit pun dapat dimanfaatkan untuk menerapkan model teknologi sederhana ini.

Dengan tidak mengesampingkan agenda dan aktivitas konservasi skala makro (besar), seperti membuat waduk, memperbaiki pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), memperbanyak ruang terbuka hijau di kota-kota serta reboisasi; maka ketika hal-hal kecil (skala mikro) ini kemudian dilakukan oleh banyak orang di banyak tempat maka tentu hasilnya akan luar biasa. Sehingga kualitas dan kuantitas air bersih dapat terjaga, dan akan benar-benar lestari airku. Tidak ada hal besar yang dapat dihasilkan jika dan hanya jika tidak dimulai dari hal kecil.Untuk itulah mari kita mulai konservasi air sekarang dari diri sendiri. Blogger juga punya tanggungjawab sosial pula, sehingga selain mewacanakan gerakan konservasi air ini juga harus segera berkarya nyata.

Sumber Gambar :
- Gambar ilustrasi Biopori dari sini
- Gambar ilustrasi Sumur Resapan
di rumah saya

Sumber Referensi:














Monday, December 5, 2011

Kisah Klasik Raskin


Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di tengahtengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Berbagai teori, konsep dan pendekatan pun terus menerus dikembangkan untuk mengatasi masalah kemiskinan ini. Karena kini gejala kemiskinan semakin meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia. Krisis telah membawa Indonesia pada peningkatan angka kemiskinan. Dalam rangka pengurangan kemiskinan, terutama sebagai efek dari gejolak krisis moneter maka pemerintah menggulirkan berbagai kebijakan. Diantaranya adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kredit Usaha Rakyat, Jamkesmas, Program Keluarga Harapan, Dana BOS serta Raskin (Beras untuk Masyarakat Miskin).

Khusus untuk Raskin, kita sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. Program pemerintah ini mulai digulirkan sejak tahun 1998 dengan nama Operasi Pasar Khusus (OPK) dan berganti nama menjadi Raskin sejak tahun 2002,  sebagai bagian dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Program ini digulirkan bertujuan untuk memperkuat ketahanan rumah tangga miskin. Dan dimaksudkan guna menanggulangi kemiskinan. Sebab secara filosofis, ketika kebutuhan akan pangan sudah terpenuhi maka masyarakat dapat mengalihkan pengeluarannya pada kebutuhan selain bahan pangan.

Akan tetapi setelah 13 tahun program ini berjalan ternyata masih saja selalu menyisakan persoalan-persoalan yang selalu sama dari sejak awal bergulir hingga saat ini. Bagaikan kisah klasik yang selalu berulang dan seolah tanpa ujung penyelesaian. Kendala dan permasalahan masih saja berulang di tahun-tahun berikutnya. Dan apakah program raskin berkontribusi pada penanggulangan kemiskinan?
Beberapa kendala dalam pelaksanaan program raskin yang selama ini terjadi berpangkal pada permasalahan data. Data yang disediakan BPS hampir selalu berbeda dengan data “versi” masyarakat. Perbedaan data inilah yang pada akhirnya akan berdampak pada ketidaktepatan sasaran, tidak tepat jumlah serta tidak tepat harga di masyarakat penerima manfaat.

Data yang keluarkan BPS belum mencakup warga miskin di daerah tersebut.  Masih banyak warga yang seharusnya layak menerima raskin tidak terdata. Hal ini berdampak pada jumlah yang seharusnya diterima oleh masyarakat menjadi berkurang karena harus berbagi dengan mereka yang tidak terdata. Maka muncullah fenomena “warga miskin ikhlas berbagi”. Jika kita melihatnya secara hukum positif maka jelas hal ini melanggar aturan sebab tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang telah ditetapkan. Akan tetapi jika dilihat dari kacamata sosiologis maka hal tersebut ‘terpaksa’ harus dilakukan demi untuk meredam gejolak sosial.

