Wednesday, June 1, 2011

Kertas dan Penebangan Hutan

Dalam beraktivitas, salah satu yang dibutuhkan manusia adalah kertas. Kertas dibutuhkan untuk menulis, menggambar, ngeprint dan lain-lain. Dari waktu ke waktu permintaan kebutuhan akan kertas semakin meningkat seiring makin bertambahnya jumlah penduduk dan beragamnya aktivitas manusia.

Bahwa sampai saat ini kebutuhan akan kertas dipasok oleh pabrik-pabrik kertas yang tersebar seantero jagad dengan mengandalkan bahan baku dari pulp yang dibuat dari kayu cemara maupun kayu pinnus.

Proses pembuatan pulp dan perubahan pulp menjadi kertas memerlukan berbagai proses kimiawi dan mekanik, antara lain proses sulfit (dengan pemberian H2SO4, Na2SO4) dan proses alkali (penambahan NaOH maupun Na2S)) yang kesemuanya dalam rangka mencerna kayu sehingga menjadi pulp. Selain itu juga ada proses pemutihan (kelantang) dengan menggunakan klorin.

Proses tersebut adalah sarat dengan efek kerusakan lingkungan hidup (penebangan hutan) dan bahan kimia serta pasti menghasilkan senyawa limbah yang bersifat kimiawi pula, seperti hidrogen sulfida (H2S), dimetil sulfida (CH3SH3) serta senyawa kimia lain yang racun dan berbau tidak sedap (menyengat).

Inilah yang menjadikan pembuatan kertas berbenturan dengan kelestarian lingkungan hidup. Selain masalah penebangan pohon sebagai bahan baku juga efek kimia yang ditimbulkan tersebut. Sebab dalam memproduksi kertas dari kayu terdapat fakta dan data antara lain sebagai berikut (yang dikutip dari berbagi sumber literatur) :

  • Satu Batang pohon dapat menghasilkan oksigen yang dibutuhkan untuk 3 orang bernapas
  • Untuk memproduksi 1 ton kertas, dibutuhkan 3 ton kayu dan 98 ton bahan baku lainnya
  • Untuk memproduksi 1 Kilogram kertas dibutuhkan 324 liter air
  • Untuk memproduksi 1 ton kertas, dihasilkan gas karbondioksida (CO2) sebanyak kurang lebih 2,6 ton atau sama dengan emisi gas buang yang dihasilkan oleh mobil selama 6 bulan.
  • Untuk memproduksi 1 ton kertas, dihasilkan kurang lebih 72.200 liter limbah cair dan 1 ton limbah padat
  • Industri kertas adalah pemakai energi bahan bakar ke-3 terbesar di dunia

Menjawab hal tersebut, berbagai riset mulai dilakukan pada sekitar 2006-an lalu. Dan hasilnya, beberapa penelitian tersebut menyatakan bahwa dalam rangka mengurangi penebangan pohon dan efek limbah kimia, ada sebuah alternatif bahan baku kertas yakni dari Alga Merah (Gelidium amansii). Dalam prosesnya pun nyaris tidak bersentuhan dengan bahan kimia, hanya diperlukan bahan kimia netral seperti kaporit serta sewaktu proses pemutihan dengan menggunakan klorin.

Ketersediaan bahan baku (Alga Merah) juga relatif aman. Dibutuhkan tahunan bahkan puluhan tahun untuk menumbuhkan pohon, sedangkan Alga Merah hanya perlu waktu dalam hitungan bulan. Dan dapat dibudidayakan dengan mudah yakni pada perairan laut yang tenang. Indonesia memiliki banyak kawasan ini.
Jika telah ditemukan adanya bahan baku alternatif yang lebih ramah lingkungan maka langkah selanjutnya adalah mewujudkannya. Bahwa industri kertas harus beralih dari kayu ke alga merah ini sebagai bahan bakunya. Dan menuju hal ini diperlukan langkah konkret dan kepedulian dari berbagai pihak.

Peran para pihak
Peran pihak menjadi penting, setidaknya dalam pengamatan saya ini, pihak-pihak yang harus berperan serius antara lain : Pertama, jelas Pemerintah. Selaku pengambil kebijakan maka pemerintah harus berani mengambil sikap bahwa produksi kertas harus beralih dari kayu ke alga merah. Serta mengambil langkah guna mensupport produksi serta pengembangan riset Alga Merah ini.