Fenomena ini ternyata berdampak juga pada ketidaktepatan harga. Harga tebus raskin cenderung mengalami peningkatan antara 10-25 persen dari pagu yang ditetapkan (Rp. 1.600/kg) sebab masyarakat penerima masih harus dibebani dengan ongkos pengepakan ulang setelah beras dibagi.
Disamping itu naiknya harga tebus raskin juga disebabkan oleh ongkos angkutan yang harus ditanggung oleh penerima raskin. Dalam Pedoman Umum Raskin yang dikeluarkan oleh Kementrian Koordinator Kesejahteraan Sosial (Menko Kesra) disebutkan bahwa Perum Bulog hanya menanggung biaya operasional dari gudang Bulog sampai ke Titik Distribusi (Kelurahan/desa). Selanjutnya dari Titik Distribusi sampai ke penerima raskin menjadi beban Pemerintah Kabupaten/Kota. Namun hampir semua Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia tidak menyediakan biaya operasional ini, sehingga biaya ini ditanggung penerima Raskin.

Permasalahan lain yang selalu menjadi kisah klasik adalah tentang kualitas raskin. Selalu menjadi cerita dan berita dimana-mana bahwa kualitas raskin tidak layak dikonsumsi. Hal ini kemudian menjadikan mereka para penerima raskin harus mencampurnya dengan beras yang berkualitas bagus. Atau menukar raskin tersebut dengan beras yang layak dikonsumsi. Hal tersebut jika dilihat dari tujuan awal program raskin adalah mengurangi pengeluaran tidak tercapai sebab justru pengeluaran masyarakat menjadi meningkat kerena harus membeli beras lagi untuk campuran atau untuk tambahan konsumsi.

Pertanyaan selanjutnya muncul, kemanakah beras raskin yang dijual tersebut? Beras-beras tersebut ada yang dijual kepada para pengusaha karak maupun pada peternak untuk campuran ransum ternak. Serta ditengarai di beberapa daerah bahwa beras-beras tersebut dibeli lagi oleh Bulog yang kemudian dilaporkan sebagai pembelian dari petani. Dan kemudian didistribusikan sebagai raskin pada saat berikutnya. Sungguh ironis.

Gambar sini

Saturday, December 3, 2011

Berfikir Sederhana, tapi Hasil Optimal

Kisah-kisah inspiratif bagaimana kita berfikir sederhana untuk mendapatkan hasil optimal seperti ini sebenarnya sudah beredar cukup lama di dunia internet, dari era milis, friendster, facebook hingga dunia blog (salah satu media yang eksis dari dulu hingga sekarang). Di belahan dunia yang lain, dikenal dengan istilah Keep It Simple Stupid (KISS) yang bila diartikan secara bebas adalah berfikir sederhana untuk memecahkan masalah yang sebenarnya juga bisa dilakukan oleh orang-orang bodoh.

Kisah I

Di salah satu perusahaan kosmetik, suatu saat mendapat keluhan dari seorang pelanggan yang mengatakan bahwa ia telah membeli sabun yang ternyata kosong. Dengan segera, para pimpinan perusahaan menceritakan masalah tersebut ke bagian pengepakan yang bertugas memindahkan semua kotak sabun yang telah di pak ke depatermen pengiriman.

Manajemen meminta para teknisi utk memecahkan masalah tersebut dan dengan segera para teknisi bekerja keras utk membuat mesin sinar X dgn monitor resolusi tinggi yg dioperasikan oleh 2 orang utk melihat semua kotak sabun yang melewati sinar tersebut. Kedua orang tersebut ditugaskan untuk memastikan bahwa kotak sabun yang lewat tidak kosong. Tak diragukan lagi, mereka bekerja keras dgn cepat, dan biaya yang dikeluarkan pun tidaklah sedikit.

Akan tetapi, pada saat yang sama ada seorang karyawan di sebuah perusahaan kecil dihadapkan pada permasalahan yang sama pula. Dia tidak berpikir ttg hal-hal yang rumit. Dia muncul dengan solusi yang berbeda. dengan membeli sebuah kipas angin listrik utk industri yang memiliki tenaga cukup besar dan mengarahkannya ke garis pengepakan. Kemudian kipas itu dinyalakan, sehingga meniup kotak sabun yang kosong keluar dari jalur pengepakan.

 

Kisah II

Pada suatu hari, seorang pemilik apartemen menerima komplai dari pelanggannya. Para pelanggan mulai merasa bahwa waktu tunggu mereka di pintu lift terasa lama seiring bertambahnya penghuni di apartemen itu. Sang pemilik apartemen mengundang sejumlah pakar utk memecahkan masalah tersebut.

Seorang pakar menyarankan agara menambah sejumlah lift, sedangkan pakar kedua meminta pemilik utk mengganti lift dengan yang lebih cepat dengan asumsi bahwa semakin cepat lift, orang yang terlayani akan banyak. Kedua saran tersebut tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Namun, pakar ketiga hanya menyarankan satu hal bahwa inti dari komplain pelanggan adalah mereka merasa menunggu terlalu lama. pakar tadi hanya menyarankan kepada sang pemilik apartemen utk menginvestasikan kaca cermin di depan lift, supaya perhatian para pelanggan teralihkan dari pekerjaan "menunggu" agar merasa "tidak menunggu lift". Dan ternyata...berhasil....

 

Kisah III

Pada saat NASA mulai mengirimkan astronot ke luar angkasa mereka menemukan bahwa pulpen mereka tidak bisa berfungsi di gravitasi nol karena tinta pulpen tersebut tidak akan mengalir ke mata pena. Untuk memecahkan masalah tersebut, mereka menghabiskan waktu satu dekade dan 12 juta dolar. 

Mereka mengembangkan sebuah pulpen yang dapat berfungsi pada keadaan-keadaan seperti gravitasi nol, terbalik dalam air, dalam berbagai permukaan termasuk kristal, dan dalam derajat temperatur, mulai dari di bawah titik beku sampai lebih dari 300 derajat celcius.

Dan apakah yang dilakukan para orang Rusia untuk mengatasi permasalahan tersebut? Mereka hanya menggunakan pensil!!

Disadur dari berbagai sumber

Friday, November 11, 2011

Petani dan Subsidi Pupuk


Sektor pertanian adalah sektor yang cukup dominan di Indonesia. Setidaknya ada 38 juta jiwa penduduk yang berusia produktif adalah berprofesi sebagai petani, demikian data yang dilansir oleh Kementrian Pertanian. Tidak kurang dari 57 persen penduduk Indonesia yang menggantungkan kahidupannya pada sektor ini.

Akan tetapi,  kenyataan menunjukkan bahwa kesejahteraan petani masih jauh dari yang diharapkan dan dibayangkan. Naiknya harga beras di pasaran tidak serta merta membuat petani meningkat kesejahteraannya. Hasil studi singkat Pattiro Surakarta pada pertengahan 2011 lalu di kawasan Polanharjo, salah satu sentra penghasil padi di Kabupaten Klaten, menunjukkan bahwa pendapatan petani di kawasan tersebut rata-rata berkisar Rp. 500.000 per bulan ketika hasil panen bagus. Sungguh ironis memang, jika ditinjau bahwa sektor pertanian adalah sektor penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar kedua setelah sektor industri olahan, yakni sebesar 15,61%, sebagaimana data yang dilansir BPS pada triwulan pertama 2011 ini. 

Sektor pertanian sebenarnya merupakan sektor paling prospektif dalam menopang perekonomian nasional. Sektor ini tidak mendapatkan efek domino secara signifikan dari gejolak ekonomi (krisis) global. Bahwa sektor pertanian memang sektor yang cukup bergantung pada iklim dan cuaca adalah benar adanya. Akan tetapi sebenarnya bukan sekedar itu saja. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satu faktor yang tak kalah penting adalah berkenaan dengan kebijakan atau regulasi. Ketidaktepatan kebijakan yang dibuat akan membuat sektor ini menjadi sektor yang tidak prospektif.

Bukti bahwa sektor pertanian adalah sektor yang prospektif adalah bahwa  sebenarnya kebutuhan akan pangan di dalam negeri semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring peningkatan jumlah penduduk. Sejatinya, sebagian besar kebutuhan pangan tersebut dapat ditopang oleh produk pertanian kita. Namun, yang terjadi adalah hasil pertanian kita kalah bersaing dengan produk-produk negara lain baik secara kualitas,  produktivitas, kuantitas maupun harga. 