Kedua, produsen kertas harus dengan sadar dan mau berpindah menggunakan Alga merah sebagai bahan baku. Ketiga, masyarakat pantai (nelayan) dapat mengembangkan budidaya Alga Merah ini, sebab ini jelas akan menjadikan peningkatan ekonomi. Keempat, perguruan tinggi dapat mengambil peran dalam pengembangan penelitian lebih mendalam.

Dan kelima, adalah MUI (Majelis Ulama Indonesia), sebagai institusi yang mengeluarkan “stempel” halal bagi sebuah produk maka MUI harus berani mengeluarkan “stempel” haram bagi produksi kertas yang berbahan baku dari kayu sebab merusak lingkungan hidup. Bahkan jika perlu semua produk yang dalam prosesnya merusak lingkungan, menindas buruh tidak diberikan label halal tersebut. Kira-kira bagaimana ya jika demikian?


Sunday, May 29, 2011

Khasiat Jahe

Siapapun pasti kenal dengan rempah-rempah yang satu ini. Jahe (Zingiber officinale) demikian orang menyebutnya. Tanaman yang tumbuh subur di ketinggian 0 hingga 1500 meter di atas permukaan laut dengan kebutuhan curah hujan rata-rata 2500 mm/tahun. Akan tumbuh optimal pada kelembaban 8o% serta pada pH rata-rata 5,5.

Secara morfologis (penampakan), Jahe memiliki batang semu dengan tinggi bisa mencapai 1 meter. Berakar rimpang berwarna kuning kemerahan dengan bau menyengat. Daun menyirip. Tangkai daun berbulu halus. Bunga berwarna hijau kekuningan.

Banyak orang sudah mahfum akan manfaat dan khasiat Jahe. Diantaranya sebagai obat anti masuk angin, obat cacing, obat migrain dan obat reumatik serta sebagai penambah kekebalan (daya tahan) tubuh. Ada satu lagi khasiat Jahe yang disukai oleh para perempuan dan disenangi oleh para kaum adam yakni jahe dapat membuat payudara menjadi lebih montok dan berisi.

Menurut ramuan Jawa Kuno bahwa dengan mengkonsumsi Jahe segar (kulitnya dikupas) sebanyak 2 ruas yang dimasukkan ke dalam susu murni yang panas diyakini dapat membuat payudara menjadi tambah montok dan berisi.
Ada yang mau mencoba??

Wednesday, May 25, 2011

Kritik Transparansi Bank Syariah

Saya memang pengguna Bank Syariah sejak sekitaran 5 tahun lalu sewaktu masih mengais rejeki di Batavia karena kata seorang kawan bahwa menabung di bank konvensional itu dosa karena makan riba. Namun setelah saya mencoba menelaah lebih mendalam dari berbagai sumber literatur dan diskusi dengan banyak kalangan, dalam pandangan saya, bahwa sistem dan proses perbankan syariah kita saja masih banyak yang harus dibenahi.

Semoga tulisan ini dapat menjadi catatan bersama para pelaku ekonomi bisnis perbankan syariah di Indonesia untuk menerapkan sistem ekonomi syariah yang sesuai dengan kaidah syariah Islamiyah.

Pertama adalah mengenai transparansi pengelolaan keuangan yang kita simpan dalam bank syariah. Nasabah tidak pernah diberitahu melalui pelaporan keuangan terbuka mengenai perputaran uang kita tersebut. Apakah dimasukkan ke dalam pasar modal alias saham? Apakah disimpan di bank konvensional?

Alur mata rantai perbankan syariah harus benar-benar jelas dan transparan terhadap nasabah. Kemana uang nasabah yang dihimpun tersebut dialirkan. Ketika dana nasabah dialirkan pada pasar modal atau pasar uang maupun disimpan di bank konvensional yang lebih besar maka menurut saya itu tidak syariah lagi.

Pasar saham adalah sebuah sistem yang menjurus pada "judi", bukankah judi itu juga haram??? Dan ketika dana nasabah dialirkan ke bank konvensional yang lebih besar juga sudah tidak syariah lagi. Sebab unsur bunga yang katanya riba dari bank konvensional sudah merasuk ke dalam dana tersebut.