Langkah kebijakan yang diambil pemerintah kemudian lebih memilih melakukan impor produk pertanian untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhan pangan bagi masyarakat di dalam negeri adalah salah satu contoh konkret ketidakberpihakan kebijakan pemerintah pada sektor pertanian kita. Akibatnya, banyak petani yang mengalihfungsikan lahan yang dimilikinya dengan menjual pada para pemodal untuk diubah menjadi perumahan ataupun pabrik. Sehingga, para petani tersebut akhirnya hanya menjadi buruh tani di lahan orang lain atau beralih profesi menjadi pedagang, kuli bangunan bahkan pindah ke kota untuk mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan keahlian yang mereka miliki. 

Itulah sekilas potret kebijakan pertanian kita yang ambigu atau berstandar ganda dimana tidak menjadikan petani dan sektor pertanian kita sebagai landasan pijak dalam pengambilan kebijakan. Disamping itu, implementasi kebijakan yang digulirkan juga cenderung masih jauh dari harapan regulasi yang ada.

Kebijakan Pupuk Bersubsidi
Dari berbagai kebijakan pertanian yang digulirkan pemerintah, salah satunya adalah kebijakan pemberian subsidi pada pupuk. Kebijakan ini digulirkan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian. Secara filosofis, subsidi pupuk dilakukan untuk meringankan beban petani dalam pembiayaan usaha taninya. Meskipun kebijakan subsidi pupuk mengalami reorientasi pada tahun 2003, namun konsep dasar pemberian subsidi terhadap pupuk yang digunakan oleh petani sebenarnya telah digagas sejak dekade 1970an.

Kebijakan pupuk bersubsidi sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri Pertanian No.06/Permentan/SR.130/2/2011, adalah diperuntukkan bagi sektor yang berkaitan dengan budidaya tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, hijauan pakan ternak, dan budidaya ikan dan/atau udang. Dengan sasaran bagi petani, pekebun, peternak yang mengusahakan lahan paling luas 2 (dua) hektar setiap musim tanam per keluarga petani kecuali pembudidaya ikan dan/atau udang paling luas 1 (satu) hektar.

Jenis pupuk yang disubsidi adalah meliputi : Pupuk Urea, SP-36/Superphospat, ZA, NPK, dan Pupuk Organik. Pemberian subsidi dilaksanakan melalui produsen pupuk. Produsen pupuk adalah perusahaan yang memproduksi pupuk anorganik dan pupuk organik di dalam negeri sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Untuk wilayah Jawa Tengah adalah PT Pupuk Sriwijaya (Pusri).

Jika dilihat, kebijakan ini cukup menarik guna menstimulasi produksi pertanian. Akan tetapi jika diselami ternyata kebijakan pemberian subsidi pupuk hingga saat ini ternyata masih menghadapi kendala dan masalah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) pada sepuluh wilayah di Indonesia yakni Kab. Aceh Besar, Kota Serang (Banten), Kab. Bandung Barat (Jabar), Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surakarta (Jateng), Kab. Gresik (Jatim), Kab. Lombok Barat (NTB), Kab. Jeneponto (Sulsel) dan Kota Jayapura (Papua). 

Pertama, ternyata masih saja terjadi kelangkaan pupuk di banyak daerah. Ini mengherankan sebab kuota pupuk bersubsidi disusun berdasarkan pengajuan secara bottom up mulai dari level Kelompok Tani dan kemudian ditetapkan oleh Kementerian Pertanian.  Kedua, harga pupuk yang dijual di atas HET yang ditetapkan. Banyak petani menyebutkan bahwa mereka membeli pupuk Urea seharga Rp. 85.000 dari harga seharusnya Rp. 60.000. ini menunjukkan bahwa ada oknum dalam sistem distribusi yang mengambil keuntungan dari kebijakan tersebut. Ketiga, penggantian kemasan dan penjualan pupuk bersubsidi kepada yang tidak berhak seperti industri perkebunan besar. 

Akibatnya, petani juga yang dirugikan. Sehingga, tujuan program subsidi pupuk untuk meringankan beban petani justru sebaliknya, petani semakin sementara segelintir orang justru diuntungkan. Hal tersebut baru sedikit masalah yang hanya terjadi pada tingkat implementasi lapangan. Kita belum berbicara pada proses pengambilan kebijakan maupun proses produksi pupuk. Ada berapa banyak oknum yang bermain dalam proses tersebut demi keuntungan mereka. Artinya, sebenarnya bungkusnya adalah kebijakan untuk petani akan tetapi justru yang menikmati hasilnya secara lebih besar bukanlah petani.