Hal kedua yang menurut saya harus dikritik dari bank syariah adalah transparansi besaran margin dana kredit konsumsi. Ketika ada nasabah akan kredit di bank syariah, semisal untuk kepemilikan rumah, maka bank syariah dalam prosesnya (teori) adalah membeli rumah tersebut kemudian menjualnya ke nasabah dengan mengambil keuntungan. Sehingga yang terjadi adalah akad jual beli. Dan sah-sah saja jika bank syariah mengambil keuntungan (margin), akan tetapi dalam prakteknya kaidah jual beli sedikit dipungkiri, sebab kebanyakan bank syariah telah menetapkan harga jual rumah tersebut ke nasabah tanpa ada proses negosiasi. Jika itu adalah akad jual beli maka akan terjadi negosiasi dan tawar menawar harga.

Ketiga adalah mengenai transparansi margin kredit usaha. Jika seorang nasabah akan melakukan kredit maka seharusnya adalah pihak bank syariah tidak mematok atau menetapkan margin bagi hasilnya, akan tetapi disesuaikan dengan laporan keuangan keuntungan si peminjam. Sehingga setiap bulannya besaran margin profit sharing yang diserahkan si peminjam ke bank syariah adalah bervariasi tidak tetap nominalnya. Kalau tetap apa bedanya dengan bunga bank konvensional. Hal ini lebih menyangkut transparansi dari si peminjam dalam mengelola dana pinjaman tersebut. Bahkan pengalaman beberapa kawan menyatakan margin yang diambil bank syariah lebih besar daripada bunga jika kita menyicil dari bank konvensional.

Itu yang menjadi kritik saya terhadap bank syariah yang saat ini banyak menjamur di negeri ini. Bahkan bukan hanya bank, namun pegadaian syariah juga telah muncul, mungkin finance alias leasing motor berlabel syariah akan segera hadir. Atau bahkan rentenir berlabel syariah juga akan segera unjuk diri.


Gambar dari Internet

Friday, May 20, 2011

tentang Kebangkitan Nasional

Ketika bicara tentang Kebangkitan Nasional saya jadi teringat dengan sebuah diskusi kecil yang dilakukan kawan-kawan di sebuah wedangan di Solo saat saya masih kuliah dulu. Perdebatan tentang apakah Boedi Oetomo berperan penting dalam momen tersebut ataukah justru SDI yang lebih tepat dikatakan sebagai pelopor kebangkitan nasional???

Sampai saat ini belum ketemu jawabannya yang tepat. Semua berargumen masing-masing. Dan saya yakin dalam berargumen selalu ada dasarnya.
Pada obrolan kami sekitar 5 tahun lalu tersebut, kami sepakat bahwa tonggak Kebangkitan Nasional adalah saat momen Soempah Pemoeda 1928. Dan itu lebih pas ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sebab ketika itu berbagai kelompok dan komponen bangsa dari berbagai kesukuan, agama dan ras bertemu dan menyatakan bahwa Indonesia adalah bangsa, tanah air dan bahasa yang satu.
Bahwa munculnya Sumpah Pemuda memang didasari pada pergerakan nasional untuk merdeka dan tidak bisa dinafikan bahwa Boedi Oetomo maupun Syarikat Dagang Islam (SDI) serta PI (Perhimpunan Indonesia) banyak mewarnai dan mendorong serta mengilhami terjadinya Kongres Pemuda II hingga ikrar Sumpah Pemuda tersebut. Akan tetapi menurut saya bahwa momen yang tepat sebagai Kebangkitan Nasional.

Namun yang lebih penting adalah bahwa sudahkah Indonesia bangkit saat ini??? Hari Kebangkitan Nasional harus dimaknai dari sekedar peringatan seremonial dengan upacara bendera semata. Harus ada langkah konkret benar-benar bangkit

Saturday, May 14, 2011

Spirit Kota Dengan Dua Nama

Nama Solo sudah sangat akrab di telinga kita. Solo merupakan salah satu kota besar di Jawa Tengah juga Indonesia, terletak di jalur strategis transportasi darat yang menghubungkan Propinsi Jawa Timur dengan DIY. Dikenal sebagai Kota Bengawan, karena berada di tepian sungai. Bengawan dalam bahasa Jawa bermakna sungai. Juga dikenal sebagai Kota Budaya karena sangat banyak terdapat peninggalan budaya nusantara, diantaranya keraton yang sampai sekarang masih berfungsi juga banyak peninggalan sastra budaya serta aneka seni budaya ada di sana.

Dikenal pula sebagai Kota Batik, sebab seni batik begitu mengakar dan membudaya di kota ini. Mulai dari proses hulu hingga hilir, mulai dari kain hingga kayu juga dibatik. Solo dikenal pula sebagai Kota Plesiran, sebab suasana malam kota ini syarat dengan plesiran terutama bagi mereka yang menyukai wisata kuliner. Dan Solo juga dikenal sebagai Kota Pergerakan, karena selain banyak diantara tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia berasal dari Solo, dan juga kota ini merupakan pusat mereka bertemu dan merancang gerakan Indonesia Merdeka.

Selain 'gelar-gelar' diatas, keunikan Kota Solo adalah kota ini adalah memiliki dua nama. Dimana keduanya sama-sama digunakan yakni Solo dan Surakarta. Mengapa demikian?

Sebagaimana catatan sejarah, bahwa karena pergolakan di dalam negeri, yakni Pemberontakan Sunan Kuning alias Geger Pecinan, Kraton Kartasura yang merupakan penerus Mataram Islam, atas perintah Raja waktu itu (Paku Boewono II) akhirnya dipindahkan ke sebuah desa yang terletak di sebelah timur sejauh 20 Km dari ibukota Kartasura. Itulah Desa Sala (dibaca sebagaimana pada kata Solok) pada tahun 1745 M. Dan sebagai sebuah upaya menghilangkan sawan (nasib buruk) yang mengikuti maka nama Kraton juga diubah menjadi Surakarta (pembalikan dari KartaSura).

Sala menjadi Solo
Karena orang pada mulanya sudah familiar dengan Desa Sala, maka banyak orang yang menyebutnya dengan Kraton Sala. Maka jadilah penyebutan itu hingga sekarang. Nama Sala (dibaca sebagaimana kata Solok) masih dipergunakan, dan nama Surakarta juga tetap dipakai. Akan tetapi entah dimulai oleh siapa dan kapan, serta karena apa pula, kata Sala berubah penulisan dan pembacaannya menjadi Solo, (dibaca sebagaimana kata bakso).

Menurut analisa awam saya, ini sebenarnya adalah sebuah kesalahan kolektif pada sebuah upaya peng-Indonesia-an kata dan pengucapan dari Basa Jawa ke Bahasa Indonesia. Karena penulisannya memakai huruf "A", tetapi pengucapannya hampir menyerupai huruf "O". Maka jadilah kata Sala menjadi ditulis Solo, untuk menyerupakan antara tulisan dengan pembacaannya. Sekali lagi ini hanyalah analisa awam kaumbiasa lho, bukan analisa pakar.

Namun terlepas dari masalah pengucapan dan penulisan nama Solo, kota ini telah tumbuh menuju sebuah kota metropolitan baru di jagad nusantara. Dengan tetap masih berupaya mempertahankan ciri khasnya sebagai kota peninggalan budaya nusantara bahkan dunia. Di kota dengan dua nama inilah, selain keberadaan Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat maupun Pura Mangkunegaran, PON (Pekan Olahraga Nasional) I dilaksanakan; Monumen Pers Nasional sebagai sebuah pengingat sejarah perjuangan pers nasional juga berdiri megah di sini; Museum tertua di Indonesia juga ada di Solo, yakni Museum Radya Pustaka.

Selain itu juga masih ada rel Kereta Api di tengah kota peninggalan jaman Belanda yang masih difungsikan sampai sekarang. Untuk urusan seni budaya, selain keberadaan Taman Budaya Surakarta, terdapat pula panggung terbuka Argo Budaya yang berada di dalam kompleks Kampus UNS yang pembangunannya kolaborasi antara UNS dengan Pura Mangkunegara.

Dan masih banyak lagi tentang Kota dengan Dua Nama ini menjadi kota yang unik dan menarik. Maka pantas dan jika kemudian Kota ini disebut sebagai spirit of Java, bahkan bagi saya pribadi dapat dikatakan sebagai the spirit of Indonesia sebab banyak hal yang ada di Indonesia ini bercikal bakal dari kota ini.